Hari Ibu, Istri Orang dan Film sebagai Arsip Kemanusiaan
Oleh: Purnawan Andra*
Setiap tangggal 22 Desember, kita memperingati Hari Ibu. Seremoni upacara, bunga dan ungkapan terimakasih atas pengorbanan seorang ibu menjadi yang kerap disampaikan. Ibu adalah pengurus anak, penjaga rumah dan simbol kasih sayang tanpa syarat, adalah narasi yang selalu dikedepankan di Hari Ibu.
Tapi di balik itu, pemaknaan ini sesungguhnya mengaburkan fakta sejarah penting di balik penetapannya. Hari Ibu bukan lahir dari romantisasi peran domestik perempuan, tapi dari fase pergerakan politik yang sadar akan ketidakadilan sosial dan masa depan bangsa.
Hari Ibu 22 Desember ditetapkan Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden Nomer 316 Tahun 1953 untuk mengingat peristiwa Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Di tahun 1928, sekitar 30 organisasi perempuan dari Jawa dan Sumatera berkumpul tidak berbicara tentang dapur dan rumahnya, tapi berdiskusi tentang pendidikan, perkawinan paksa, kemiskinan, kolonialisme dan posisi perempuan dalam kehidupan publik.
Perempuan hadir sebagai subjek berpikir dan warga negara, bukan sebagai pelengkap moral rumah tangga. Dalam konteks ini, Hari Ibu sejatinya adalah penanda keberanian perempuan memasuki ruang publik dan menggugat ketidakadilan struktural.
Medium Kontekstual
Memperingati Hari Ibu di hari ini, barangkali kita membutuhkan medium yang mampu merekam realitas sosial secara jujur, termasuk sisi-sisi yang tidak nyaman. Film, dalam hal ini, bukan sekadar hiburan, melainkan teks budaya dan arsip sosio-kultural. Ia menyimpan cara masyarakat memandang tubuh, relasi kuasa, adat, dan kelas sosial.
Salah satu film Indonesia yang penting dibaca dalam kerangka ini adalah Istri Orang karya Dirmawan Hatta. Film ini saya ambil sebagai contoh kasus karena beberapa hari lalu notifikasi Facebook saya mengabarkan berita 6 tahun lalu bahwa Istri Orang terpilih sebagai Skenario Pilihan dan nominasi Film Pilihan Majalah Tempo Tahun 2019. Ia menjadi contoh kasus yang tepat untuk membahas kontesktualisasi Hari Ibu di masa kini.

Istri Orang (copyright Tumbuh Sinema Rakyat)
Istri Orang berkisah tentang Endah, seorang perempuan di Kepulauan Kangean, penghujung timur Pulau Jawa. Melalui narasi yang sunyi, Endah berbicara kepada kita tentang hidup yang ditentukan oleh lelaki demi lelaki. Ayahnya menjodohkannya dengan anak orang kaya di kampung, bukan karena cinta atau pertimbangan masa depan Endah, melainkan demi jaminan ekonomi.
Bagi ayah Endah, memiliki besan kaya berarti hidup yang lebih aman. Bagi ayah calon suami, menikahkan putranya dengan Endah diharapkan dapat “membenahi” anak laki-lakinya yang hidup tanpa arah.
Perkawinan dalam film ini tampil telanjang sebagai instrumen kekuasaan dan ekonomi. Endah tidak diperlakukan sebagai subjek yang memiliki kehendak, melainkan sebagai properti yang dapat dipertukarkan.

Istri Orang (copyright Tumbuh Sinema Rakyat)
Ketika perkawinan itu terbukti hampa, bahkan selesai sebelum benar-benar dimulai, beban kegagalan tidak dibagi secara adil. Suami yang digambarkan sebagai pecundang sosial tetap dilindungi oleh status dan harta keluarga, sementara Endah menanggung sunyi, rasa bersalah, dan keterasingan.
Cermin Sosial
Jika dibaca sebagai teks budaya, Istri Orang bukan sekadar kisah personal, melainkan cermin sosial tentang bagaimana patriarki bekerja melalui institusi keluarga dan adat. Penindasan dalam film ini tidak hadir sebagai kekerasan fisik yang spektakuler, tetapi sebagai struktur berlapis yang mengatur hidup perempuan sejak ia menginjak dewasa.
Pendidikan menjadi tidak penting, karena tubuh perempuan lebih dahulu dilihat sebagai aset. Pilihan hidup menyempit, bahkan sebelum Endah sempat memikirkannya.

Istri Orang (copyright Tumbuh Sinema Rakyat)
Dirmawan Hatta tidak memilih jalan dramatis untuk menyampaikan kritik ini. Sinematografi film ini memang terbatas secara teknis, tetapi justru di situlah kekuatannya. Kamera yang sederhana, dialog yang pas, dan ritme yang tenang membuat film ini terasa seperti catatan lapangan—sebuah dokumen etnografis tentang kehidupan perempuan di wilayah periferi yang jarang masuk narasi nasional. Istri Orang bekerja sebagai arsip sosio-kultural yang merekam bagaimana kemiskinan, kelas sosial, dan gender saling mengunci.
Salah satu lapisan terpenting dalam film ini adalah pilihan untuk menampilkan perlawanan Endah sebagai “gugatan dalam diam”. Endah tidak berteriak, tidak melakukan pemberontakan terbuka. Ia marah dalam diam, menggugat dalam sunyi, dan memilih bertahan dalam status yang tidak diinginkan, termasuk status “isteri orang”.

