Sastra Bulan Purnama: Ruang Rimpang di mana Kuncup Merekah Kembang
Oleh: Indro Suprobo*
“A rhizome ceaselessly establishes connections between semiotic chains, organizations of power, and circumstances relative to the arts, sciences, and social struggles. A semiotic chain is like a tuber agglomerating very diverse acts, not only linguistic, but also perceptive, mimetic, gestural, and cognitive: there is no language in itself, nor are there any linguistic universals, only a throng of dialects, patois, slangs, and specialized languages.” – Gilles Deleuze
Dalam kutipan itu Deleuze menggambarkan gerak rimpang sebagai gerak yang tiada henti membangun hubungan antara rantai semiotik, organisasi kekuasaan, dan lingkungan yang berkaitan dengan seni, sains, dan perjuangan sosial. Rantai semiotik bagaikan umbi yang menghimpun beragam tindakan, tidak hanya tindakan yang bersifat linguistik, tetapi juga perseptif, mimetik, gestural, dan kognitif, sehingga bahasa itu sendiri kehilangan dirinya, juga tidak ada universalitas linguistik. Yang ada hanyalah sekumpulan dialek, ungkapan khas yang bersifat lokal, slang, dan bahasa-bahasa khusus. Penggambaran ini hendak menyatakan bahwa dalam ruang rimpang (rhizomatic space) tak ada struktur yang represif dan dominan, karena setiap elemen merupakan unsur-unsur yang khas, otonom dan bebas, yang dapat saling berhubungan satu sama lain, dan dapat bergerak ke manapun tanpa batas. Penggambaran ini mau menyatakan bahwa ruang rimpang adalah sebuah keterbukaan dan kebebasan di mana setiap unsur dapat bertumbuh dan bergerak ke segala arah. Dengan demikian tidak ada pusat dan tidak ada tatanan tetap yang mengaturnya, tak ada komando, dominasi, maupun referensi utama. Tak ada patron atau hierarki yang menuntun dan menentukan arah. Semuanya dapat bergerak bebas, saling bertemu, saling berfungsi, saling berubah dan menjadi berbeda atau bertransformasi. Di dalam ruang rimpang ini terdapat energi dasar untuk secara bebas saling berhubungan dan energi untuk saling berhubungan ini tidak dibatasi oleh suatu tatanan atau kekuasaan, melainkan melalui suatu sinergi yang berbeda dan radikal, serta dapat menjembatani segala yang berbeda.
Namun demikian, meskipun tampaknya bebas bergerak ke segala arah, dan saling membentuk hubungan tanpa adanya suatu tatanan atau kekuasaan, realitas ini tidak dapat dikatakan sebagai tanpa arah, sebab secara substansial semuanya menuju kepada suatu arah yang jelas, yakni bergerak, mengarah dan bertumbuh menuju kreativitas yang merekah. Ruang rimpang (rhizomatic space) dengan demikian adalah ruang yang terbuka luas untuk saling bergerak, membebaskan diri, mengarah menuju jejak untuk terus-menerus “menjadi” (becoming) tiada henti, berubah dan bertransformasi, senantiasa melintas dalam kreativitas.

Kika: Sulis Bambang, Suharmono Arimba, Joshua Igho (moderator)
Ruang rimpang (rhizomatic space) seperti inilah yang tampaknya dihidupi dan menjadi suasana dasar komunitas Sastra Bulan Purnama, yang pada 11 Oktober 2025 lalu menapaki usia 14 tahun. Komunitas ini diinisiasi dan dijagai oleh Ons Untoro di Jogjakarta. Selama 14 tahun, secara rutin setiap bulan, komunitas ini menghadirkan diri dalam beragam aktivitas seperti pembacaan puisi atau geguritan, pembacaan nukilan cerpen, nukilan novelet, pertunjukan naskah lakon, musikalisasi puisi, koreografi cerpen, diskusi dan penerbitan buku.
