Coenrad Laurens Coolen: Kisah Perjuangan Penghayat Kristen Jawa
Oleh Tony Doludea
Jombang dikenal sebagai kota santri, karena memiliki paling sedikit 150 pondok pesantren. Juga memiliki reputasi tinggi karena beberapa tokohnya seperti Hadratusysyeikh Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim dan Abdurrahman Wahid tidak dapat dilepaskan dari kota ini.
Bermula dari Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng pada 3 Agustus 1899 di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Lalu keturunannya, yakni Wahid Hasyim dan Abdurahman Wahid yang juga dikenal sebagai tokoh nasional, semuanya dimakamkan di Pondok Pesantren Tebuireng tersebut.
Kala itu Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil berukuran 6 X 8 meter dari anyaman bambu. Bangunan sederhana itu dibagi dua, bagian depan untuk tempat salat. Bagian belakang untuk tempat tinggal Kiai bersama istrinya, Nyai Khodijah. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Padahal 50 tahun sebelum Pondok Pesantren Tebuireng itu didirikan, Jombang sudah menjadi pusat penyebaran Kristen terkenal di Jawa Timur. Tepatnya di Ngoro, sekitar 10 kilometer dari Pondok Tebuireng, saat itu masih hutan belantara. Oleh Coenrad Laurens Coolen atau Mbah Coolen, Ngoro dijadikan tempat menyebarkan Kekristenan.
Pada 1834 Coolen merintis pemukiman yang kemudian dihuni oleh 100 lelaki, 122 perempuan dan 28 remaja. Mereka tinggal dalam 12 gubuk. Tahun berikutnya sudah sekitar 1000 orang sudah tinggal di situ.
Ngoro adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang Jawa Timur. Terletak di bagian selatan Kabupaten Jombang, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kediri. Ngoro merupakan persimpangan jalur dari Jombang menuju Malang dan Kediri.
Coolen lahir di Ungaran pada 1773, ayahnya campuran Rusia dan Belanda, sementara ibunya adalah putri bangsawan Kasunanan Surakarta. Coolen dididik dalam keluarga Kristen yang keras, namun dengan luwes dapat berbaur dengan masyarakat setempat.
Ia banyak menyerap ngelmu Jawa. Maka tidak heran jika kemudian ia mengajarkan bahwa Injil Gusti Yesus Kristus itu merupakan ngelmu tertinggi.
Coolen pernah bersekolah di Semarang kemudian menjadi juru gambar di Dinas Pemetaan untuk pemugaran reruntuhan candi-candi Hindu Jawa. Selama tiga setengah tahun ia berkeliling menjelajahi Jawa Timur.
Saat bekerja sebagai pelukis dalam ketentaraan di divisi artileri di Surabaya pada masa pemerintahan Daendels. Coolen menikah dengan gadis Belanda Maria Christina Carolina Herweg, lalu memiliki lima orang anak dan tinggal di kampung Kalongan Surabaya.
Pada waktu itu, Coolen bertemu dengan Johannes Emde (1774-1859), penginjil Jerman dengan latar belakang pietisme yang kuat, yang bekerja sebagai tukang arloji. Emde menikah dengan Amarentia Manuel, seorang perempuan keturunan bangsawan Keraton Solo. Mereka memiliki anak perempuan, Johanna Wilhelmina.
Emde memiliki hasrat kuat mengabarkan Injil kepada orang Jawa. Namun terhalang oleh peraturan pemerintah Hindia-Belanda yang melarang pekabaran Injil kepada masyarakat Jawa yang beragama Islam. Emde bahkan sempat ditahan dua kali karena usahanya mengabarkan Injil itu.
Emde juga memiliki keterbatasan berbahasa Jawa, namun istrinya banyak mendukung dan membantunya dengan menuliskan selebaran-selebaran dalam bahasa Jawa. Menulis uraian makna Injil Yesus Kristus.