Istri Orang (copyright Tumbuh Sinema Rakyat)
Pilihan ini sering disalahpahami sebagai kepasrahan. Padahal, jika dibaca lebih jernih, diam Endah adalah bentuk kesadaran politis yang lahir dari keterbatasan ruang.
Istri Orang menjadi sebuah film sederhana tentang hal yang tidak sederhana, sebuah gugatan yang dilakukan dalam diam. Film ini mengajarkan kita bahwa tidak semua perlawanan memiliki panggung. Dalam konteks masyarakat yang menormalisasi kontrol terhadap perempuan, diam bisa menjadi satu-satunya cara bertahan tanpa sepenuhnya menyerah.
Perspektif ini penting, karena sering kali wacana perjuangan perempuan hanya mengakui bentuk-bentuk perlawanan yang vokal dan heroik, sambil mengabaikan pengalaman jutaan perempuan yang hidup di bawah struktur yang tidak memberi ruang bersuara.
Refleksi atas Struktur
Di sinilah Istri Orang menjadi relevan untuk membaca ulang Hari Ibu. Selama ini, ibu dipuja karena pengorbanannya, seolah-olah pengorbanan adalah kodrat. Film ini justru memperlihatkan bagaimana banyak ibu lahir dari situasi yang tidak adil, seperti perkawinan paksa, kehilangan pendidikan, dan ketergantungan ekonomi.
Pengorbanan bukan pilihan mulia, melainkan konsekuensi dari struktur sosial yang timpang. Hari Ibu, jika dibaca melalui film ini, seharusnya menjadi ruang refleksi atas struktur yang melahirkan penderitaan tersebut, bukan sekadar perayaan hasil akhirnya.

Istri Orang sebagai Skenario Pilihan Majalah Tempo 2019
Lebih jauh, Istri Orang juga mengingatkan kita bahwa penindasan perempuan selalu berkelindan dengan kelas sosial. Endah bukan hanya perempuan, tetapi perempuan miskin di wilayah terpencil. Pilihannya jauh lebih sempit dibanding perempuan kelas menengah di kota.
Perspektif ini penting agar Hari Ibu tidak hanya dirayakan dari sudut pandang kelas menengah urban, tetapi juga mengakui pengalaman perempuan di pinggiran yang sering dilupakan.
Dengan membaca Istri Orang sebagai arsip sosial, kita diajak menggeser fokus Hari Ibu dari pujian ke tanggung jawab kolektif. Pertanyaannya bukan lagi “seberapa besar kasih sayang ibu”, melainkan “dalam struktur seperti apa perempuan dipaksa menjadi ibu”. Ini sejalan dengan semangat Kongres Perempuan 1928, yang tidak berhenti pada simbol, tetapi berangkat dari pembacaan realitas dan keberanian menggugat.
Merayakan Hari Ibu secara kontekstual berarti mengakui perempuan sebagai subjek sejarah, bukan simbol moral. Endah, dengan seluruh kesunyiannya, adalah bagian dari sejarah itu. Ia mewakili jutaan perempuan yang hidupnya ditentukan oleh adat, ekonomi, dan relasi kuasa yang tidak adil.
Film ini tidak menawarkan solusi instan, tetapi menghadirkan kesadaran—dan kesadaran adalah langkah awal perubahan. Terlebih kini, banyak film-film terkini yang mengangkat problem sosial masyarakat kita yang begitu kompleks dengan artikulasi dramatik, teknik visual dan pesan artistiknya mempunyai kualitas yang diakui masyarakat luas, bahkan juga dunia.
Istri Orang hanya menjadi satu contoh produk kelompok kerja pemberdayaan masyarakat bernama Tumbuh Sinema Rakyat yang berbasis di Salaman, desa kecil di kaki Pegunungan Menoreh di Magelang, Jawa Tengah. Mereka berekspresi melalui produksi film, mulai dari setting produksi, penyusunan naskah skenario, pemain-pemainnya hingga post produksi.
Film ini merupakan salah satu hasil workshop yang dilakukan di kantong-kantong aktivitas komunal, seperti Karang Taruna, sekolah alam atau pesantren, dengan menggali kondisi riil di lapangan, mengolahnya bersama sebagai kesadaran komunal dan mengesekusinya dalam konteks artikulasi artistik yang bisa dipertanggungjawabkan.

Dirmawan Hatta, sutradara Istri Orang (copyright Tumbuh Sinema Rakyat)
Pada akhirnya, Istri Orang mengingatkan kita bahwa Hari Ibu bukan tentang romantisasi, melainkan tentang keberanian membaca kenyataan. Seperti perempuan-perempuan dalam Kongres 1928, seperti Endah yang menggugat dalam diam, semangat Hari Ibu adalah keberpihakan pada kehidupan yang lebih adil. Di tengah dunia yang gemar melupakan dan merapikan penderitaan dalam bahasa manis, film semacam ini menjadi penting sebagai referensi, refleksi, dan arsip kemanusiaan kita bersama.***
————
*Purnawan Andra, Pamong Budaya Kementerian Kebudayaan, kelahiran Salaman, Magelang, Jawa Tengah.



