Absurditas Sastra dan Cacat Linguistik: Mengapresiasi Retakan dalam Bejana Simulakra
Oleh: Gus Nas Jogja*
Sastra sering kali dirayakan sebagai puncak pencapaian peradaban manusia dalam mengorganisasi makna. Namun, di balik kemegahan metafora dan presisi diksi, tersembunyi sebuah tragedi ontologis yang tak terelakkan: Cacat Linguistik. Esai ini akan membedah bagaimana sastra, sebagai sebuah sistem simulakra, justru menemukan keagungannya bukan melalui kesempurnaan representasi, melainkan melalui pengakuan akan absurditasnya sendiri.
Epistemologi Luka: Puisi sebagai Kegagalan Bahasa yang Indah
Secara epistemologis, bahasa lahir dari hasrat manusia untuk menjinakkan realitas. Kita memberi nama pada benda-benda dengan harapan dapat memilikinya secara kognitif. Namun, dalam proses kreatif seorang pemuisi, terjadi sebuah “pengkhianatan semiotik”. Kata bukanlah benda; ia hanyalah tanda (signifier) yang merujuk pada konsep (signified), yang sering kali telah kehilangan kontak dengan objek aslinya (referent).
Inilah yang disebut sebagai Cacat Linguistik dalam Sastra. Bahasa tidak pernah cukup luas untuk menampung ledakan pengalaman manusia. Ketika seorang penyair menulis kata “luka”, ia sedang melakukan simulakra—ia menciptakan tiruan dari rasa sakit yang asli. Sastra, dengan demikian, adalah sebuah bangunan yang didirikan di atas fondasi kegagalan. Namun, sebagaimana dalam filosofi Kintsugi di Jepang, di mana keramik yang pecah disambung kembali dengan emas, retakan dalam bahasa itulah yang justru memberikan nilai estetika dan spiritual. Retakan itu adalah ruang di mana kebenaran yang tak terkatakan menyelinap masuk, dan puitis.
Barat dan Absurditas Camusian: Melawan Kekosongan Makna
Dalam tradisi Barat, terutama dalam garis pemikiran eksistensialisme, cacat linguistik ini bertemu dengan Absurditas. Albert Camus melihat absurditas sebagai konflik antara kerinduan manusia akan makna dan “diamnya alam semesta” yang membisu.
Secara semiotik, sastra Barat pascamodern sering kali merayakan cacat ini melalui teknik dekonstruksi. Karya-karya seperti Waiting for Godot milik Samuel Beckett adalah monumen bagi keheningan yang dipaksakan berbicara. Karakter-karakternya terjebak dalam lingkaran simulakra linguistik; mereka berbicara untuk membunuh waktu, bukan untuk menyampaikan pesan. Di sini, cacat linguistik menjadi alat untuk menelanjangi kepalsuan eksistensi. Sastra tidak lagi mencoba menjadi “jendela” yang jernih menuju dunia, melainkan menjadi cermin retak yang memantulkan fragmentasi jiwa manusia.
Timur dan Estetika Kekosongan: Penyangkalan terhadap Berhala Kata
Berbeda dengan Barat yang sering kali memandang cacat linguistik sebagai krisis, tradisi Timur cenderung menerimanya dengan narasi spiritual yang tenang. Dalam sastra Sufisme atau Zen, bahasa justru dipandang sebagai “hijab” atau penghalang bagi kebenaran sejati.
Ambil contoh puisi-puisi Jalaluddin Rumi. Ia sering kali menghancurkan struktur bahasa untuk menunjukkan bahwa makna Tuhan tidak bisa dipenjara dalam tata bahasa. Secara epistemologis, Timur bergerak dari logos atau kata menuju rasa kedalaman intuisi. Sastra Timur yang agung adalah sastra yang jujur mengakui bahwa dirinya hanyalah simulakra—sebuah “kebohongan yang mengatakan kebenaran,” sebagaimana kutipan terkenal Picasso.
Cacat linguistik dalam Haiku Jepang, misalnya, bukan karena kemiskinan kata, melainkan karena kesadaran bahwa kebenaran realitas hanya bisa ditangkap dalam satu tarikan napas keheningan. Di sana, semiotika bekerja melalui “ketidakhadiran” atau presence of absence.
Membaca sebagai Latihan Spiritual: Menembus Tirai Simulakra
Secara spiritual, membaca sastra bukan sekadar aktivitas intelektual untuk mengumpulkan informasi, melainkan sebuah latihan untuk melihat menembus simulakra. Jika kita terjebak pada keindahan bahasa semata, kita sedang menyembah berhala. Kita sedang memuja peta, namun melupakan wilayahnya.
Sastra yang jujur mengajak pembacanya untuk menyadari bahwa setiap titik dan koma adalah batas dari apa yang bisa dipahami manusia. Membaca sastra yang “cacat” adalah cara kita pulang menuju keheningan. Kita menggunakan kata-kata sebagai tangga, namun setelah kita sampai pada puncak pemahaman—sebuah momen di mana hati bergetar melampaui logika—kita harus berani membuang tangga tersebut.
“Sastra tidak pernah bisa menjadi realitas, tetapi ia bisa menjadi pintu menuju realitas. Syaratnya hanya satu: ia harus mengakui bahwa ia adalah sebuah simulakra.”
Penutup
Menghuni Keheningan di Balik Teks
Absurditas sastra terletak pada kenyataan bahwa kita terus menulis meskipun kita tahu bahasa itu cacat. Kita terus membaca meskipun kita tahu makna itu selalu tertunda. Namun, di sanalah letak kemanusiaan kita. Kita adalah makhluk yang menghuni retakan makna.
Kita harus menerima bahwa setiap karya sastra mengandung cacat linguistik. Namun, retakan itulah yang membuat bejana pengalaman kita menjadi indah. Dengan emas kesadaran, kita menyambung kepingan-kepingan kata tersebut hingga menjadi sebuah narasi hidup yang utuh. Pada akhirnya, sastra yang paling bermakna adalah sastra yang mampu membawa kita pada titik di mana kata-kata berhenti, dan keheningan mulai bicara. Itu saja!***
——
*Gus Nas Jogja, budayawan.



