Menggali Akar Kekeliruan Post-Truth: Sebuah Ziarah Literasi dalam Ekosistem Kebudayaan yang Terluka

Oleh: Gus Nas Jogja*

 

I. Prolegomena:
Fajar yang Retak dan Senjakala Otoritas

Ketika era milenium ketiga pecah dan melahirkan “tradisi klik” dan “budaya scroll”, umat manusia mendapati dirinya berdiri di atas puing-puing Menara Babel yang baru: sebuah arsitektur informasi raksasa bernama jagat digital. Kita tidak lagi hidup dalam “Era Informasi”, melainkan dalam “Era Disrupsi Realitas”. Fenomena post-truth atau pasca-kebenaran hadir bukan sebagai tamu yang tak diundang, melainkan sebagai anak kandung dari perkawinan antara kemajuan teknologi yang tak terkendali dengan dekadensi spiritual yang mendalam.

Secara filosofis, post-truth adalah sebuah pengkhianatan terhadap Logos. Jika tradisi Yunani Kuno memandang kebenaran sebagai Aletheia—sebuah penyingkapan selubung—maka era post-truth justru bekerja sebaliknya: ia adalah Lethe, sebuah sungai kelupaan dan penutupan fakta di bawah tumpukan emosi. Kita tidak sedang mencari cahaya; kita sedang membangun gua-gua baru yang lebih gelap dari Gua Plato, di mana bayang-bayang di dinding dianggap lebih nyata daripada matahari di luar sana.

Secara spiritual, ini adalah “Syirik Epistemologis”. Manusia modern telah mengangkat dirinya sendiri menjadi tuhan atas realitasnya masing-masing. “Kebenaran” tidak lagi bersifat transenden dan objektif, melainkan menjadi sesuatu yang imanen dan subjektif—sesuatu yang “saya rasakan benar,” bukan “apa yang memang benar.” Ini adalah akar kekeliruan yang paling mendalam: ketika rasa kenyamanan batiniah dianggap sebagai standar validitas informasi.

 

II. Ontologi Kekeliruan:
Dari Nietzsche hingga Derrida yang Disalahpahami

Akar intelektual dari kekacauan ini dapat dilacak pada ekstremitas pemikiran postmodernisme. Friedrich Nietzsche, dalam kegelisahannya yang profetik, pernah menyatakan bahwa “tidak ada fakta, yang ada hanyalah interpretasi.” Namun, Nietzsche menulis itu sebagai peringatan akan beratnya kejujuran intelektual, bukan sebagai lisensi untuk berbohong.

Kekeliruan besar terjadi ketika teori dekonstruksi Jacques Derrida—yang bertujuan membongkar ketidakstabilan makna dalam teks—diadopsi secara sembrono oleh massa. Jika “makna tidak pernah menetap,” maka orang-orang menganggap bahwa fakta ilmiah pun bisa dinegosiasikan. Di titik inilah terjadi pergeseran ontologis dari Kebenaran Korespondensi atau “kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan” menuju Kebenaran Koherensi yang Egois atau “kesesuaian antara pernyataan dan prasangka”.

Hannah Arendt, filsuf yang menyaksikan horor totaliterisme abad ke-20, memberikan peringatan yang sangat deskriptif dalam karyanya The Origins of Totalitarianism:

“Dalam dunia yang sudah kehilangan standar kebenarannya, kebohongan tidak lagi dianggap sebagai kebohongan, melainkan hanya sebagai ‘versi lain’ dari realitas. Penghancuran rasa akan realitas adalah prasyarat bagi tumbuhnya tirani.” [1]

Kekeliruan post-truth bukan sekadar kesalahan logika, melainkan sebuah keruntuhan struktur keberadaan manusia yang tidak lagi mampu berpijak pada bumi kenyataan.

 

III. Sifat Sastrawi Kebohongan:
Simulakra dan Teater Absurd

Dalam perspektif sastrawi, era post-truth adalah sebuah narasi besar yang ditulis oleh penulis yang gila. Kita hidup dalam apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai Simulakra. Bayangkan sebuah peta yang saking detailnya, ia menutupi wilayah aslinya. Lama-kelamaan, wilayah itu hilang, dan manusia hanya memuja peta tersebut. Itulah media sosial hari ini: sebuah peta digital yang tidak lagi mewakili realitas, melainkan menciptakan realitasnya sendiri (Hyper-reality).

