Ruwat-Citra Estetika: Antara Sofistikasi dan Transformasi Nilai
Oleh Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum.*
Kata “perubahan” memang senantiasa digadang sebagai mantra zaman. Ia hadir dalam pidato pejabat, paparan korporasi, hingga brosur pariwisata, seakan-akan menjadi kunci emas bagi segala kebuntuan. Kata “transformasi” bergulir lincah dari panggung politik hingga iklan televisi, membawa aura seolah semua masalah dapat teratasi lewat satu sulap retoris.
Buku terbaru Sigit Pramono, Transformasi dan Ruwat-Citra Korporasi, Organisasi Nirlaba, Destinasi Wisata (Prasetiya Mulya Publishing, 2025), menegaskan arti penting keberanian untuk membongkar yang usang, menata ulang yang tak lagi relevan, serta menanamkan kembali nilai-nilai yang sejati.
Habent sua fata libelli—setiap buku memiliki takdirnya sendiri, tulis Terentianus Maurus dalam De litteris, de syllabis, de metris (abad ke-2). Demikian pula dengan buku tersebut: lahir dari pengalaman panjang penulisnya: sebagai bankir senior, praktisi transformasi organisasi, sekaligus pecinta seni dan kebudayaan. Sebagaimana setiap kelahiran, buku ini layak dirayakan, diberi selamat, dan disambut dengan hangat.
Namun justru karena ia berbicara tentang “transformasi,” ada ruang refleksi yang perlu dibuka bersama: sudahkah transformasi benar-benar menyentuh substansi, merombak jantung persoalan kemanusiaan, ataukah ia masih sebatas hiasan kosmetik yang mempercantik citra di permukaan—indah, memesona, tetapi rapuh bila diuji di ranah eksistensial? Pertanyaan ini bukanlah bantahan, melainkan undangan untuk merenung lebih dalam: bahwa transformasi sejati menuntut keberanian, bukan hanya menata ulang struktur, melainkan juga menggali nilai, makna, dan orientasi terdalam kehidupan bersama.
Nietzsche, dalam Die fröhliche Wissenschaft (1882), mengingatkan bahwa manusia sering lebih rela menggenggam kehampaan yang dibungkus rapi daripada kehilangan kehendak sama sekali. Kekhawatiran ini relevan bagi retorika transformasi: terlalu sering ia menawarkan ilusi keterbaruan, tanpa menuntun pada keberanian menyingkap retakan terdalam. Theodor Adorno, dalam Aesthetic Theory (1997), menekankan bahwa seni—dan lebih luas, tindakan simbolik manusia—harus memelihara “negativitas kritis,” kemampuan menolak harmoni palsu yang dipaksakan oleh sistem. Bila transformasi hanya menata ulang permukaan tanpa menyentuh struktur yang mendasari kerentanan, yang muncul bukan pembaruan substansial, melainkan kosmetika ideologis yang banal.
Walter Benjamin, dalam esainya The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936), memperingatkan bahwa estetika modern kerap mengalami “kehilangan aura.” Reproduksi tanpa henti menanggalkan otentisitas, mengubah karya seni dan simbol menjadi komoditas yang dipertontonkan. Namun lebih jauh lagi, ia menyingkap bahaya ketika estetika diperalat untuk “estetisasi politik”: keindahan dijadikan layar untuk menutupi kekerasan, citra dipoles agar dominasi tampak memesona. Dalam konteks hari ini, transformasi bisa terjebak ke dalam logika serupa: branding yang menawan berfungsi bukan sebagai purifikasi nilai, melainkan anestesi sosial yang membuat masyarakat betah hidup dalam simulasi citra.
Peter Bürger, lewat Theory of the Avant-Garde (1974), memberi kritik lebih tajam: seni avant-garde sejatinya lahir untuk mengguncang institusi seni, membongkar ritual estetis yang telah menjadi fetis borjuis. Tetapi, ironisnya, logika kapital justru mengasimilasi pemberontakan itu, menjadikannya gaya, menjual “radikalisme” sebagai produk. Transformasi yang dijanjikan hari ini, menghadapi potensial paradoks serupa: keberanian untuk tampil beda, bisa segera dibungkus ulang menjadi komoditas citra yang jinak. Apa yang semula dimaksudkan sebagai kritik, justru berakhir sebagai kosmetika baru, memperpanjang usia ilusi inertia, involutif adanya.
Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1984), menambahkan lewat konsep “tindakan komunikatif”, bahwa perubahan otentik mestilah dibangun atas ruang dialog yang tulus, bukan monolog korporasi atau propaganda negara. Maka pertanyaan ekistensial yang harus diajukan ialah: apakah kosa “transformasi” hari ini, sungguh menjadi praksis etis yang berpihak pada kebenaran, kebaikan, dan keindahan moral, atau sekadar permainan citra yang mengasingkan manusia dari kenyataan getirnya?
Ruwat-citra, dalam arti yang mendalam, hanya menemukan makna, jika ia tidak berhenti pada grafis logo dan jargon pemasaran, tetapi menjelma laku purifikasi—sejenis ruwatan modern yang membersihkan dari tipuan simbolik. Tanpa itu, transformasi hanyalah pesta cahaya di permukaan, sementara kegelapan nilai tetap menguasai dasar kehidupan.
Cermin Retak
Paradoks ini nyata. Rebranding, atau dalam bahasa Sigit, ruwat-citra, bisa berarti ritual pemurnian, tetapi bisa juga sekadar kosmetika. Berapa banyak korporasi berganti logo, meluncurkan kampanye, menabur jargon, sementara praktik culas, licik, serakah tetap dipelihara? Seperti menempelkan kaca baru pada cermin retak: kilau luarnya memukau, bayangan otentik eksitensialnya tetap cacat.
Retakan itu bukan sekadar cacat visual, melainkan metafora krisis moral. Cermin yang retak tetap akan memantulkan wajah, tetapi wajah yang terdistorsi, penuh ilusi. Inilah penyakit zaman digital: impresi lebih diutamakan daripada integritas. “Likes” lebih dihargai daripada kesetiaan, “followers” lebih dicari daripada kepercayaan. Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981) menyebut kondisi ini sebagai dunia simulacra—sebuah kenyataan yang tereduksi menjadi tanda dan citra, hingga sulit membedakan yang otentik dan yang palsu. Dalam dunia seperti itu, citra lebih nyata daripada realitas; keindahan visual lebih dipercaya daripada kebenaran hidup.
Di sinilah warisan “estetisisme” abad ke-19 kembali bergema. Walter Pater dan Oscar Wilde lewat The Renaissance: Studies in Art and Poetry (1873) dengan lantang merumuskan semboyan “art for art’s sake”: seni harus otonom, lepas dari moral maupun politik. Keindahan berdiri di atas dirinya sendiri, bebas dari beban kebenaran atau keadilan.
Tetapi justru di situlah jebakan lahir: estetika yang steril dari praksis kehidupan, dengan mudah berubah menjadi kosmetika penuh kegenitan. Ia melahirkan “seni” atau “citra” yang indah, tetapi tumpul terhadap penderitaan. Seperti kita saksikan kini, logika kapitalisme menelan kritik avant-garde dan menjualnya kembali sebagai gaya. Rebranding sering mengikuti pola serupa: pemberontakan semu segera dijinakkan, dijadikan tren, dan dipasarkan sebagai citra segar.
Habitus digital kian memperkuat paradoks ini. Pierre Bourdieu, melalui karya monumentalnya Outline of a Theory of Practice (1977)—kemudian dikembangkan dan diperluas melalui paling tidak di dua buku penting lain, yakni: Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984) dan The Logic of Practice (1990)—mengingatkan bahwa habitus mengatur rasa dan tindakan manusia secara tak sadar. Dalam arsitektur medan dan arena sosial, habitus yang lahir adalah lebih perihal risalah impresi: yang penting terlihat, meski rapuh di dalam.
Dalam kaitan ini betapa kita menjadi saksi nyata, bagaimana korporasi atau bahkan sebuah bangsa yang “di-ruwat-citra” lewat pembaharuan logo atau aneka tagline, jargon kampanye, tetapi tetap mengabaikan hak pekerja atau merusak lingkungan, sejatinya hanyalah memperindah wajah dalam cermin retak. Seperti tubuh yang mandi parfum, padahal luka dalamnya tetap membusuk sempurna.
Hal Foster—seorang sejarawan seni, kritikus, dan teoretikus seni asal Amerika yang menjabat sebagai Profesor Townsend Martin di Universitas Princeton—dalam The Anti-Aesthetic (1983), menolak anggapan bahwa seni hanya boleh steril dan apolitis. “Anti-estetik” bukan berarti anti-seni, melainkan menolak estetika yang dikerangkeng dalam keindahan murni. Seni, baginya, mesti politis, mesti kritis, harus menyodorkan realitas yang tak nyaman. Jika tidak, seni berubah menjadi dekorasi—dan transformasi, ketika dipahami sekadar sebagai permainan visual, juga jatuh pada jebakan dekoratif itu.