Putrinya berkeliling kota dan membawa buku-buku bacaan untuk dijual kepada orang Belanda dan Indo Belanda. Juga selebaran berbahasa Jawa itu untuk dibagikan pada orang Jawa yang dapat membaca.
Coolen dibakar semangat kekristennya oleh keluarga ini. Setelah keluar dari ketentaraan, ia menjadi sinder blandong (Bos Opzichter), pengawas hutan di Wirosobo, sekarang Mojoagung dan menikah lagi dengan pelayannya, Sadijah dan memperoleh enam orang anak.
Keputusan Coolen meninggalkan Maria Herweg dan menikah dengan Sadijah, membuat Gereja Protestan Surabaya menganggap itu sebagai pembangkangan terhadap disiplin gereja.
Pada tanggal 3 Juli 1827 Coolen mendapat izin dari pemerintah kolonial untuk membuka lahan hutan Ngoro di kawasan Wirosobo. Untuk mengusahakan tanah seluas 2.000 bau (1.420 ha) tersebut sebagai perkebunan, dengan masa kontrak selama 30 tahun. Dimulai dari tahun keenam sejak izin itu dikeluaran dan setiap tahun ia harus menyetor uang sewa tanah sebesar 2.000 gulden kepada pemerintah.
Ia tinggal bersama Sadijah serta anak-anaknya. Desa tempat tinggalnya itu sangat subur dan mengundang orang banyak untuk datang dan menjadi penggarap.
Setiap kali akan membuka hutan atau menggarap sawah, Coolen mengajak para pembantunya itu untuk meminta berkat Tuhan. Pada awalnya mereka memohon kepada Dewi Sri. Namun di bagian akhir kemudian ditujukan kepada Tuhan Yesus Kristus.
Coolen juga mengadakan kebaktian Minggu dan bercerita tentang Tuhan Yesus Kristus melalui wayang kulit. Ia menghimpun sekelompok kecil masyarakat dan mengajarkan iman Kristen.
Kegiatan tersebut akhirnya menghasilkan suatu jemaat Kristen yang khas. Jemaat di Ngoro ini sangat kental ciri ngelmu Injil, kejawen dan wayangannya. Coolen menyebutnya sebagai Kristen Jawa.
********
Coolen adalah seorang pemimpin yang sangat dihormati dan disegani oleh penduduk Ngoro, baik orang Kristen maupun Islam. Ia tidak memaksa penduduk yang Muslim untuk mengikutinya, bahkan mememinta warga desanya itu untuk mendirikan masjid. Ia menyediakan seorang modin yang khusus bertugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keagamaan mereka.
Coolen juga secara pribadi mengawasi penduduknya yang Muslim, agar mereka taat dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka. Termasuk mengawasai moralitas dan perilaku moral penduduk desa. Sehingga Ngoro tidak seperti desa-desa makmur lainnya, di mana orang-orang merokok candu, mabuk-mabukan dan berjudi. Keamanan desa sangat baik.
Sebagai seorang pemimpin, Coolen turun langsung menjaga keamanan desanya. Setiap malam ia melakukan ronda bersama-sama dengan penduduk desa itu. Pada suatu malam Coolen berhasil membunuh seekor macan kumbang besar yang menyerang rombongannya. Ia membunuh macan tersebut dengan menggunakan tombak, yang biasa dipakainya untuk membunuh macan-macan lain yang kerap menggangu dan memangsa hewan ternak penduduk.
Coolen mengawasi pekerjaan para petani secara baik, sehingga hasil panen memuaskan. Bahkan dapat disimpan dalam lumbung dan dibagi-bagikan pada saat paceklik.
Coolen berbaur dan dikelilingi pemuka agama Islam maupun Kristen. Meski seorang keturunan Eropa, ia sangat menghayati budaya Jawa. Dalam pandangan dunia masyarakat Jawa, Coolen adalah sesosok pemimpin yang ideal, yang mampu menjaga keselarasan alam sehingga membawa masyarakat ke dalam keadaan slamet.
