Sutardji, Puisi, dan Sepotong Roti
Oleh: Mahwi Air Tawar*
Bang Tardji—Sutardji Calzoum Bachri—saya menulis catatan ini bukan untuk mengulang legenda “pembebasan kata” yang telah lama kausiramkan ke tubuh sastra Indonesia. Bukan pula untuk menegaskan kembali julukan Presiden Penyair, sosok yang memukul-mukul bahasa sampai menyerah. Esai ini lahir dari sesuatu yang lebih sederhana sekaligus lebih menusuk: sepotong roti, selembar puisi, dan sebuah perjalanan kecil menuju ruang sakit yang, entah mengapa, terasa lebih hidup daripada banyak ruang yang mengaku sehat.
Namun bagaimana mungkin menulis tentangmu tanpa menyentuh riwayat panjang yang telah menjadikan namamu bukan sekadar nama, melainkan penanda zaman. “Presiden Penyair Indonesia” bukan julukan main-main. Lebih dari enam dekade engkau berkarya di ranah sastra, melintasi rezim, selera, dan generasi. Pada 2025, negara—melalui Kementerian Kebudayaan—menganugerahkan Anugerah Kebudayaan Indonesia kepadamu. Penghargaan itu diserahkan di Ciputra Artpreneur Theatre, bersama 31 penerima lainnya, dalam sebuah seremoni yang lebih mirip penegasan sejarah daripada perayaan seremonial belaka. Kau sendiri pernah berkata, dengan nada jenaka sekaligus jujur, bahwa berbagai penghargaan telah kau terima—dari Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia, gelar Datuk Seri Pujangga Utama dari Riau, hingga SEA Write Award dari Kerajaan Thailand—namun tetap saja ada rasa bahagia menerima pengakuan itu di usia yang telah menua.
***
Senin, 8 Desember 2025, jam 17.30. Saya bersama penyair Jamal D. Rahman berangkat dari Wisma Mas, Pondok Cabe, menuju Rumah Sakit Premier Jatinegara. Tujuan kami: menjengukmu, Bang Tardji—penyair yang oleh sebagian anak muda hanya dikenang melalui kalimat “membebaskan kata dari makna”; padahal bagi kami, engkau adalah penyair yang justru membebaskan makna dari nasib.
Ungkapan itu tentu tak bisa dilepaskan dari Kredo Puisimu—sebuah sikap estetik yang mengajarkan bahwa kata-kata harus dibebaskan dari pengertian dan beban ide. Tetapi Kredo itu bukan sekadar teori sastra; ia adalah cara hidup. Ia menjelaskan mengapa puisimu bisa liar, bisa bermain-main, bisa tampak sepele, tetapi sekaligus menyimpan ketegangan batin yang tak pernah tuntas. Ia juga menjelaskan mengapa puisimu bisa hidup di ruang akademik, tetapi juga lolos ke warung kopi, panggung rakyat, bahkan—seperti yang akan kuceritakan—ke bungkus roti bolu.
Menurut penuturan Mila—putrimu, kau masuk rumah sakit pada 4 Desember 2025, setelah tubuhmu digerogoti demam berdarah. Trombosit turun. Wajah pucat. Kamar awalmu—504—tak memberi kepastian apa pun. Maka kau pindah ke ruang non-BPJS, bukan untuk mencari kemewahan, tapi untuk mencari kejelasan. Bahkan penyair pun membutuhkan kepastian, meskipun sepanjang hidupnya berdamai dengan ketidakpastian itu sendiri.
Kepastian itu barangkali telah lama kaulawan sejak muda. Pada 1971, kumpulan puisimu Amuk memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta—sebuah penanda penting bagi generasi penyair Indonesia. Kau lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, tetapi universitas sejati bagimu adalah bahasa itu sendiri. Kau pernah bekerja sebagai redaktur di majalah Horison, bahkan menjadi redaktur senior sejak 1966, lalu berkiprah pula di majalah mingguan Fokus. Setelah meninggalkan Horison, kau mengelola rubrik budaya Bentara di Harian Kompas dan menangani puisi pada 2000–2002. Di sana, kau bukan hanya menulis, tetapi membuka pintu bagi suara-suara lain—sebuah kerja sunyi yang jarang dicatat sejarah.
Sebelum berangkat, Jamal membeli tiga roti bolu: dua untukmu, satu untuk kami santap di perjalanan. Namun justru roti itulah, dengan cara yang nyaris konyol, yang mengubah perjalanan itu menjadi peristiwa sastra dadakan. Saat saya membuka bungkus roti itu, sebuah puisi menyembul tanpa permisi:
“Rinduku yang kusembunyikan di balik awan, // kini mulai turun lewat sebuah rasa untuk menemuimu.”
Kami tertawa. Bukan hanya karena puisinya mendadak muncul, tapi karena roti itu, tanpa diminta, diam-diam menyelipkan batin manusia ke dalam produk industri. Puisi itu seperti berkata: “Hei, jangan terlalu percaya bahwa puisi sudah punah. Aku masih hidup. Bahkan di pabrik roti.”
Hidup memang penuh ironi, Bang. Puisi sering menjauh dari seminar, tapi mendekat ke pabrik. Industri mengejar laba, tetapi entah siapa—editor kemasan? buruh yang patah hati?—masih sempat memasukkan rindu ke dalam bungkusan. Konsumen diberi gula dan tepung, tetapi juga diberi ruang batin yang tak bisa dijual terpisah.
Di titik inilah saya sadar: puisi tidak pernah tersingkir. Ia hanya mengubah alamat tinggal.