Komunitas ini sangat terbuka dan dihidupi oleh beragam profesi seperti jurnalis, penyair, pegiat teater, dosen, guru, mahasiswa, peneliti, editor buku, aktor-aktris, penulis cerpen, penulis novel, pemusik, pelukis, ibu rumah tangga, maupun emak-emak kreatif riang gembira, dan profesi-profesi lainnya, baik lansia maupun orang muda. Sebagai ruang rimpang, setiap orang yang berpartisipasi di dalamnya dapat bergerak dan berkontribusi secara bebas sesuai dengan keunikan, kompetensi, hobby, dan karakter dirinya. Setiap orang yang ada di dalamnya dapat saling bertemu dalam beragam perbedaan, berkolaborasi, saling belajar, saling mendukung, saling memberi ruang, saling membebaskan untuk hadir dan “menjadi” (becoming) sesuai dengan hasrat dasar batinnya. Dengan demikian, ruang rimpang ini memungkinkan setiap orang untuk menjadi kreatif, transformatif, secara unik dan otentik.
Barangkali, ruang rimpang yang disediakan inilah yang membuat komunitas ini bisa bertahan hidup dan konsisten hadir dalam beragam aktivitas serta memberikan rasa nyaman, at home, ngangeni, bagi setiap orang yang berpartisipasi di dalamnya, sehingga setiap orang merasa diterima dalam keramahan (hospitality) sebagai dirinya yang unik dan apa adanya, tanpa syarat dan kriteria.
Rasa nyaman untuk berpartisipasi dan hadir di dalam ragam aktivitas Sastra Bulan Purnama ini dinyatakan oleh ibu Sulis Bambang, penulis puisi dan pengelola Bengkel Sastra Taman Maluku, Semarang, dalam bincang Puisi dan Komunitas di Museum Sandi Jogyakarta. Ia menyatakan:
“Saya enjoy dengan Sastra Bulan Purnama karena tidak terlalu banyak aturan, tidak terlalu bertele-tele dan tidak menerapkan kurasi yang terlalu sulit. Jika kurasinya terlalu sulit bagaimana mungkin para penyair muda akan mendapatkan tempat?”
Suasana seperti ini tampaknya cocok dan sejalan dengan suasana yang dibangun di Bengkel Sastra Taman Maluku yang dikelolanya, di mana setiap orang melakukan sinau bareng lewat pembacaan puisi, bedah novel, bedah buku, dan pada saat tertentu mengundang sastrawan seperti Ahmad Tohari atau NH. Dini untuk berbagi pengalaman dan bersedekah ilmu tanpa bayaran. Ruang rimpang yang membebaskan keunikan dan keberbedaan inilah yang memberikan rasa nyaman sehingga ia merasa enjoy untuk berpartisipasi di dalam komunitas.
Ruang rimpang yang menyediakan kebebasan untuk bergerak dan terus “menjadi” (becoming) ini, dalam sebuah obrolan santai di Ndalem Lawang Ijo Kuning (Rumah Dedet Setiadi), Ngluwar, Magelang, secara jelas diungkapkan oleh Sonia Prabowo, seorang fotografer, pelukis, penulis puisi sekaligus penulis cerpen, dengan pernyataan demikian:
“Saya merasakan bahwa setiap orang yang hadir di dalam komunitas ini semuanya bertujuan untuk saling membantu agar setiap orang menjadi lebih maju.”
Pernyataan itu menunjukkan bahwa ruang rimpang memungkinkan setiap orang untuk merasa didukung, didorong, disemangati, diberi jalan, diberi kesempatan untuk terus-menerus bertumbuh dan memperbaharui diri secara kreatif dan bebas. Ruang rimpang menyediakan daya-daya apresiatif yang positif bagi setiap orang yang hadir di dalamnya.
Dalam ungkapan yang berbeda, Ons Untoro sebagai inisiator dan penjaga komunitas, menyebut ruang rimpang ini sebagai ruang persahabatan yang perlu terus-menerus dijaga melalui sikap etis.
Persahabatan ini harus terus-menerus dijaga dengan sikap etis. Sikap etis ini adalah tidak adanya kepentingan untuk memanfaatkan orang lain di dalam komunitas. Sikap etis ini diwujudkan dengan menciptakan dan menjagai iklim kreatif sehingga setiap orang benar-benar dapat menjadi kreatif.

Ons Untoro
Pernyataan tentang sikap etis yang terwujud dalam tidak adanya kepentingan untuk memanfaatkan anggota komunitas ini menunjukkan bahwa komunitas Sastra Bulan Purnama sebagai ruang rimpang benar-benar meninggalkan apa yang disebut sebagai dominasi, kekuasaan dan struktur. Dengan demikian setiap orang menemukan dan merasakan iklim kreatif yang memberikan keleluasaan bagi dirinya untuk menggerakkan hasrat kreatifnya menjadi semakin aktual. Oleh Ons Untoro, sikap etis ini direfleksikan dari pengalaman dan realitas bahwa dalam perjalanan komunitas, memberikan ruang luas kepada setiap orang untuk menjadi kreatif tanpa dominasi itu sesuatu yang penting dan produktif. Iklim kreatif adalah seluruh suasana yang menarik dan mendorong setiap orang untuk membebaskan hasrat kreatifnya mengaktualisasi baik sendiri-sendiri maupun dalam kolaborasi.
