Brutalitas Iman
Oleh Soffa Ihsan
Judul di atas berasa ‘ngeri-ngeri ngaco” mungkin. Bisa-bisa dinyinyir mengada-ngada, sontoloyo atau apalah. Saya sadar itu. Kalau hanya sebatas merangkai kalimat, bolehlah dipatrapi ‘pepesan kosong’. Torehan aksara memang acapkali bisa melecut orang kaget kepayang atau juga mengaduk-aduk militansi. Ingat kata ‘baqiya’? Kita kerap tekuri di youtube kata yang berubah magis dan herois itu dipekikkan oleh para serdadu ISIS. Bahkan anak-anak yang masih imut-imut di sana, di negeri yang diyakini hulu dari ‘Akhir Zaman’ meneriakkannya dengan bersimbah tekad. Pupuslah wajah innocent anak-anak beralih jadi wajah amarah. Dan ‘kata’ menjelma jadi gegara.
Saya tak ingin menyorongkan ungkapan bombastis. Fakta adalah ‘sesuatu’ bukan gagasan. Ini bukan urusan yurisdiksi biologis, seperti makan atau tidur. Fakta sosial–pinjam Emile Durkheim–,menggambarkan bagaimana nilai, budaya dan norma mengendalikan tindakan sosial. Zaman ketika Durkheim hidup, dia tergelitik fakta bunuh diri yang terkait dengan kepercayaan keagamaan. Simpulannya, perbedaan tingkat bunuh diri menunjukkan fakta dan budaya sosial terhadap tindakan.
Berawal dari Pertemuan
Seorang pria dengan rambut gondrong awut-awutan, berkenalan dengan saya pada sebuah kota. Dia lulusan institut seni yang terpandang di kota itu. Oh, dia seorang seniman yang kini bekerja di penerbitan. Penampilannya yang ala rocker Sepultura, tampak ‘sangar’, sesekali rambut panjangnya menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Namun, gaya bicaranya yang selalu menungging senyum, membuat saya merasa ‘nyaman’ dan asyik buat ngobrol. Beberapa hari saya di kota itu sering bersama dengan pria beranak satu ini.
Suatu malam, dia mencurahkan uneg-unegnya pada saya. Ada pilu mendesak di hatinya. Dia bercerita tentang pengalaman keagamaannya. Dia terlahir dari keluarga yang cukup agamis. Meski dia suka seni sejak kecil hingga dia kuliah mengambil jurusan seni, serta bergaul dengan banyak seniman yang ‘urakan’, dia tetap teguh menjalankan sholat lima waktu. Setelah menikahi gadis berjilbab, keagamaannya makin saleh. Sholat berjamaah bersama istrinya selalu terjaga. Anak semata wayangnya pun dididik mengaji dan dikirim ke sekolah agama.
Fakta teror yang terjadi berkali-kali di negeri ini ujug-ujug membuatnya kaget kepayang-payang. Dalam benaknya, pastilah pelakunya ini orang-orang yang taat menjalankan agama. Tidak mungkinlah dilakukan oleh semisal preman yang suka mabuk-mabukan dan berbuat maksiat. Dan juga merebaknya fakta kelompok-kelompok puritan yang kerap ribut dengan kelompok muslim lainnya. Terjadilah fakta antar muslim bersengketa memperebutkan surga, begitu istilah yang diungkapkan pada saya.
Fakta-fakta inilah yang membuat pikirannya meracau. Kian hari kian gaduh membising. Sekian waktu masih bisa dia redam. Tapi, lambat laun susah juga menghalau perasaannya yang makin galau. Dia akhirnya tak kuasa untuk melampiaskan segala emosinya. Emosinya menyembur kian menggelombang, dan byur menghanyutkan dirinya. Apa lalu? Eits, dia tak percaya lagi pada ajaran agama yang katanya selalu mengkhotbahkan kebaikan, faktanya tak selajur dengan pemeluknya yang gampang melakukan kekerasan. Semua ritual dia tanggalkan. Dia berontak dan memilih retak. Tak henti di retak, kemarahannya terus mengerak. Maki-maki dia layangkan pada mereka yang dia sebut telah melakukan ‘brutalitas iman’. Baginya, ini harus dilawan dengan ‘nihilitas iman’. Ya dia pilih ateis. Cuatannya itu cukup eye catching bagi saya.