Albert Camus, peraih Nobel Sastra, dalam esainya The Rebel, menekankan bahwa manusia yang bermartabat adalah manusia yang berani memberontak terhadap kebohongan. Namun, dalam ekosistem kebudayaan kita, pemberontakan sering kali disalahartikan sebagai penolakan terhadap kepakaran. Kita melihat sebuah anekdot satir yang pahit:

Di sebuah pengadilan, seorang saksi mata memberikan bukti video. Namun, sang hakim menolak bukti itu dengan alasan, “Perasaan saya mengatakan video itu palsu, dan perasaan saya adalah hak asasi saya yang paling suci.” Sang hakim kemudian memutus perkara berdasarkan jumlah dukungan di kolom komentar sebuah akun gosip. Benar-benar absurd.

Inilah teater absurd yang kita jalani. Kita kehilangan Sensus Communis—rasa kebersamaan akan apa yang nyata. Kebudayaan tidak lagi menjadi “taman saraswati” tempat ilmu dipetik, melainkan menjadi arena gladiator di mana kebohongan yang paling berisik adalah pemenangnya.

 

IV. Literasi Pendidikan Politik:
Memulihkan Akal Budi dalam Bingkai Kebudayaan

Bagaimana pendidikan politik seharusnya bersikap? Ia tidak boleh hanya mengajarkan cara memilih, tetapi harus mengajarkan cara berpikir. Pendidikan politik dalam bingkai kebudayaan adalah sebuah proses Paideia—pembentukan karakter manusia agar mampu melihat melampaui kepentingan diri sendiri.

Jürgen Habermas menawarkan solusi melalui “Etika Komunikatif”. Dalam ruang publik yang ideal, manusia harus berbicara dengan niat untuk saling memahami, bukan saling mengalahkan. Literasi politik harus menjadi Literasi Kritis-Spiritual. Kita harus belajar untuk “berpuasa informasi”—sebuah disiplin untuk tidak langsung menelan informasi sebelum hati nurani dan akal sehat melakukan verifikasi (Tabayyun).

Pendidikan politik harus mengembalikan otoritas pada mereka yang memiliki kompetensi. Namun, ini bukan seruan untuk elitisme, melainkan seruan untuk menghargai proses. Kebudayaan yang sehat adalah kebudayaan yang menghargai petani karena padinya, ilmuwan karena risetnya, dan penyair karena kejujuran batinnya—bukan menghargai pemberi hoaks karena jumlah pengikutnya.

 

V. Relevansi Kontemporer:
Potret Media Sosial di Indonesia

Indonesia adalah laboratorium post-truth yang paling sibuk di dunia. Dengan tingkat penggunaan media sosial yang masif namun tingkat literasi kritis yang masih merangkak, kita menjadi mangsa empuk bagi algoritma kebencian.

Medsos di Indonesia telah berubah dari alat silaturahmi menjadi mesin “pembelah bambu”. Kita melihat fenomena “ruang gema” (echo chambers) di mana narasi agama dan politik identitas dipelintir sedemikian rupa. Di sini, akar kekeliruannya diperparah oleh budaya feodalisme digital: apa pun yang dikatakan oleh tokoh pujaan (influencer atau pemimpin kelompok), itulah kebenaran, meskipun ia bertentangan dengan hukum alam.

Kita melihat bagaimana disinformasi dalam isu kesehatan, lingkungan, hingga pemilu di Indonesia tidak hanya merusak nalar, tapi merusak kerukunan. Maria Ressa, peraih Nobel Perdamaian, menyatakan dengan tegas: “Tanpa fakta, Anda tidak bisa mendapatkan kebenaran. Tanpa kebenaran, Anda tidak bisa mendapatkan kepercayaan. Tanpa kepercayaan, kita tidak memiliki realitas bersama, dan demokrasi mati.” [2]

Di Indonesia, literasi politik hari ini harus menjadi sebuah “Jihad Intelektual” untuk merebut kembali ruang digital dari para produsen kebencian. Kita harus memulihkan narasi kebudayaan kita yang luhur—yang mengutamakan musyawarah dan kebijaksanaan—di tengah hiruk-pikuk komentar yang penuh caci maki.

Anatomi Sosiologis: Medsos Indonesia dan Perang Kognitif di Ruang Digital

Di Indonesia, media sosial bukan sekadar platform komunikasi; ia telah bermutasi menjadi Ontologi Sosial Baru. Masyarakat kita, yang secara historis memiliki akar budaya lisan (orality) yang kuat, melompat langsung ke era digital tanpa melewati fase literasi tekstual yang matang. Akibatnya, informasi di layar ponsel sering kali dianggap sebagai “wahyu digital” yang tak terbantahkan, terutama jika ia datang dari sosok yang dianggap memiliki otoritas moral atau agama.

