Transformasi Pendidikan Dasar dan Menengah: Jalan Menuju Indonesia Emas 2045 dalam Perspektif Asta Cita
Oleh: Abdul Wachid B.S.*
A. Pendahuluan: Pendidikan Dasar dan Menengah di Era Transformasi
Pendidikan dasar dan menengah adalah rumah awal tempat manusia belajar membaca realitas. Dari sinilah seorang anak mengenali bunyi huruf, tetapi juga gema nilai. Ia belajar berhitung, tetapi secara perlahan (dengan atau tanpa sadar), belajar menakar dirinya sendiri: siapa aku, di mana aku berpijak, dan hendak ke mana hidup ini dituju. Dalam era yang ditandai oleh percepatan digital dan ledakan informasi, pendidikan tidak lagi cukup hanya mengajarkan sesuatu, tetapi harus menuntun manusia untuk menjadi sesuatu.
Tantangan pendidikan hari ini bukan sekadar kesenjangan akses atau minimnya fasilitas, tetapi pecahnya perhatian generasi digital oleh banjir informasi yang berputar tanpa henti. Anak-anak kita hidup di dalam pusaran layar, dan di antara kilatan notifikasi itu, perhatian menjadi barang mewah. Maka tugas pendidikan tidak lagi hanya mentransfer ilmu, tetapi menghidupkan kembali keheningan batin yang memungkinkan lahirnya pemikiran kritis, kreativitas, dan etika.
Linda Darling-Hammond dalam The Flat World and Education menegaskan bahwa kualitas pendidikan pada masa awal menentukan kemampuan seseorang untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan menyesuaikan diri secara kreatif dengan perubahan sosial-ekonomi. Pendidikan dasar dan menengah, tulisnya, “membentuk fondasi keberdayaan manusia yang akan mengarungi dunia yang datar” (Darling-Hammond, 2010:45).
Konteks Indonesia membuat gagasan itu semakin mendesak. Pendidikan yang hanya mengejar nilai tanpa menumbuhkan nalar dan karakter akan menghasilkan generasi yang mahir menghafal tetapi gagap membaca zaman. Maka pendidikan harus kembali menjadi ruang penumbuhan manusia: tubuhnya tangkas, pikirannya tajam, hatinya jernih.
Lebih dari sekadar penguasaan ilmu, pendidikan adalah seni menumbuhkan manusia. Seni ini tidak dapat dicapai hanya dengan standar ujian atau kurikulum semata. Ia membutuhkan kesadaran guru sebagai pembimbing ruhani dan intelektual, kesabaran keluarga sebagai pendukung, dan komunitas yang meneguhkan nilai. Pendidikan yang utuh menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak henti, keberanian mempertanyakan, dan kesadaran akan tanggung jawab atas kehidupan sendiri maupun kehidupan bersama.
B. Indonesia Emas 2045: Tantangan dan Peluang Pendidikan
Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita yang lebih dari sekadar angka tahun. Ia adalah horison panjang yang mengandaikan lahirnya manusia Indonesia yang utuh: berilmu, berbudaya, dan berakhlak. Visi ini tidak akan pernah terwujud tanpa investasi serius pada pendidikan dasar dan menengah sebagai lahan persemaian karakter bangsa.
Visi 2045 membutuhkan manusia dengan literasi multidimensi: literasi sains, digital, budaya, dan moral. Amartya Sen dalam Development as Freedom mengingatkan bahwa pendidikan tidak hanya memperluas pengetahuan, tetapi membentuk kapasitas manusia untuk berpikir kritis dan bertindak secara bertanggung jawab. Pendidikan yang baik, tulisnya, adalah “pembebasan manusia dari belenggu ketidaktahuan yang membuatnya tidak mampu memilih jalan hidupnya sendiri” (Sen, 1999:78).
Kerangka Asta Cita memberikan delapan nilai yang berfungsi seperti kompas moral dan intelektual: literasi, karakter, kreativitas, kolaborasi, teknologi, inklusi, budaya, dan kepemimpinan. Nilai-nilai ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling menghidupi. Kreativitas tanpa karakter akan menjadi kejahilan baru; teknologi tanpa budaya melahirkan keterasingan; kepemimpinan tanpa empati akan menjadikan pendidikan sebagai ruang kompetisi yang dingin.
Maka pendidikan menuju Indonesia Emas adalah pendidikan yang menyeimbangkan kecerdasan otak, kelapangan hati, dan keluasan wawasan. Pendidikan semacam ini menuntun anak-anak untuk memahami dunia secara menyeluruh: mereka belajar dari buku, tetapi juga dari pengalaman; belajar dari guru, tetapi juga dari teman; belajar dari tradisi, tetapi juga dari inovasi. Inilah titik mula di mana visi 2045 bukan hanya mungkin, tetapi perlahan menjadi nyata.