Transformasi sejati, justru menuntut keberanian menatap retakan diri sendiri. Ia bukan proyek grafis, bukan peluncuran baru logo atau slogan, melainkan kerja eksistensial yang menyentuh akar nilai. Di sinilah ruwat-citra hanya akan menemukan makna, bila ia menjelma menjadi laku spiritual: membersihkan diri dari tipuan citra, bukan sekadar merias permukaan yang menyilaukan. Dalam tradisi Jawa, ruwatan bukan permainan simbol, melainkan laku etis asketis, untuk membebaskan diri dari sukerta—beban kesalahan yang diwariskan. Artinya, ruwat sejati menuntut pengakuan akan retakan, keberanian menghadapi dosa, lalu pemurnian melalui tanggung jawab nyata.
Sering kali, budaya massa hanya menghadirkan harmoni palsu—musik, film, logo, tagline, atau kampanye yang menyejukkan telinga dan mata, tetapi sesungguhnya berfungsi melanggengkan status quo. Begitu pula citra korporasi, destinasi wisata, bahkan gambaran tentang sebuah bangsa: tampak gemerlap di permukaan, namun di baliknya tersembunyi luka ekologis, ketidakadilan, dan praktik eksploitasi. Ruwat-citra, dalam pengertian ini, hanya akan bermakna apabila berani mengguncang kenyamanan semu, meruntuhkan harmoni artifisial, dan mengusik kesadaran kritis.
Dengan demikian, cermin retak tidak perlu ditutup-tutupi. Ia harus ditatap, dipahami, dan dipeluk sebagai bagian dari proses pemurnian. Retakan bukan aib, melainkan tanda perjalanan sejarah; bukan kelemahan, melainkan undangan untuk tumbuh. Ruwat yang sejati adalah keberanian mengakui pecahan itu, menyusunnya kembali menjadi mozaik baru yang lebih jujur. Hanya dari sana, transformasi menjadi mungkin—bukan sekadar pergantian kulit, melainkan revolusi dari dalam.
Perubahan yang Menyulap
Di zaman ini, kata “perubahan” telah menjelma mantra universal. Ia dikumandangkan di podium politik, dideklamasikan di ruang seminar korporasi, hingga diiklankan dalam brosur motivasi. Kata itu seakan membawa jaminan pasti akan kebaikan. Namun, benarkah perubahan itu sendiri identik dengan perbaikan? Atau justru ia lebih sering menjelma sulapan retoris, menyilaukan mata tetapi menyembunyikan kenyataan getir: status quo yang tetap lestari, luka yang tetap membusuk?
Jika kita kembali ke cakrawala filsafat Yunani, Aristoteles dalam karya Physics (335–323 SM), perubahan (metabole, kinesis) selalu dibicarakan dalam relasi dengan telos. Ia juga membedakan antara kinesis, perubahan yang bergerak dari potensi menuju aktualitas, dan energeia, kegiatan yang mencapai tujuannya, dalam dalam Metaphysics (335–323 SM). Dengan kata lain, perubahan sejati bukanlah sekadar bergerak, melainkan bergerak menuju kesempurnaan yang mengandung kebaikan. Tanpa arah itu, perubahan hanyalah pergerakan tanpa makna, sekadar aktivitas kosong yang menipu dengan kesibukan.
Kritik ini penting karena dalam perspektif eksistensial, perubahan yang tak berakar pada tujuan moral, hanya melahirkan alienasi baru. Heidegger lewat Being and Time (1927), telah mengingatkan: modernitas membuat manusia sibuk dalam das Man, larut dalam kesibukan kolektif tanpa arah, hingga lupa pada Sein—hakikat keberadaan. Begitu pula masyarakat yang riuh membicarakan perubahan tetapi kehilangan telos: mereka tampak bergerak maju, padahal sebenarnya melayang tanpa jangkar. Perubahan lalu tereduksi menjadi sofistikasi baru tentang “cara eksploitasi”: teknologi lebih canggih, metode lebih efisien, strategi lebih kreatif, tetapi semua diarahkan pada tujuan lama—akumulasi modal, konsolidasi kuasa, dominasi tanpa nurani.
Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1944) menyebut gejala ini sebagai kemenangan instrumental reason: akal budi yang makin canggih secara teknis, tetapi semakin kosong secara etis. Modernisasi tanpa orientasi nilai menjadikan manusia mahir dalam mengatur, menghitung, mengontrol, tetapi miskin dalam keadilan dan kebenaran. Inilah paradoks zaman: perubahan digemakan sebagai mitos kemajuan, tetapi yang lahir hanyalah keterasingan baru, bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus.