Akar kekeliruan post-truth di Indonesia diperuncing oleh fenomena Tribalisme Digital. Kita melihat bagaimana algoritma media sosial—yang oleh Eli Pariser disebut sebagai Filter Bubble—bekerja selayaknya “sekat-sekat ideologis” yang memisahkan warga negara ke dalam faksi-faksi yang saling bermusuhan. Di Indonesia, faksi ini sering kali tidak berdebat soal kebijakan publik, melainkan saling serang pada level identitas dan martabat.

1. Komodifikasi Kebencian dan Ekonomi Atensi

Analisis deskriptif terhadap ekosistem digital kita menunjukkan adanya keterlibatan aktor-aktor bayaran atau “Buzzer” yang mengorganisir disinformasi secara sistematis. Dalam bingkai ekonomi politik, kebohongan adalah komoditas yang menguntungkan. Semakin marah seorang pengguna medsos, semakin lama ia menatap layar, dan semakin besar data yang bisa dikeruk oleh platform global.

Ini adalah bentuk Feodalisme Baru, di mana “Tuan Tanah” digital (pemilik platform dan agensi narasi) memanen emosi rakyat jelata demi keuntungan finansial dan politik. Kita terjebak dalam apa yang disebut oleh Shoshana Zuboff sebagai Surveillance Capitalism atau Kapitalisme Pengawasan, di mana perilaku kita diprediksi dan dimanipulasi melalui asupan informasi yang keliru.

2. Matinya Tabayyun di Tengah Kecepatan Algoritma

Dalam tradisi spiritual nusantara, kita mengenal konsep Tabayyun—sebuah perintah etis untuk melakukan verifikasi mendalam. Namun, di bawah rezim kecepatan media sosial, tabayyun dianggap sebagai beban yang memperlambat. Kecepatan (virality) lebih dihargai daripada kebenaran.

Berikut saya hadirkan anekdot satir yang sering terjadi di Indonesia:

Seorang kakek membagikan berita palsu tentang konspirasi kesehatan di grup keluarga. Ketika cucunya menunjukkan bukti ilmiah bahwa berita itu bohong, sang kakek menjawab: “Urusan benar atau salah itu nomor dua, yang penting kakek sudah berniat baik untuk mengingatkan kalian.” Pernyataan “niat baik” ini adalah akar kekeliruan yang sangat berbahaya; ia mencampuradukkan Etika Niat dengan Kebenaran Faktual, seolah-olah kesalehan pribadi bisa menjadi substitusi bagi validitas data.

3. Literasi sebagai Perlawanan: Kebudayaan yang Menimbang

Menghadapi kondisi ini, pendidikan politik tidak boleh lagi bersifat instruksional (top-down), melainkan harus bersifat Emansipatoris. Kita harus membangkitkan kembali apa yang oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai Nalar Kritis. Literasi pendidikan politik harus masuk ke dalam kurikulum kehidupan sehari-hari, mengajarkan masyarakat untuk bertanya: “Cui bono?” (Untuk siapa informasi ini menguntungkan?).

Ekosistem kebudayaan Indonesia yang kaya akan tradisi musyawarah harus dibawa ke ruang digital. Kita butuh “Moderator Publik” yang bukan sekadar polisi siber, melainkan penjaga nalar sehat. Literasi digital bukan hanya soal teknis menggunakan perangkat, melainkan soal etika keberadaan di ruang publik.

 

VI. Sintesis Akhir:
Membangun Arsitektur Kebenaran di Atas Reruntuhan Post-Truth

Menggali akar kekeliruan post-truth membawa kita pada sebuah kesadaran pahit: bahwa kita telah menukar Kebenaran yang Memerdekakan dengan Kebohongan yang Menyamankan. Namun, harapan belum sepenuhnya pupus. Jika post-truth adalah hasil dari konstruksi teknologi dan dekadensi moral, maka jalan keluarnya adalah rekonstruksi budaya dan restorasi spiritual.

Kebangkitan Realisme Baru

Secara filosofis, kita perlu merangkul kembali Realisme Baru atau (New Realism) sebagaimana digagas oleh Maurizio Ferraris. Kita harus menegaskan kembali bahwa dunia luar itu ada dan tidak peduli pada apa yang kita pikirkan tentangnya. Air tetap mendidih pada 100^ Celsius meskipun sejuta orang di Twitter memberikan suara atau voting bahwa air mendidih itu pada 50^ Celsius. Ketahanan terhadap fakta adalah pondasi dari kebebasan.