C. Reinterpretasi Tradisi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam klasik tidak memisahkan ilmu dari akhlak, dan akhlak dari pengalaman spiritual. Pesantren, madrasah, dan surau adalah rumah spiritualitas yang mendidik manusia melalui pembiasaan: membaca kitab, berdiskusi, melakukan khidmah, merenung, dan berlatih mengelola diri. Di ruang-ruang itu, literasi bukan hanya kemampuan membaca teks, tetapi juga membaca tanda-tanda zaman.
Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity menulis bahwa pendidikan Islam yang autentik harus menghidupkan keseimbangan antara rasio dan moral. Bagi Rahman, ilmu harus mengantarkan manusia pada kebijaksanaan dan kemampuan mengambil keputusan secara etis (Rahman, 1982: 102).
Moderasi dalam pendidikan Islam tidak lahir dari teori, tetapi dari latihan panjang. Ia lahir dari percakapan antargenerasi, dari perjumpaan antarmanusia, dari kesadaran bahwa perbedaan adalah bagian dari rahmat Tuhan. Moderasi adalah kemampuan menjaga jarak dari ekstrimitas, baik ekstrem rasional maupun ekstrem emosional, sehingga ilmu tetap bermuara pada hikmah.
PTKI sebagai rumah ilmu keislaman modern memiliki peran strategis sebagai laboratorium lahirnya generasi moderat: generasi yang teguh pada nilai spiritual, tetapi terbuka pada kebijaksanaan peradaban global. Tradisi inilah yang perlu dihidupkan kembali dalam pendidikan dasar dan menengah sebagai identitas sekaligus orientasi. Dengan cara ini, pendidikan tidak hanya mempersiapkan manusia untuk karier, tetapi untuk kehidupan sebagai insan penuh kesadaran.
D. Literasi Holistik sebagai Kunci Transformasi
Literasi holistik adalah jalan panjang dari zulumāt menuju nūr: dari kegelapan ketidaktahuan menuju cahaya kesadaran. Literasi tidak lagi terbatas pada teks, tetapi mencakup empat dimensi:
1. Literasi akademik
Menajamkan kemampuan analitis, logis, dan reflektif. Ini memberi anak kemampuan membaca gejala sosial, bukan hanya paragraf dalam buku. Analisis, sintesis, dan evaluasi menjadi bagian dari kebiasaan berpikir sehari-hari.
2. Literasi emosional
Howard Gardner dalam Multiple Intelligences menegaskan bahwa kecerdasan emosional menentukan kemampuan adaptasi, komunikasi, dan keberhasilan seseorang lebih dari sekadar kecerdasan kognitif (Gardner, 2006, 89). Literasi emosional menumbuhkan empati, kesabaran, dan keteguhan hati.
3. Literasi digital
Bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat, tetapi memahami etika bermedia, kemampuan memilah informasi, dan menjadikan teknologi sebagai alat, bukan majikan. Anak-anak harus mampu menyaring informasi, memetakan logika berita, dan memanfaatkan digital sebagai sarana inovasi.
4. Literasi budaya
Menumbuhkan manusia yang berakar dan bersayap: berakar pada kearifan lokal, bersayap pada cakrawala global. Ini melibatkan kesadaran sejarah, penghargaan terhadap tradisi, serta kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif.
Ibn Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah menyebut ilmu sebagai “cahaya yang memancar ke dalam hati ketika tabir-tabir kebodohan tersingkap.” Ilmu bukan akumulasi informasi, tetapi pencerahan yang melahirkan tanggung jawab moral (Ibn Arabi, 2004).
Dengan literasi holistik, pendidikan menciptakan manusia yang tidak hanya tahu, tetapi mengerti; tidak hanya mengerti, tetapi memahami; tidak hanya memahami, tetapi berbuat secara benar. Literasi holistik menuntun peserta didik untuk menjadi agen transformasi, yang mampu memetakan tantangan sosial, dan kemudian menindaklanjutinya dengan bijaksana.
E. Tantangan Sistemik dan Kultural
Tantangan pendidikan Indonesia bukan semata-mata teknis, tetapi kultural dan struktural:
1. Ketimpangan wilayah
Akses terhadap guru berkualitas dan fasilitas belajar masih timpang antara kota dan desa. Anak-anak di desa sering menghadapi kekurangan buku, laboratorium, dan kesempatan untuk berinteraksi dengan sumber belajar yang kaya.
2. Budaya kuantitatif
Nilai angka sering menenggelamkan nilai-nilai lain: kreativitas, karakter, dan kemampuan kolaboratif. Kompetensi manusia tidak bisa direduksi menjadi satu angka di lembar ujian.