Seiring dengan makin menampil ‘ moralitas mengambang’ di kehidupan atau malah makin luasnya wawasan seseorang, memeluk agama bukan berarti menerima apa adanya atau percaya begitu saja. Peristiwa tertentu, pengalaman hidup yang konfliktual atau menguatnya aphoira, pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban bisa menjadi pemicu bangkitnya kesadaran yang mempertanyakan eksistensi Tuhan. Paling tidak, itulah yang terjadi pada seseorang yang pernah mengalami konflik di Ambon. Dia bertutur pada saya pada sebuah pertemuan di kafe di daerah yang dikenal dengan budaya Pela Gandong ini. Tahun 1999 ketika Ambon dilanda tragedi perang agama yang berkepanjangan, dia mulai mempertanyakan tentang eksistensi Tuhan. Ketika itu kampungnya diserang oleh pihak lawan. Disitulah dia berpikir, apa Tuhan punya maksud lain? Apa gunanya kami berperang membela agama? Selemah inikah Tuhan yang disembah? Tiba-tiba dia jadi skeptis. Setelah pergumulan batin yang tidak begitu lama akhirnya dia memilih menjadi ateis.
Saya memang terhitung belum banyak bertemu dengan mereka yang memilih jalan ateis. Dari papasan saya dengan mereka ini, ada tali simpul yang bisa saya tarik bahwa mereka menjadi ateis karena fakta pertingkahan kaum beragama yang paradok dengan umbaran kebaikan yang kerap dipekikkan. Ada kontradiktif yang jelas menampak antara ajaran dan amalan sehingga membuat absurd bagi sementara orang dalam memandangnya. Ya, mereka yang hijrah menjadi ateis ada banyak kemiripan ‘push factor’-nya.
Siapa berani menutup mata, masih ada mereka-mereka yang begini ini yang tidak bisa dihitung cukup dengan jari. Yah, fakta ini jelas sebuah ‘noktah’ yang menggores di lubuk keberagamaan. Ada sikap eman kok harus konversi seradikal itu, tapi juga ada empati. Bukankah kekerasan dengan keyakinan agama itu harus dibedakan? Tapi juga, bukankah beragama yang kalap bisa melahirkan tindakan kalap?
Ini Fakta, Mau Apa?
Di negeri yang sohor dengan agamis ini, tampaknya tengah dilanda ombak yang mengarus di dua belahan. Satu belahan, negeri ini sedang dipertontonkan fakta ‘mabok agama’. Mereka dari berbagai kalangan berduyun-duyun mendalami agama. Cukup seorang ustadz menyeru, bertobatlah, maka anak muda, dewasa dan orang tua yang tadinya jauh dari agama, lalu menjadi taat. Bahkan pula, tak jarang saking taatnya, mereka berjarak dengan ’fakta’. Mereka tak lagi mau mendekapi fakta yang bineka. Namun, bukan uzlah yang dilakukan, melainkan lebih ‘enjoy syar’i’ berkumpul dengan ‘komunitas saleh’-nya yang sudah terbangun. Yang aneh, setelah berhijrah, ada yang berubah garang dan kemudian bawa parang.
Lagi-lagi fakta, seorang yang dituduh teroris dan ditangkap Densus 88, sidik punya sidik, dia berawal dari perubahan sikap setelah hijrah. Dia mengisolasi dari masyarakat sekitar dan hanya mau kumpul dengan habitatnya. Penampilannya juga beralih fashion. Masjid pun harus ‘terpilih’ sesuai ‘kaca mata kuda’ pahamnya.
Dulu di Solo ada yang namanya Sigid Qordhowi, nama yang dipilihnya setelah hijrah dari preman ke militan. Nyawanya terhenti setelah ‘disukabumikan’ oleh aparat akibat terseret di belitan terorisme. Imam Samudera sewaktu di penjara, berhasil menghijrahkan seorang napi bandar narkoba menjadi militan dan akhirnya terlibat dalam jaringan bom Bali. Para pendaku kehebatan imamnya yang dipersekusi, dan melahirkan reaksi militan bertubi-tubi, juga ada fakta yang disorongkan mereka bahwa banyak preman hijrah lalu membela gerakan mereka. Ada fakta lagi, pengakuan teman yang pernah nyantri di pesantren yang menfasilitasi militansi di Jatim. Disini, para santri dilarang baca buku-buku seperti novel atau cerpen. Alasannya, supaya santri tidak cengeng, sehingga tegap dan tegar nantinya untuk berjihad. Walau ada fakta pula, seorang yang hijrah ke kelompok puritan di Jawa Timur, setelah merasakan ribet dengan paham dan lelaku dari kelompok tersebut, lalu dia hijrah kembali menjadi preman dan bertato.
Di belahan lain, ada fakta yang mengendap-endap, mereka yang tadinya ‘pelakon agama’ berubah drastis menjadi pencibir agama dan bahkan ateis. Belum ada penelitian memang untuk mengungkap fakta ini. Namun, bila menilik milis-milis di internet faktanya sudah menyeruak pandangan-pandangan yang dengan berani mewacanakan dan bahkan membuka jati dirinya sebagai ateis. Mereka memanfaatkan internet untuk eksis di cyberspacea. Orang-orang ini berkumpul dan membuat komunitas maya serta aktif mewacanakan isu-isu ateisme dalam diskusi-diskusi yang dihadirkan di grup media sosial seperti facebook, twitter dan youtube. Ada komunitas “Indonesian Atheists”, ada pula grup Facebook dengan nama “Anda Bertanya Ateis Menjawab” dengan jumlah anggota puluhan ribu orang. Bahkan sejak tahun 2019, setiap tanggal 23 Maret telah dipatok untuk diperingati sebagai Hari Ateis Sedunia.