Literasi Politik sebagai Ibadah Kebudayaan

Pendidikan politik harus dipandang sebagai “Ibadah Kebudayaan”—sebuah upaya terus-menerus untuk menjaga martabat kemanusiaan. Di Indonesia, relevansi ini sangat krusial menjelang setiap transisi kepemimpinan. Kita harus mampu membedakan antara “Pemimpin yang Otentik” dan “Pemimpin hasil Simulakra” yang dibangun melalui pencitraan hampa.

Malala Yousafzai, dalam perjuangannya untuk pendidikan, membuktikan bahwa keberanian satu individu untuk menyuarakan kebenaran dapat meruntuhkan narasi ekstremisme yang paling gelap sekalipun. Literasi adalah senjata nuklir bagi rakyat jelata untuk melawan tirani informasi.

 

VI. Epilog:
Kepulangan Menuju Kesunyian dan Kebenaran

Sebagai penutup, menggali akar kekeliruan post-truth membawa kita pada satu kesimpulan: masalahnya bukan pada teknologi, melainkan pada hati manusia. Kita terlalu takut pada kebenaran karena kebenaran sering kali menuntut perubahan, sementara kebohongan menawarkan kenyamanan.

Secara spiritual, kita butuh “Meta-Noia”—sebuah perubahan cara berpikir. Kita harus kembali pada kesunyian, tempat di mana suara Tuhan dan nurani dapat terdengar. Kebenaran adalah sebuah ziarah yang panjang dan melelahkan, bukan sebuah klik instan di layar ponsel.

Seperti yang ditulis oleh T.S. Eliot dalam Little Gidding:

“We shall not cease from exploration / And the end of all our exploring / Will be to arrive where we started / And know the place for the first time.” [3]

Kita harus kembali ke titik awal: bahwa kebenaran itu ada, ia objektif, dan ia layak diperjuangkan meskipun harus melawan arus emosi massa. Hanya dengan literasi yang berakar pada integritas spiritual dan keberanian filosofis, kita dapat menyembuhkan ekosistem kebudayaan kita yang terluka dan mewariskan dunia yang lebih jernih bagi generasi mendatang.

Menuju Fajar Penyadaran

Menutup esai ini, saya mengajak kita semua bangsa ini untuk kembali pada sebuah renungan spiritual yang dalam. Kebenaran bukanlah sebuah titik statis, melainkan sebuah jalan setapak (The Path). Kekeliruan post-truth mengajarkan kita satu hal berharga: betapa rapuhnya peradaban jika ia dibangun di atas pasir hisap emosi tanpa fondasi nalar dan integritas.

Kita harus berani menjadi “Penyintas Post-Truth”—orang-orang yang tetap memegang teguh kompas kebenaran di tengah badai hoaks. Kita harus mengembalikan fungsi media sosial sebagai jembatan, bukan dinding. Dan yang terpenting, kita harus mengembalikan pendidikan politik ke dalam bingkai kebudayaan yang memuliakan kejujuran di atas popularitas.

Seperti kata Aleksandr Solzhenitsyn:

“Kekerasan tidak bisa hidup sendiri dan tidak mampu hidup sendiri; ia pasti terjalin dengan kebohongan. Siapa pun yang pernah memproklamasikan kekerasan sebagai metodenya, pasti mau tidak mau harus memilih kebohongan sebagai prinsipnya.” [4]

Mari kita pilih jalan lain. Jalan di mana literasi menjadi nafas, kebenaran menjadi cahaya, dan kebudayaan menjadi rumah bagi setiap jiwa yang merindukan kejernihan. Di sana, dan hanya di sana, post-truth akan kehilangan taringnya, dan kita akan kembali menjadi manusia yang benar-benar merdeka.

Itu saja!***

 

Catatan Kaki

[1] Arendt, Hannah. The Origins of Totalitarianism. New York: Harcourt Brace, 1951. hal. 474.

[2] Ressa, Maria. Nobel Peace Prize Lecture. Oslo, 2021.

[3] Eliot, T.S. Four Quartets. London: Faber and Faber, 1943.

[4] Han, Byung-Chul. Infocracy. Polity Press, 2022.

[5] Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology. Harper & Row, 1977.

Daftar Pustaka

McIntyre, Lee. Post-Truth. Cambridge: MIT Press, 2018.

Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.

Habermas, Jürgen. The Theory of Communicative Action. Beacon Press, 1984.

Ferraris, Maurizio. Manifesto of New Realism. SUNY Press, 2014.

Snyder, Timothy. On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century. Tim Duggan Books, 2017.

———–
*Gus Nas Jogja, budayawan.