Tiadanya struktur dan tiadanya kepentingan atas orang lain, di mana yang ada adalah hasrat untuk menjadi kreatif dan transformatif, terus-menerus bergerak merangsek maju dan bertumbuh, menjadikan setiap orang yang berada di dalam ruang rimpang ini hanya berorientasi kepada menjadi kreatif dan produktif, tanpa menuntut orang lain untuk memberikan pengakuan (recognition). Dalam ruang rimpang, pengakuan (recognition) itu sudah dengan sendirinya mengalir satu sama lain ketika setiap orang saling bertemu, saling bergerak, saling mendukung untuk maju dalam kreativitas.
Yuliani Kumudaswari, seorang penulis dan penyair produktif, yang hampir setiap tahun melahirkan karya antologi puisi tunggal, mengungkapkan suasana ruang rimpang yang diwarnai oleh tiadanya kepentingan atau kebutuhan akan pengakuan, yang dialaminya di dalam komunitas Sastra Bulan Purnama itu dengan kata-kata demikian:
“Saya menemukan bahwa barangkali orang-orang yang hadir di dalam Sastra Bulan Purnama itu adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ini tampak dalam sikap dan perilaku teman-teman yang terbiasa untuk “merendah” dan tidak menunjukkan diri sebagai orang yang hebat meskipun sudah terbukti bahwa ia telah melahirkan karya-karya yang bagus.”
Penegasan Yuliani Kumudaswari orang sudah selesai dengan dirinya sendiri itu menunjukkan bahwa ruang rimpang itu memengaruhi lahirnya orang-orang yang berorientasi produktif, yakni orang-orang yang berupaya terus menciptakan sesuatu sebagai kontribusi bagi keseluruhan. Sementara orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri adalah orang-orang yang orientasinya konsumtif, meminta dan menuntut dari orang lain agar memenuhi kebutuhan dirinya, yakni kebutuhan akan pengakuan. Sikap konsumtif ini seriingkali justru mengaburkan orientasi sehingga orang justru tak pernah menjadi produktif, tak mudah belajar, tak mudah mengalir, tak mudah bergerak, tak mudah bergandengan untuk membangun kolaborasi. Sifat produktif itu mencermnkan keterbukaan dan kebebasan, sementara sifat konsumtif itu mencerminkan ketertutupan dan keterbelengguan.
Pentingnya ruang rimpang sebagamana dihidupi dan dijagai oleh komunitas Sastra Bulan Purnama ini, dalam Bincang-bincang Puisi dan Komunitas, secara oposisional ditegaskan oleh Suharmono Arimba, pengajar Sastra di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, demikian:
“Keterjebakan di banyak komunitas sebagian besar adalah soal patronase. Ketika inisiatornya sudah tidak aktif, penerusnya tidak ada. Maka perlu dipikirkan soal regenerasi.”
Patronase adalah sesuatu yang ditolak oleh ruang rimpang, karena patronase itu mencerminkan kekuasaan dan hierarki. Sementara dalam ruang rimpang, yang dihadirkan justru tiadanya patronase, melainkan kebebasan setiap orang untuk bergerak ke segala arah dan bertemu serta bergandengan dengan siapapun juga untuk masing-masing maupun bersama-sama mengarah kepada perubahan, kebaharuan dan kreativitas.
Institusionalisasi, Liberasi, dan Regenerasi sebagai Tantangan
Dalam forum Bincang-Bincang Puisi dan Komunitas, Suharmono Arimba menyampaikan sebuah pertanyaan rekomendatif namun juga pantas ditanyakan kembali secara kritis. Pertanyaan rekomendatif yang disampaikannya itu berkaitan dengan institusionalisasi dan regenerasi.