Nah, adakah ini fakta yang bersuaan dengan kian kekarnya paham keagamaan yang puritan dan radikal? Para pemurka terhadap ‘liyaning liyan’ di negeri ini ditengara ada fakta banyak lahir dari mereka yang tingkat ketaatan terhadap agama berada pada ‘skor’ tertinggi. Perlu survei kuantitatif dulu. Variabel bisa jadi jamak. Hanya saja, satu variabel yang menonjol juga tak jauh-jauh dari margin error-nya.
Nun jauh di sana, di Timur Tengah, kini ada hantu yang bergentayangan. Hantu itu adalah ateisme. Kendati belum terang-terangan, tetapi jumlahnya secara statistik kabarnya terus meninggi. Di Turki, Mesir atau Arab Saudi fakta jumlah mereka yang ateis terus menanjak. Minimal dalam kategori mereka yang mengaku sudah terbebas dari praktek keagamaan. Mereka yang ateis di sana juga sembunyi-sembuyi. Sebabnya, mengekspresikan sebagai ateis di Timur Tengah artinya bunuh diri. Jadi tidak ada exit untuk menyalurkan keateisannya. Kalau berani, ya seperti fakta seorang gadis remaja yang lari dari keluarganya di Saudi untuk mencari suaka di negeri Barat. Kilahnya, dia begitu terkekang dan sering mendapatkan kekerasan dari keluarganya yang memegang teguh ajaran Islam.
Cerita konversi ke ateis di Timur Tengah dalam banyak amatan ternyata tak lepas dari fakta akibat gelombang radikalisme yang menyayat-nyayat. ISIS dipandang sebagai biang kerok representasi pandangan keagamaan yang begitu puris dan brutal. Mereka yang lari dari agama, memandang adanya fakta bahwa agama telah menjadi penyebab tumbuhnya radikalisme dan akhirnya chaos yang memporakporandakan negara seperti di Suriah, Irak, dan Yaman. Tawuran antar sekte juga fakta dari adanya kekacauan berdarah. Para ulama militan di negeri para nabi ini, faktanya telah menerbitkan kitab-kitab yang menfatwakan bolehnya secara syariat untuk melakukan pembunuhan. Terbitlah misalnya kitab “Fiqh al-Dam’, yang didalamnya mengarusutamakan kebolehan melakukan pembunuhan dan bunuh diri sesuai ukuran syariat. Juga terbit buku yang yang disusun oleh Syeikh Mahmud bin Husein bertajuk ‘Memenggal Kepala Bolehkah Menurut Islam?”. Dalam buku ini justru melegitimasikan berdasar agama kebolehan memenggal kepala. Maka ISIS yang hobi penggal kepala jelas mendapat angin.
Apa yang terjadi dengan fakta ini? Dalam berbagai analisis, ateisme merebak jikalau agama semakin sulit dipisahkan dari politik. Kalau memang benar seperti ditulis oleh Tamer Fouad di artikelnya “The Arab Spring and The Coming Crisis of Faith” (2012), tentu mencemaskan. Kondisi ini tak mustahil terjadi di Indonesia yang saat ini lagi gelombang pasang militansi ekstrimisme keagamaan. Menurut Tamer, ada dua faktor penyebab munculnya gelombang ateis di jazirah Arab. Fakta terjadinya secara massif pembunuhan, pemerkosaan, hingga pembakaran rumah ibadah yang terjadi di banyak negara Timur Tengah. Fakta ini memantik masyarakat bingung dan merasa tersesat dengan keyakinan yang mereka peluk.
Senyampang itu, fakta kegagalan partai-partai Islam pasca ‘Arab Spring’. Tamer mencontohkan di Mesir. Setelah rakyat berhasil menumbangkan kediktatoran Husni Mubarak, meletik harapan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan kehidupan rakyat menjadi aman dan sejahtera. Namun, faktanya belum terwujud bahkan Mesir juga Suriah dan Irak tetap riuh dengan aksi kudeta serta teror-teror yang dilakukan oleh kelompok jihadis takfiri.
Semua fakta ini adalah otokritik. Tumbuh massifnya keberagamaan yang skripturalis dan ekstrim di negeri kita bisa berimbas antitesa; ateis. Keberagamaan juga perlu swakritik. Ada kredo; Al-insaniyah qablal tadawun, menjadi manusiawi dulu baru beragama. Ya, ‘iman yang humanis’ akan berbalas ‘iman yang kalis’.
Penulis adalah Penggiat Literasi Eks Napiter Rumah Daulat Buku (Rudalku)
Mas Soffa, keren tulisannya. Memotret fakta2.