Pergulatan Eksistensial dan Problem Modernitas
Oleh Yudhi Widdyantoro
Kesan pertama dari melihat poster filmnya, bisa dikatakan sangat memberi gambaran ide keseluruhan film. Sorot mata laki-laki muda pada sosok tua pada latar depan, tapi blur, samar, tidak jelas. Seperti ada terasa pancaran getaran dan kekaguman, tremendum et fascinat. Suasana batin yang biasa dialami para pejalan spiritual dalam perjumpaan pada sesuatu yang menjadi idaman, atau bahkan pada Yang Maha. Lelaki muda itu memegang sitar, alat musik klasik-tradisional dalam posisi ditegakkan. Seolah mau menggambarkan bahwa ini film sekitar dunia musik klasik. Dan dia memegang teguh, tegak lurus pada pakem klasik. Tim artistik dan publisis produksi film sebagai pembuatan poster The Disciple dengan memilih foto ini patut diapresiasi.
Menonton film ini, timbul pertanyaan: Apa makna kuno saat kini? Apakah menekuni musik klasik vokal, tradisi kuno di tengah industri musik modern yang mengikuti selera pasar, menjanjikan popularitas serta pundi-pundi uang yang besar adalah suatu kesia-siaan? Pertanyaan eksistensial ini menghampiri lelaki muda pemain musik klasik vokal India –karakter utama di film The Disciple. Sepanjang dua jam lebih penonton dihadapkan pada rentang ketegangan cerita dalam dua spektrum pilihan. Pilihan sekaligus problem klasik manusia: antara “yang ideal” dan “yang real”; antara “yang diinginkan” vs “kenyataan”; dassein – das sollen. Film ini menjadi seperti visualisasi suasana batin karakter utama dalam berselancar mengarungi lautan hidup antara jalan hidup memegang teguh pada musik klasik vokal yang terkesan kuno dengan keharusan survive, bahkan sekadar mendapatkan nafkah hidup dalam iklim dunia musik modern yang serba digital dan gemerlap, tapi mempunyai problem sendiri.
Plot, atau jalan cerita film yang sepertinya sederhana, bila dicermati bisa membuka sub-plot cerita yang berlapis-lapis: penghayatan pada musik spiritual dan sakral; hubungan Guru-Shishya atau guru-murid; sistem pendidikan seni kehidupan (the art of living) di India; lomba pencarian bakat; dan proses menjadi orang terkanal dalam industri musik modern yang seba digital. Semua lapisan cerita bisa disulam dan dirangkum menjadi suatu kain utuh yang tersaji dalam bentangan film layar lebar The Disciple ini.
Penghayatan pada Musik Sakral dan Sistem Pendidikan Seni Kehidupan India
Ada tiga matra dalam menyelami seni kehidupan (the art of living) India. Ketiganya bisa dikatakan sebagai worldview. Dalam bahasa sanskrit disebut marga, the path, jalan. Adalah Karma, action, tindakan atau laku; Jnana, knowledge, pengetahuan, dan Bhakti, devosion, persembahan. Bahwa apa pun aktivitas dalam mengarungi kehidupan, baik itu bermain musik, berolah vokal, menari, berlatih yoga, atau praktik meditasi perlu didasari pengetahuan dari sumber yang jelas lineage (sanad) atau rantai keilmuannya, baik itu berupa insitusi, orang yang mempunyai otoritas kepakaran dan mumpuni. Dan semua itu didedikasikan sebagai devosi kepada kehidupan dan kemaslahatan ummat dalam arti luas, atau secara khusus kepada Yang Maha, atau Tuhan. “I sing only for my Guru and for God”, kata Guruji pada Sharad. Mengingat guru pertama Sharad adalah bapaknya sendiri, ada hubungan segitiga antara murid – orangtua – Guru. Guru, sumber yang paling otoritatif ditempatkan lebih mulia daripada orangtua. Guru dianggap sebagai wakil Tuhan. Tegaknya institusi pendidikan untuk tumbuh serta terjaganya spiritual values atau kesakralan yang menjadi acuan dan oksigen untuk membangun hidup yang lebih bermakna, malampaui ukuran ekonomi dan intelektualitas. “He who has faith in Saraswati, the Goddess of music, will surely be blessed by her. You don’t just practice the music, but also endurance and perseverance. Because this journey is long and arduous. I’ve seen the best of them give up midway. There will be a thousand occasions to succumb and accept defeat. But you must not. He who has control over his mind… can never be swayed from his path, no matter what the circumstances, kata suara dari Guru Maai, guruya Guruji.