Karena itu, perubahan harus dikembalikan pada akar filosofisnya: ia bukan tujuan, melainkan sarana. Yang utama bukanlah seberapa cepat kita berubah, bukan pula seberapa canggih instrumen yang kita gunakan, melainkan seberapa dekat perubahan itu membawa kita pada kebaikan, keadilan, dan keindahan hidup bersama. Tanpa itu, perubahan hanyalah mitos citra baru yang menipu; riuh yang hampa, sekadar sound and fury, kata Shakespeare, “signifying nothing,” dalam Macbeth, Act V, Scene V (1606).
Sebagaimana diketahui, ketika perubahan sebatas berbasis citra, perlu diperhatikan bahwa pada hakikatnya, citra adalah representasi yang sekaligus menjadi modus keberadaan manusia di dunia—ia hadir bukan demi dirinya, melainkan demi menghadirkan yang lain, sebagaimana ditegaskan Plato dalam Republic X ketika menyebut citra (eikōn) sebagai tiruan dari ide, ‘a likeness which is not the thing itself’; namun dalam proses menghadirkan itu pula, citra membentuk cara manusia mengada, persis seperti yang diingatkan Heidegger dalam The Age of the World Picture (1938), bahwa ‘the fundamental event of the modern age is the conquest of the world as picture.
Dalam konteks ini, banyak gagasan populer tentang perubahan kerap berhenti pada tataran teknis—adaptasi disrupsi, strategi inovasi, peluang pasar. Semua itu tentu penting, namun belum menyentuh inti eksistensial: perubahan manusia, perubahan nilai, perubahan telos. Yang sungguh dibutuhkan bangsa ini bukan sekadar rumah perubahan, melainkan rumah nilai—tempat setiap gerak menemukan orientasi ontologis dan moralnya.
Tanpa itu, perubahan hanya akan menjadi pesta kosmetika: wajah berganti, jargon berganti, metode berganti, tetapi luka tetap menganga. Yang diperlukan adalah keberanian menyingkap ilusi perubahan yang menyulap, lalu mengembalikannya pada pangkuan nilai yang abadi. Sebab hanya di sanalah perubahan menemukan maknanya: bukan sekadar riuh yang kosong, melainkan jalan menuju kebenaran, keadilan, dan keindahan hidup bersama.
Bahaya Jargon
Kata “transformasi” berkilau di podium politik, seminar birokrasi, dan papan iklan korporasi. Tetapi semakin ia bersinar, semakin besar pula risikonya menjadi topeng. George Orwell sudah menyingkap bahaya itu, dalam Politics and the English Language (1946): bahasa, katanya, bisa menjelma eufemisme yang menutupi luka. Kata-kata luhur sering diperalat untuk menghaluskan kebobrokan. Maka, “transformasi” di bibir penguasa kerap tak lebih dari permainan estetika retorika, bukan pertumbuhan keadilan; sekadar pergantian nama, bukan pembaruan nilai.
Sejarah memberi lanskap yang berulang. Transformasi digital misalnya, menjanjikan keterbukaan pengetahuan, tetapi sekaligus menjerat manusia dalam jeruji algoritma yang menghitung setiap denyar perilaku. Kolonialisme pun pernah menjual wajah modernisasi: jalan raya, sekolah, infrastruktur. Namun di balik bianglala modernitas itu, bahasa lokal terkikis, tata hidup hancur, dan masyarakat dipaksa tunduk.
Ironi ini kentara pula dalam estetika Mooi Indie pada zaman kolonial Belanda. Sawah berundak, gunung biru, dan wajah pribumi yang tampak eksotik damai di kanvas pelukis kolonial, adalah fatamorgana visual: citra taman tropis nan permai. Tetapi di balik cermin retak itu, kerja paksa, kelaparan, dan represi merajalela. Estetika menjelma menjadi kebrutalan ideologi buta.
Terry Eagleton, dalam The Ideology of the Aesthetic (1990), sudah mengingatkan bahwa estetika tak pernah netral. Ia bisa menutupi luka sosial, membungkus kekuasaan dengan keindahan semu. Seni sejati semestinya otonom sekaligus kritis, mengguncang inertia kesadaran, bukan terjebak dalam komodifikasi budaya yang hanya memoles permukaan.