Bukankah engkau sendiri telah lama membuktikan itu? Pada musim panas 1974, kau membaca puisi di Rotterdam, Belanda, dalam International Poetry Reading. Tak lama setelahnya, dari Oktober 1974 hingga April 1975, kau mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Kata-katamu menyeberangi bahasa dan benua, tetapi tetap kembali ke satu hal yang sama: manusia yang gelisah, bermain-main dengan bunyi, namun tak pernah benar-benar main-main dengan hidup.
Hari ini banyak yang mengeluh puisi makin kalah dalam hiruk-pikuk industri. Padahal justru industri—tanpa sadar—menjadi pasar gelap bagi kata-kata. Puisi muncul sebagai debu yang tak bisa disapu: di iklan minuman, label parfum, dinding kafe, caption diskon, dan, sore itu, di balik kertas roti bolu yang tidak pernah bercita-cita estetis.
Ironis, ya? Dahulu puisi dimuliakan, harus dicetak di majalah sastra atau dibedah dalam seminar. Kini ia tinggal di kemasan snack. Tetapi justru di sanalah keliaran puisi bekerja: ia bisa hidup tanpa panggung. Sedangkan panggung sastra sendiri sering berubah menjadi panggung komoditas: puisi ditulis demi lomba, hadiah, atau likes. Bukan lagi demi naik kesadaran, tetapi naik pamor.
Padahal lihatlah roti itu, Bang. Ia polos, tak punya ambisi apa-apa. Namun seseorang masih menyelipkan sejumput rindu di dalamnya. Dari sanalah puisi memantul kembali kepada kita: sebagai bukti bahwa manusia, betapapun dikejar target produksi, tetap makhluk yang membutuhkan ruang sunyi. Industri boleh mengambil tenaga, tetapi tidak akan pernah mengambil batin.
Saya ingat baitmu dalam puisi “Jembatan”: Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa.// Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi,// dalam ewuh pekewuh, dalam isyarat dan kilah tanpa makna.
Puisi bukan milik panggung. Puisi bukan milik akademi. Puisi bahkan bukan milik penyair. Puisi adalah makhluk liar: ia bisa tinggal di halaman buku, atau di plastik roti—menunggu seseorang yang tak sengaja jatuh hati.
Tepat pukul 18.00, kami tiba di kamar 621. Lampu putih terang, aroma disinfektan lembut, dan engkau—Bang Tardji—tampak lebih segar. Infus masih menggantung, tubuhmu masih ringkih, tetapi matamu tetap mata seorang penyair: jernih dan usil seperti selalu.
Tasbihmu tergeletak di ranjang tidurmu, di samping jaket lusuh yang kerap kau pakai ke acara sastra. Mila menyiapkan pasta gigi sebelum aku mengantarmu ke kamar mandi. Kau sempat menyapa seorang pasien sekamar sebelum rebahan lagi dengan senyum yang mulai pulih.
Saat Jamal D. Rahman menyodorkan oleh-oleh, ia membuka bungkusnya dan menunjukkan puisi itu. Kau membaca perlahan, lalu tersenyum—senyum yang lebih mujarab daripada cairan infus.
“Siapa bilang puisi tidak memasyarakat?” katamu.
Seketika kamar itu berubah seperti ruang baca puisi: tenang, khusyuk, jenaka—seperti dirimu.
Sejak kabar sakitmu menyebar, banyak media dan kawan-kawan bertanya tentang kondisimu. Banyak yang menganggapmu legenda yang tak boleh tumbang. Padahal seperti katamu sendiri dalam puisi “Satu”: yang tertusuk padamu berdarah padaku. Ah, Bang Tardji, penyair sejati tidak pernah sendirian. Sakitmu ikut membuat kami semua menahan napas.
Namun malam itu, melihatmu tertawa karena puisi di bungkus roti, kami tahu: Tuhan belum selesai denganmu. Masih ada kata-kata yang menunggumu membebaskannya dari takdir.
Tepat jam 19.00, kami pun berpamitan. Sebelum benar-benar keluar ruangan, saya menatapmu, kau pun menatapku dengan tajam. Bersamaan dengan itu, kupijat betismu. Aneh, pandangan matamu mengikuti gerakan saya. “Apa yang kau pikirkan?” tanyamu tiba-tiba. Aku tidak menjawab. Tapi kupijat telapak kaki hingga betismu dengan lembut. Dan saat kami benar-benar berpamitan pulang, tiba-tiba suaramu yang serak dan berat menghentikan langkah saya:
“Aku melihat Tajalli Tuhan di matamu.”
Sejenak aku terdiam. Aku tidak tahu mesti menjawab apa atas pernyataan Abang. Hanya bait puisi “Walau”-mu tiba-tiba membasahi ingatanku:
walau penyair besartakkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
Perjalanan pulang kami terasa seperti selesai mengikuti ritus kecil. Roti bolu itu tidak kami makan. Untuk apa menghabiskan roti jika yang lebih mengenyangkan justru puisinya?
Akhirnya, melalui surat ini, yang ingin saya sampaikan adalah, terus sehat ya Bang, dan selamat atas penghargaan yang baru saja diterima. Bagaimana pun, kesehatan, pada usia dan perjalanan yang telah kaulalui, bukan lagi sekadar urusan raga, melainkan ruang agar kata-kata tetap memiliki tubuh untuk bernaung; dan penghargaan itu—apa pun namanya—bukan semata selempang negara atau piagam kebudayaan, melainkan penanda bahwa puisimu masih didengar, masih bekerja, masih mengganggu, dan masih dibutuhkan di tengah dunia yang kerap tergesa meninggalkan bahasa. ***
Jatinegara–Serua, PP, 8-24 Desember 2025
———————————–
*Mahwi Air Tawar, sastrawan.