Dalam sejarahnya, para sufi dari Iran membawa instrumen seperti sitar, sarod melalui India Utara. Para sufi dalam laku kseharian, atau dalam ritual mengunakan seni sebagai medium dalam berdakwah. Di India memang tradisi guru-shishya, guru – murid sangat kuat. Hubungan tersebut dibangun juga lewat inisiasi. Ini yang memungkinkan muatan spiritual yang kuat dan dekat pada kesakralan.
Sharad adalah murid utama maestro musik klasik vokal India. Dunia permusikan kota Mumbai –ibukota bisnis India–sangat menghormati Sang Maestro. Muridnya tidak hanya orang India, tapi ada juga orang Kaukasian. Dalam tradisi di India, pengajar dengan karisma, dedikasi, dan kepiawaian mumpuni akan dipanggil dengan sebutan Guruji. Murid sangat menghormati Guru. Bagi orang di luar komunitasnya, memandang relasi murid-Guru sebagai ikatan kuat yang membelenggu. Murid menempatkan Guru dalam posisi superlatif di luar batas rasionalitas. Dalam pertunjukan bersama, terlihat sekali kekaguman Sharad pada gurunya. Kecintaan tanpa reserve. Baktinya sampai di luar urusan musik, tapi memijat juga membayar ongkos jasa dokter. Sharad, oleh bapak dan Guruji dipersiapkan untuk memegang teguh dan kelak meneruskan genre musik klasik-tradisi India.
Musik klasik vokal India bukan sembarang musik ngak-ngik-ngok. Musik klasik vokal India memunyai muatan spiritual yang kuat sekali. Kaitan musik klasik vokal dengan spiritualitas tidak hanya ditampilkan dengan keikutsertaan Sharad dalam kelompok meditasi bersama, tapi juga suara Guru Maai yang sudah seperti “suara Tuhan” sering menghampirinya dalam kesendirian, baik di kamar, atau berkendara motor: “A restless mind simple cannot sing Khayal music with depth and authenticity. To worship every note, every microtone, your mind has to be pure and unblemished. What is Khayal? It is the state of mind of the singer at that time, in that particular moment. He presents that state through the medium of a Raag. While singing, you yourself don’t know which new aspect of the Raag you will uncover. If you want the Truth of the Raag to spontaneously reveal itself, you will have to rid your mind of falsehood, greed and impure thoughts. Not everyone has the inherent discipline and faith required for this”.
Meskipun Sharad cukup berdedikasi –sampai harus mengorbankan kekerabatan keluarga–hasilnya tidak melulu berbanding lurus dengan harapan. Dalam kompetisi Sharad tidak menjadi juara, bahkan juara nomer buncit. Juara ketiga pun tidak. Dalam latihan dan pentas, Guruji sering mengoreksi langsung kekurangan Sharad. Namun Sharad tetap istiqomah. Dia tetap berlatih, tunduk dan patuh pada Guruji. “Once you close your eyes and utter the first note, nothing other than the Raag must be allowed to enter your mind. Then it does not matter, even if you fail that day… because at least you tried with sincerity.”
Problem makin kusut ketika Sharad menyaksikan sendiri, penyanyi dengan genre klasik seperti dirinya berhasil memenangkan kompetisi India Idol di kota Kolkata. Penyanyi yang sama beralih menjadi penyanyi pop, mendapatkan puja-puji dan popularitas dengan menjadi selebriti TV dengan kekayaan harta mengikuti. Sementara Sharad, tetap menjadi guru miskin, dan cinta pun pergi. Berkat meditasi Sharad mempunyai benteng untuk tidak menjadi trauma dan depresi. Kekesalan dan pergulatan batinnya “yang kalah” di dunia nyata dia salurkan atau lampiaskan dengan masturbasi.
Masturbasi menjadi simbol dan representasi keseluruhan film: pergulatan batin eksistensial. Antara perjuangan mempertahankan keklasikan dalam industri yang mengutamakan tampilan. Antara keinginan mandiri dengan suara Guru Maai yang selalu menghantui,“If you want to learn my music, then forget about the audience and other such notions. I do not sing for the audience or for patrons. I have no interest in showing off how many complex Raags I have mastered or how much training I have. I sing only for my Guru and for God”. Kekuatan utama film ini adalah pada cerita dasar dan pengembangannya. Sutradara yang juga menulis skenario, Chaitanya Tamhane menjadi orang beruntung. Dalam eksekusinya, dia mendapat mentor Alfonso Cuaron, sutradara Mexico peraih Oscar untuk filmnya Roma dan Gravity.