“SBP (Sastra Bulan Purnama) ini dengan modal 14 tahun itu sudah sangat mungkin untuk naik membuat yayasan, membuat program dan sebagainya. Jadi perlu dipikirkan pelembagaannya, dengan kesekretariatan yang mapan. Memang motivasi pak Ons untuk memberikan ruang bagi komunitas sastra ketika media sudah tumbang, sudah terpenuhi dan perlu dipikirkan kelanjutan-nya akan seperti apa. Bagi kaum muda, menulis dan membuat buku itu hal yang gampang. Mereka sudah sangat canggih. Mereka pingin sesuatu yang lebih dan punya program inovatif yang belum pernah dilakukan.”
Berkaitan dengan pertanyaan tentang perlunya pelembagaan Sastra Bulan Purnama itu, secara gamblang Ons Untoro menegaskan:
“Soal yayasan, ketika 5 th SBP mas Slamet Riyadi minta bikin yayasan. Kalau bikin yayasan SBP, saya akan susah karena yang aktif di SBP ini banyak orang. Lalu siapa yang harus masuk jadi pengurus. Maka saya biarkan terbuka begini, siapapun boleh masuk, siapapun boleh berkontribusi. Jadi tidak ada ikatan. SBP tidak boleh saya klaim. Posisi saya hanyalah mengkoordinasi supa-ya tetap jalan. Saya mengambil posisi seperti itu.
Penegasan yang disampaikan oleh Ons Untoro ini sekali lagi pantas dibaca sebagai kesadaran tentang pentingnya menjaga iklim kreatif yang telah terbangun melalui pengalaman penyediaan ruang rimpang dalam komunitas, tanpa hierarki, tanpa dominasi, tanpa kepentingan. Penegasan ini menunjukkan bahwa Ons Untoro sebagai inisiator komunitas lebih memilih proses liberasi (pembebasan) daripada proses institusionalisasi (pelembagaan). Pilihan proses liberasi ini telah terbukti lebih mampu menjagai etik persahabatan, iklim kreatif, dan keterbukaan keunikan serta otonomi semua orang yang berpartisipasi di dalamnya. Proses liberasi ini memang menjadi roh fundamental dari ruang rimpang (rhizomatic space).
Dalam perspektif Gilles Deleuze, pilihan untuk menjagai ruang rimpang melalui proses liberasi ini jauh lebih menjanjikan lahirnya multiplisitas berkelanjutan (continues multiplicity) yang bukan hanya imitasi dan homogenisasi melainkan sungguh-sungguh merupakan lahirnya kreativitas, sesuatu yang benar-benar berbeda, dan merupakan kebaharuan (novelty). Dengan demikian, komunitas ini akan terus-menerus lebih menyediakan keterbukaan dan kesegaran, yang menjadi daya dukung bagi setiap orang untuk terus-menerus menemukan ruang apresiasi positip untuk secara bebas dan kreatif melahirkan kontribusi.
Jika demikian, selanjutnya menjadi penting untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan regenerasi. Barangkali dalam konteks menjagai ruang rimpang komunitas Sastra Bulan Purnama, regenerasi (Latin, re-generare: melahirkan kembali) tidak semata-mata dimengerti sebagai melahirkan kembali satu subyek yang menjagainya, melainkan melahirkan kembali sifat rimpang itu sendiri. Sifat rimpang (rhizomatic space) itu dapat terus-menerus diproduksi dan dijagai oleh lebih banyak orang yang berpartisipasi di dalam komunitas ini. Semakin banyak orang yang menghidupi sifat rimpang itu, semakin terjagai pula iklim kreatif dan liberatif komunitas ini, sehingga bukan hanya setiap orang yang berpartisipasi di dalamnya itu semakin menjadi, melainkan juga komunitas itu sendiri terus-menerus menjadi (becoming) menuju aktualisasi yang barangkali tak pernah terpikirkan sebelumnya karena merupakan kebaharuan (novelty) yang tercipta dan dilahirkan di dalam proses bergerak.
Semoga dengan demikian, Sastra Bulan Purnama akan terus-menerus berjalan sebagai ruang rimpang di mana setiap pucuk di dalamnya semakin menemukan kegembiraan, kebebasan dan kreativitas untuk merekah menjadi kembang.
***
(Tulisan ini merupakan catatan reflektif atas ulang tahun Komunitas Sastra Bulan Purnama Yogyakarta yang dirayakan dengan Bincang Puisi dan Komunitas serta peluncuran Antologi Puisi karya 136 Penyair di Museum Sandi, Yogyakarta pada 11 Oktober 2025)
——
*Indro Suprobo, penulis, editor, penerjemah buku, tinggal di Yogyakarta.