Padahal para misionaris Eropa di Jawa Timur saat itu hanya berkutat di kota-kota besar, seperti Malang dan Surabaya. Mereka terikat pada institusi agama pemerintah kolonial, sehingga agama Kristen sering dicirikan sebagai agama kaum elite. Dari Coolen lah orang-orang Jawa di sana pertama kali mengenal Kristus, hingga akhirnya kekristenan menyebar ke seluruh pelosok Jawa Timur.
Ia hanya mengandalkan didikan agama dari orangtuanya dan keluwesannya bertutur Jawa, membuatnya dengan mudah menggabungkan tradisi setempat dengan iman Kristen. Coolen menafsirkan Alkitab melalui pengetahuannya tentang ilmu-ilmu dari buku Hindu versi Jawa. Cara ini mirip dengan orang-orang Kristen Abad Pertengahan yang menerangkan Injil melalui sastra Yunani atau Latin.
Coolen menggunakan bahasa Kawi dan permainan katanya mengingatkan para pendengarnya kepada ajaran leluhur. Khotbah tidak lagi sebagai pengajaran, melainkan penebal semangat dan iman.
Coolen mengajarkan tiga buah rapalan kepada para pengikut baru, yaitu Rapal Pengandelan (Pengakuan Iman Rasuli), Rapal Pujian (Doa Bapa Kami) dan Racikan Sedasa Prekawis (10 Hukum Musa). Juga tembang dan ajian (doa-doa), kepada Dewi Sri dan Gunung Semeru berbentuk syair.
Tembang berperan penting membentuk pandangan dan perilaku masyarakat Jawa tradisional. Sama seperti peran kesusastraan dalam masyarakat modern, tembang merupakan media yang efektif untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan nilai-nilai moral kepada masyarakat.
Masyarakat saat itu memang dekat dan menyukai tradisi menembang ini, ketimbang gagasan-gagasan yang disampaikan secara verbal lewat percakapan biasa atau kotbah-kotbah resmi di mimbar.
Melalui tembang, segala nasihat dan wejangan moral benar-benar merasuk ke dalam sanubari setiap pendengarnya. Sehingga segala hal yang didengar orang lewat tembang itu, benar-benar menjadi pegangan dan sandaran hidup keseharian masyarakat Jawa.
“Oh, Gunung Semeru kang winarni, tetunggule Pulo Jawi. Tinetepna anggen kula tani, singkal kang kinarya pembikake siti, sitine kagawe pera. Buntutan kinarya pangukuh, cacadan kang anggendoli. Raden Pancurat kang duwe kwasa. Pecut penjeplake rajakaya. Jaka galeng kang den borehi, mbok rondha garu kang ngasta. Yaiku karemane mbok Sri Sadono. Kaidenan Gusti Yesus kang luwih kwasa.”
Terjemahannya:
“Oh, Gunung Semeru yang indah engkau adalah yang tertinggi di Pulau Jawa. Inilah kidung persembahan kami. Berkatilah kiranya pekerjaan kami sebagai petani, berkati pula bajak untuk membelah dan membalikkan tanah kami, sehingga tanah kami menjadi gembur. Berkatilah mata bajak yang menggaruk tanah kami, berkati juga gagang kayunya, yang kepadanya kami berpegang erat. Oh, Sang Air pemberi kehidupan, kiranya Engkau membasahi tanah kami. Kiranya bunyi pecut kami berdesing dengan keras, agar memacu lembu. Tanggul dan pematang telah kami siapkan, begitupun garu yang akan meratakan tanah kami. Kesemuanya (kesuburan) itulah yang menyenangkan hati Dewi Sri. Dan itu semua adalah berkat kuasa Tuhan Yesus yang tiada tara.”