3. Pengaruh lingkungan dan media
Tanpa literasi kritis, anak-anak mudah terseret arus intoleransi, informasi dangkal, dan budaya instan. Lingkungan belajar harus meneguhkan kesadaran moral, bukan sekadar kompetisi.
4. Resistensi terhadap pembaruan
Guru kadang terjebak dalam pola lama yang tidak lagi relevan bagi kebutuhan generasi digital. Inovasi pedagogik sering menemui jalan buntu karena kekhawatiran akan perubahan.
Semua ini menyeru pendidikan untuk bergerak dari pola hierarkis menuju pola kolaboratif, dari model satu arah ke dialogis, dari hafalan ke pemaknaan. Pendidikan harus menumbuhkan ruang di mana anak belajar, bertanya, salah, dan kemudian belajar lagi, tanpa takut dihakimi.
F. Strategi Transformasi Pendidikan
Arah transformasi pendidikan menjadi terang ketika strategi berikut dijalankan secara menyeluruh:
1. Inovasi pedagogik
Pembelajaran berbasis projek, penelitian kecil, dan pengalaman nyata membuat peserta didik berpikir, bukan sekadar mengingat. Problem-solving dan project-based learning menumbuhkan kemandirian intelektual.
2. Penguatan ekosistem belajar
Kolaborasi antara sekolah, keluarga, komunitas, dan lembaga pendidikan nonformal melahirkan lingkungan belajar yang hidup. Anak belajar dari orang tua, teman sebaya, dan mentor dari masyarakat.
3. Integrasi nilai Asta Cita
Nilai-nilai dalam Asta Cita harus menjadi napas pendidikan sehari-hari, bukan hanya konsep, tetapi praktik yang menghidupkan kelas. Kreativitas, kepemimpinan, literasi, dan karakter dipraktikkan, bukan sekadar dibaca.
4. Pemanfaatan teknologi
Laboratorium digital, coding, literasi media, dan inovasi sains menjadi pintu bagi anak-anak untuk menguasai masa depan. Anak belajar memanfaatkan teknologi untuk eksplorasi, kolaborasi, dan inovasi sosial.
5. Evaluasi holistik
Penilaian harus mengukur proses, kreativitas, kerja sama, dan etika, bukan hanya angka di kertas. Evaluasi harus meneguhkan bahwa pendidikan adalah perjalanan, bukan hasil akhir semata.
Strategi ini selaras dengan gagasan Sen bahwa pendidikan adalah “pembangunan kapasitas manusia untuk menjalani hidup secara bermartabat.” Pendidikan yang menumbuhkan literasi holistik akan melahirkan warga negara yang kreatif, bertanggung jawab, dan siap menghadapi kompleksitas global.
G. Penutup: Pendidikan sebagai Jalan Menuju Indonesia Emas
Pendidikan dasar dan menengah adalah jalan sunyi tempat kita menanam harapan paling jauh. Dari sinilah Indonesia 2045 dibentuk, bukan pada tahun itu, tetapi hari ini: di ruang kelas yang sederhana, di tangan guru-guru yang sabar, dan di mata anak-anak yang masih menyimpan cahaya masa depan.
Asta Cita memberi kita nilai. Literasi holistik memberi kita arah. Pendidikan memberi kita jalan. Jika ketiganya bertemu, maka Indonesia Emas 2045 bukan lagi sebuah visi, melainkan takdir bangsa yang telah dipersiapkan dengan baik.
Pendidikan bukan sekadar alat pengukuran prestasi akademik, tetapi praktik kehidupan yang mengajarkan tanggung jawab, kesabaran, dan keberanian. Ia adalah proses panjang menumbuhkan manusia yang sadar akan hakikatnya, berani mengambil keputusan, dan mampu memberi manfaat bagi sesama. Dengan demikian, transformasi pendidikan dasar dan menengah adalah fondasi dari Indonesia Emas: negara yang manusiawinya unggul, budayanya kaya, dan keadabannya kuat.***
Daftar Pustaka
Darling-Hammond, Linda. 2010. The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future. New York: Teachers College Press.
Gardner, Howard. 2006. Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice. New York: Basic Books.
Ibn Arabi. 2004. Futuhat al-Makkiyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Muliadi, dkk. 2025. “Religious Moderation Literacy Index of PTKIN Students in Aceh.” Analisis Pendidikan Islam 5 (2): 34–56.
Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
Wachid, Abdul B.S., dkk. 2023. “Moderasi Beragama dengan Literasi Sastra Indonesia oleh Santri Pondok Pesantren di Purwokerto.” Dialektika Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 12 (1): 45–70.
—–
*Abdul Wachid B.S., penyair, Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.