Selain tentang musik klasik vokal yang spiritual dan sakral, film ini juga menyentuh tradisi India lain, yaitu meditasi. Musik dan meditasi saling berkelindan. Dua tradisi yang butuh perenungan. Cerita seperti Sharad bukan hanya khas persoalan di India dan hanya di dunia musik. Kisah itu bisa terjadi di bidang lain; di negara mana pun; bisa menimpa profesi apa pun, baik teater, tari, meditasi atau juga yoga, selama masih ada yang menghidupi dan menjalani yang klasik dan sepi di dunia modern dengan tuntutan serba gemerlap, cepat dan menjanjikan keuntungan finasial berlipat-lipat. Kembali kata Guru Maai, “Through this music, we are shown the path to the Divine. There’s a reason why Indian Classical Music is considered an Eternal Quest. And to embark on that quest, you will have to surrender and sacrifice. If you want to earn money, raise a family, then perform love songs or film songs. Don’t tread this path. If you want to tread on this path, learn to be lonely and hungry.
Problem Modernitas
Khususnya soal pencarian bakat dan lomba-lomba penyanyi, seperti India Idol. Penentuan pemenang sangat bergantung dari banyaknya “like” dan “klik” yang datang dari penonton layar kaca di luar sana – yang tidak ada dalam suatu ruangan bersama, bukan semata-mata karena talenta, bukan pula ditentukan oleh dewan juri atau kurator yang otoritatif. Ini salah satu problem modernitas, khususnya upaya mempertahankan seni klasik. Dengan bantuan kemajuan teknologi informasi digital, juri dan penentu pemenang adalah penonton. Sangat mungkin pemodal yang memunyai jogoan bisa mengerahkan kekuatan sumber daya uangnya untuk memenangkan jagoannya, membayar buzzer, memborong kartu perdana untuk memperbanyak “like”, walaupun secara kualitas, suara jagoannya biasa-biasa saja. Dari sini, film ini seperti mengungkap ada realitas “kekuasaan” baru dan pergeseran hegemoni dari “kesadaran” homo sapiens, dalam hal ini, di sini adalah seni itu sendiri, menjadi kuasa teknologi, manusia digital, homo digitalis. Telah terjadi pendangkalan pengalman estetis karena yang indah tidak lagi dialami lewat laku kontemplatif, melainkan lewat sansasi dan keriuhan.
Perubahan cara produksi dan apresiasi karya seni membawa perubahan juga pada fungsinya, dari sebelumnya karya seni merupakan objek kontemplatif para individu, khususnya pelakunya. Dari yang paling awal sebagai kebaktian sebuah ritual yang berciri magis, lalu religius, karenanya sakral.
Seperti dalam bidang lain dalam masyarakat tradisional, seni berkelindan dengan ritual agama. Namun reproduksi mekanis karya seni yang masif, seperti lomba Indian Idol itu telah membuatnya menjauh dari agama, bahkan membebaskan karya seni dari tradisi dan kultus. Hilang kesakralannya.
Tamhane secara halus melakukan otokritik pada situasi sosial-politik India secara umum, dan secara khusus pada sistem kompetisis seni Idol-Idolan yang berbasis teknologi digital. Pertanyaannya kemudian, apakah Tamhane berpolitik? Untuk menjawab ini, dia menyerahkan pada penonton dengan mengingat, seperti kata Edwin, sutradara film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, “Film menjadi cermin dengan sendirinya dibuat dengan perspektif yang personal. Dan, ketika kita mempertanyakan begiti banyak hal di sekitar kita, apa pun yang dipertanyakan, pemikiran itu menjadi sikap politis,” (Kompas, 2 Oktober 2021).
Soal Permainan Akting dan Unsur Lainnya
Akting Modak sebagai Sharad bagus. Baik saat berusia 20-an ketika dalam bimbingan Guruji, maupun dalam peran di 20 tahun kemudian, sudah punya murid dan memimpin sekolah musik –yang terlihat lebih gemuk, berkumis. Mengingat Modak bukanlah pemain film profesional lulusan sekolah akting. Modak adalah pemain, pelaku seni musik klasik vokal dalam kesehariannya. Begitu juga pemeran Guruji, adalah juga guru musik klasik vokal sungguhan.
Tim produksi, selain pembuat poster dan publisis yang telah disinggung di atas, apresiasi tentunya perlu diberikan pada sutradara yang juga penulis script. Dan yang tak kalah penting adalah pada music director dan kameramen. Pada adegan pertunjukan musik klasik vokal di bagian awal, dengan kamera cinemascope dan statis dari kejauhan, penonton di rumah seperti merasakan ada, hadir di ruang mendengarkan langsung magis Guruji yang menggetarkan.
*Penulis adalah instruktur yoga