Tembang di atas menyebutkan nama Dewi Sri, Ibu Pertiwi, yang erat kaitannya dengan tradisi menanam padi di Jawa. Dewi Sri adalah dewi padi. Bagi masyarakat Jawa, nama ini senantiasa dikaitkan dengan pengolahan sawah. Sedangkan Gunung Semeru merupakan tempat suci.
Pada saat mengawali pengolahan tanah, semua petani tidak boleh turun ke sawah terlebih dahulu sebelum Coolen sendiri yang pertama-tama membajak tanah itu dengan ritual yang hanya boleh dilakukan olehnya.
Sesudah Coolen menyanyikan tembang tersebut, kegiatan membajaknya dihentikan. Kemudian semua orang boleh memulai mengerjakan sawahnya sendiri-sendiri menurut peraturan yang sudah ditentukan.
Sedangkan untuk mengajarkan pengakuan iman, syahadat Kristen bagi jemaat itu. Coolen menyusun pengakuan iman Rasuli dalam bahasa Jawa.
Rapal Pengandelan:
“Sun angandel marang Allah Sawiji, anglangkuni kwasanipun, kang weged nyipta langit lan bumi. Sawijine Yesus Gusti kawula. Kang nampeni Roh Suci, lahir saka prawan Mariyam. Pasrah bawah Pontius Pilatus, sarta den prapat pinatenan, lan den pendem amblas dateng naraka. Telung dinane purna gesang. Muluk menyang swarga laya kesuma, lungguh asta tengene Allah. Inggih ngriku pinangkane ngadili pati lan urip. Sun angandel sejrone Maha Suci, lan sadaya masjide Kristus, rukune tiyang alim, kasapuran saking durakane, sarta urip daginge, urip sadaya salaminipun. Amin.”
Terjemahannya:
“Aku percaya kepada Allah yang Esa, yang kuasanya melebihi segala-galanya, yang menciptakan langit dan bumi. Yaitu (ialah) Yesus Kristus, Tuhan kami. Yang menerima Roh Suci, lahir dari perawan Maria. Diserahkan kepada Pontius Pilatus, dan disalib sampai mati, dan dikubur masuk ke dalam neraka. Di hari yang ketiga hidup kembali. Naik ke surga, duduk di tangan kanannya Allah. Dari situlah Ia mengadili yang mati dan yang hidup. Aku percaya dalam Yang Maha Suci, dan juga pada seluruh mesjidnya Kristus, perkumpulan orang saleh, pengampunannya dari dosa, serta kehidupan daging, dan hidup kekal selamanya. Amin.”
Dan setiap habis membaca suatu bagian dari Kitab Suci atau Injil, Coolen memciptakan satu tembang khusus.
Tembang setelah pembacaan Kitab Suci:
“Giranga padha atinira sadaya. Rohing Allah pinanjing mring manungsa. Ginawe kurban, kurbane alam donya. Minongka tebusane wong duraka. Merga bapakira Adam lan Kawa. O, Allah, tobata duraka kawula. Kasapuran Gusti Yesus kang kwasa. Margane sapura awak duraka, kaidenan Gusti Yesus kang luwih kwasa.”
Terjemannya:
“Bergembiralah hatimu semua. (Karena) Roh Allah masuk ke dalam manusia. (Dia) dijadikan kurban, kurban bagi dunia. Sebagai tebusannya orang berdosa. Lantaran bapak kita, Adam dan Hawa. O, Allah, ampunilah dosa kami. Pengampunan dari Tuhan Yesus yang berkuasa. Dosa kami diampuni, oleh karena karunia Tuhan Yesus yang berkuasa.”
Coolen kemudian sering disebut sebagai kiai Jawa, karena cara yang digunakan untuk menyebarkan iman Kristen itu mirip dengan kiai Jawa, ketimbang cara misionaris Belanda. Ia menggunakan pakaian adat Jawa seperti blangkon, surjan, takwa, bebet, jarit, kemben dan trumpah.
Coolen juga memanfaatkan kesenian gamelan, ura-ura, wayang kulit, dan kesenian tradisional lainnya untuk menyampaikan Injil agar mudah diserap oleh masyarakat awam. Coolen telah menguasai budaya Jawa dengan baik sehingga memuluskan proses penyebaran agama Kristen di Jawa Timur.
Pada suatu hari Coolen kedatangan Singotruno, seorang kiai Jawa. Singotruno mendatangi Coolen karena ia mendengar kabar bahwa Coolen mengenalkan ngelmu anyar, Yesus Kristus. “Tiada Tuhan selain Allah, Yesus Roh Allah”, kata ajaran ngelmu itu. Singotruno mengajaknya berdebat tentang Yesus Kristus dan Tritunggal.
Diceritakan bahwa Singotruno mengajukan teka-teki kepada Coolen:
“Saya punya teka-teki. Saya akan mengikuti orang yang mampu memecahkannya. Kata-katanya akan saya ikuti tanpa syarat,” kata Singotruno.
Singotruno lalu menyampaikan teka-tekinya itu.
“Di antara Allah ada Allah. Apakah gerangan nama Allah yang di dalam itu?”
Baru kali ini Coolen mendapat pertanyaan seperti itu. Ia terkejut sambil mondar-mondar sejenak, lalu masuk ke dalam rumah.
Coolen keluar dari rumah membawa lilin yang menyala. Ia memandangi orang-orang, lalu bertanya.
“Api ini, ada satu atau tiga?”
“Hanya satu,” jawab Singotruno.
Orang yang lain pun membenarkan jawaban Singotruno itu.
Namun Coolen segera membantahnya.
“Nyala api ini bukan satu, tapi tiga. Api ada pada sinarnya dan sumbunya ada di dalam api,” kata Coolen.
Orang-orang menyimak sambil menunggu penjelasan Coolen yang belum tuntas itu.
“Inilah Allah di dalam Allah, yang kamu cari,” kata Coolen
Singotruno mengaku kalah debat. Ia lalu masuk Kristen, berguru tentang Kristen dan Yesus Kristus kepada Coolen.
Desa Ngoro kemudian dikenal sebagai desa Kristen pertama di Jawa Timur. Untuk menunjang proses pengajaran agama Kristen di Ngoro, Coolen menetapkan sejumlah peraturan bagi penduduk desa.
Peraturan ini sesuai dengan mata pencaharian penduduk desa, yaitu petani. Dalam satu minggu Coolen menetapkan hari Minggu sebagai hari untuk beristirahat sekaligus sebagai hari untuk belajar agama.
Coolen membuat peraturan yang harus ditaati oleh setiap warga desa, yakni:
Selama enam hari bekerja, pada hari Minggu istirahat.
Tiap-tiap Minggu pagi berkumpul di pendopo rumahnya mengikuti pelajaran agama melalui pertunjukan wajang kulit.
Tiap-tiap Minggu petang berkumpul untuk belajar mengaji dan menghafal kesepuluh Perintah dan Doa Bapa Kami.
Pada hari-hari kerja warga desa diberi pelajaran bertani, tata tertib rumah tangga dan lain-lain yang berguna bagi mereka.
Model kristenisasi Coolen pada mulanya dikabarkan tidak terlalu dipermasalahkan. Namun Coolen tidak berhenti di situ, ia juga menolak sakramen suci Kristen Protestan, yakni Baptisan dan Perjamuan Kudus. Ia merasa Kristen yang demikian adalah Kristen milik orang-orang Eropa dan orang Jawa-Kristen tidak perlu mengikuti praktik tersebut.
Bagi Coolen, khususnya pembaptisan dapat menjadikan orang Jawa lupa pada budaya mereka. Coolen khawatir dengan baptisan itu masyarakat Jawa akan bertingkah laku seperti orang Belanda dan akan kehilangan watak Jawanya.
Maka saat mendengar penduduk Ngoro telah dibaptis oleh Emde di Gereja Protestan Surabaya, Coolen pun marah dan mengusir mereka. Pada 12 September 1844 tercatat lebih dari 40 warga Ngoro dibaptis di Surabaya.
Mereka yang telah dibaptis itu mendapatkan nama baru. Para lelaki harus memotong rambut dan tidak boleh menggunakan ikat kepala serta tidak lagi membawa keris ke kebaktian, bahkan tidak boleh memiliki keris.
Mereka harus memakai celana panjang, memakai jas atau kemeja lengan panjang seperti orang-orang Eropa. Bukan lagi kain seperti biasanya. Mereka tidak boleh menonton wayang, tayub, slametan, melantunkan tembang, merawat makam leluhur dan lain-lainnya, yang terkait dengan tradisi lama mereka.
Warga yang terusir ini kemudian membuka lahan permukiman enam kilometer dari Ngoro, yakni hutan Kracil yang terkenal angker di Mojowarno. Sekitar 55 orang penduduk Ngoro membuka hutan tersebut hingga menjadi Desa Mojowarno.
********
Saat itu secara ekonomis Desa Ngoro sedang berada di puncak karena produksi padinya melimpah. Coolen menjadi orang yang sangat kaya. Ini membuat Coolen mulai mengejar kepentingan pribadi dan bertindak tidak adil, berlaku tidak jujur serta kurang memperhatikan kepentingan penduduknya. Masyarakat Ngoro tidak lagi memiliki jaminan rasa aman dan slamet.
Sementara Pemerintah Belanda mulai menyadari bahwa Coolen tidak mengusahakan hutan Ngoro sesuai dengan ijin yang diberikan kepadanya, yaitu dikelola sebagai perkebunan. Hutan Ngoro, oleh Coolen, dijadikan sebuah desa pemukiman biasa yang hanya menghasilkan beras.
Padahal saat itu pemerintah sedang memberlakukan peraturan ‘tanam paksa’ dan ‘kerja paksa’. Pemerintah meminta supaya Coolen menerapkan peraturan tersebut dan menanami lahan mereka dengan tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekspor tinggi, seperti nila, tebu, kopi, teh dan lain-lain.
Namun Coolen menolak perintah itu dan tidak mau memperlakukan penduduknya seperti itu. Maka pada 15 Mei 1844 ia harus menghadapi Sidang Pengadilan di Surabaya.
Ia menghadapi tuduhan berlapis dan dituntut melakukan penghinaan terhadap pejabat pemerintah Eropa, mengabaikan perkawinannya serta hidup dalam perzinahan. Ini terkait dengan perkawinannya dengan Sadijah, tanpa menceraikan istri sahnya. Hakim memutuskan Coolen berada dalam status “pengawasan” karena “melanggar ketertiban umum”.
Namun pada bulan Oktober 1844, ia dilepaskan dari hukuman dan dibolehkan kembali ke Ngoro. Karena pemerintah menganggap Coolen dalam ‘keadaan mental yang tak sehat’.
Desa Ngoro kemudian tidak lagi menjadi persil. Pemerintah Belanda menolak memperpanjang kontrak Ngoro sebagai persil. Pada 1854 Ngoro telah kembali menjadi tanah milik pemerintah. Perubahan ini berdampak bagi para penduduk Ngoro. Mereka tidak lagi dilihat sebagai penggarap lahan pertanian, tetapi hanya sebagai penduduk desa biasa.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ngoro sebagai desa Kristen mulai mengalami kemunduran. Sejak 1850, Coolen tidak lagi menjadi tokoh utama penyebaran Kristen di antara orang Jawa. Pusat penyebaran agama Kristen telah berpindah ke Mojowarno.
Pada 1851, Serikat Misonaris Negeri Belanda (NZG: Nederlandsch Zendeling Genootschap) mulai memberitakan Injil kepada orang-orang Jawa dengan mengutus Pdt. J.E. Jellesma (1816–1858) sebagai misionaris pertamanya ke Mojowarno. Sejak berkembangnya jemaat Mojowarno itu, jemaat Coolen di Ngoro kehilangan nama dan terlupakan.
Kemudian pada 1923 Jemaat Mojowarno ini secara resmi disahkan oleh pemerintah kolonial sebagai gereja pribumi pertama di Jawa Timur dengan nama GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) Mojowarno.
Maka di masa menjelang akhir kekuasaannya itu, Coolen sendiri meminta Pdt. Jellesma agar seluruh orang Ngoro dan sekitarnya yang belum dibaptis dapat menerima sakramen baptisan.
Pada 1853, telah dilaksanakan tiga kali sakramen baptisan, sebanyak 381 orang Kristen dibaptis di Ngoro. Kali ini Coolen meminta agar mereka yang telah dibaptis tidak perlu pergi dari Desa Ngoro, yang sudah sepi penduduk itu. Sembilan belas tahun setelah Ngoro menjadi desa biasa, pada 2 Juli 1873 Coolen meninggal dunia dan dimakamkan di situ.
Pada era 1880-an itu tercatat ada lebih dari 20 komunitas Jawa-Kristen yang tersebar di Jawa Timur, sebagian besar terkait dengan pengajaran jemaat Mojowarno.
Sementara itu dalam hal keagamaan, kekristenan Jawa di Mojowarno ini berbeda dengan kekristenan Coolen. Antara 1840-1863 dicatat bahwa kehidupan jemaat Mojowarno sepenuhnya telah mengikuti gaya Barat. Kebaktian di gereja memperlihatkan kebaktian gereja Belanda tanpa perbedaan sedikit pun.
Tikar diganti dengan kursi, rapalan diganti dengan katekisasi doktrin Kristen Barat dan olah batin berubah menjadi olah nalar. Harmonisasi nada-nada pentatonik, yang biasa terdengar dari dzikiran, tembang-tembang gaiban dan pepujan, telah berganti dengan lagu-lagu rohani Eropa menggunakan nada-nada diatonik, yang terdengar aneh di telinga orang Jawa.
Memang jemaat Mojowarno tetap mempertahankan sifat dan cirinya sebagai gereja Jawa, yaitu secara eksklusif beranggotakan orang-orang Jawa dan setiap generasinya dihisabkan ke dalamnya melalui kelahiran dan baptisan.
Namun perubahan-perubahan terlihat jelas pada komunitas Kristen tersebut, masyarakat sekitar mulai memandang mereka sebagai ‘yang lain’. Bukan lagi bagian dari masyarakat Jawa, melainkan bagian dari orang-orang Belanda.
Hampir setiap kebaktian Minggu selalu ada beberapa orang Belanda yang hadir. Orang-orang Kristen Jawa itu lalu dianggap telah mengalami perubahan-perubahan sifat kejawaannya.
Tersirat juga bahwa orang-orang Kristen pribumi ini pun merasa diri mereka ‘lebih’ jika dibandingkan dengan saudara-saudara mereka yang bukan Kristen. Dalam suasana seperti itu, di masyarakat tersebar luas ungakapan sindiran, “Londo wurung, Arab durung, Jowo tanggung”.
—-
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.
—-
Kepustakaan
Akkeren, Philip van. Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995.
Aritonang, Jan S. Steenbrink, Karel A. A History of Christianity in Indonesia. Brill, Leiden, 2008.
End, Th. van den. Ragi Carita 1. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.
End, Th. van den. Ragi Carita 2. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999.
Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu: Batas–batas Pembaratan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
Guillot, C. Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa. Grafiti Press, Jakarta, 1985.
Nortier, C.W. Tumbuh, Dewasa, Bertanggung jawab: Suatu studi mengenai pertumbuhan Greja Kristen Jawi Wetan menuju ke kedewasaan dan kemerdekaan ± 1835-1935. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1981.
Sumartana, Th. Mission At The Crossroads: Indigenous Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
Wolterbeek, J.D. Babad Zending di Pulau Jawa. Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 1995.