Hilangnya “aura” karya seni dalam era reproduksi massal membuka dua kemungkinan: ia bisa direduksi menjadi instrumen propaganda yang menundukkan, atau justru dimanfaatkan sebagai sarana pembebasan dan emansipasi. Jacques Rancière melalui The Politics of Aesthetics: The Distribution of the Sensible (2004), melangkah lebih jauh: estetika adalah distribution of the sensible; ia menentukan siapa yang tampak dan siapa yang sengaja dibuat tak terlihat. Jika demikian, jargon transformasi sering kali bukan distribusi nilai-nilai keadilan, melainkan pengaburan: suara paria dibungkam, senjakala penderitaan dikaburkan oleh cahaya visual yang menyilaukan.
Sejarah retorika politik penuh dengan kasus serupa. Frantz Fanon, dalam Les Damnés de la Terre (1961), memperingatkan bahwa jargon modernisasi pascakolonial sering kali hanya meniru bahasa kolonial dengan wajah baru. Kata “kemajuan” bisa menyembunyikan bentuk-bentuk baru eksploitasi; kata “pembangunan” bisa menjadi kedok bagi pemiskinan rakyat. Sartre melalui karyanya Being and Nothingness, (1943), dalam kerangka eksistensialismenya juga menegaskan, esensi tidak mendahului eksistensi: makna sejati bukan ditentukan oleh jargon yang seakan-akan “esensial,” melainkan oleh praksis nyata manusia dalam eksistensinya. Dengan kata lain, klaim esensial tentang “transformasi” tak ada artinya jika tak diwujudkan dalam praksis eksistensial yang membebaskan. Kata yang tidak menjelma tindakan hanyalah topeng kosong.
Maka, jargon “revolusi mental” yang dielu-elukan di panggung kuasa, kerap menelanjangi ironi moral. Justru para pengucapnyalah yang paling mendesak untuk direvolusi mentalnya. Satu laku dengan tagline “NKRI harga mati” misalnya, justru diperdengungkan oleh mereka yang dalam praktiknya menjadi aktor utama penghancuran sendi-sendi bangsa. Demikian pula jargon “hilirisasi” yang kini dipuja bak mantra pembangunan. Ia seolah menjanjikan kebaikan kedaulatan, tetapi lebih menekankan mobilitas komoditas ketimbang pemurnian nilai. Hilirisasi tanpa menyigi “hulu moral” hanyalah fatamorgana banal: bayangan oase di padang pasir yang menawan dari jauh, namun kosong ketika didekati.
Claire Bishop dalam Artificial Hells: Participatory Art and the Politics of Spectatorship (2012), mengingatkan dalam perdebatan seni partisipatoris: inklusi bisa jatuh menjadi kosmetika, hanya memberi citra kebersamaan tanpa otentisitas transformasi di dalamnya. Martha Nussbaum lewat Poetic Justice: The Literary Imagination and Public Life (1995), menekankan hal serupa: imajinasi naratif seni justru harus menumbuhkan empati dan memperhalus etika publik. Di sini, kita disodorkan paradoks: apakah seni, estetika, dan jargon transformasi akan menjadi energi emansipatif, atau sekadar kosmetika dalam arus utama yang komodifikatif?
Buku Sigit Pramono, yang lahir dari pengalaman panjang dalam ritus rebranding—dari BNI, BII, Garuda Indonesia, hingga Jazz Gunung—tetap menyimpan potensi ironi yang tak bisa diabaikan. Ambil contoh Garuda Indonesia: sejak 1949 maskapai ini telah beberapa kali mengganti logo, terakhir pada 23 Juli 2009, namun pernah pula diberitakan berada dalam posisi “technically bankrupt.” Demikian pula PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang, setelah setengah abad, meluncurkan logo baru pada 2020, tetapi tak lama kemudian justru terjerat krisis keuangan hingga mengalami kebangkrutan. Deretan kasus serupa tentu bisa diperpanjang. Substansinya jelas: bersalin rupa dan mengganti logo belum tentu menyingkirkan beban struktural yang menekan tubuh korporasi. Kampanye citra memang berjalan, tetapi entropi ekonomi tetap mengintai. Di sanalah letak paradoksnya: ketika sofistikasi estetika berisiko menjelma sekadar laksana Mooi Indie kontemporer—indah di mata, tetapi menyimpan luka sosial yang terus membayang di kedalaman.
Inilah bahaya jargon estetika citra, yang bisa ambigu: ia bisa menjadi mantra yang memabukkan, atau energi yang membebaskan. Estetika yang berpihak pada nilai dapat menjadi cahaya yang menyingkap retakan; sebaliknya, estetika yang hanyut dalam jargon semata, hanya menjelma kabut yang menutupinya. Pertanyaannya tinggal: apakah kita memilih meneroka kedalaman luka, atau sekadar menari di permukaan citra yang menyilaukan mata?
Maka, jargon transformasi, rebranding, atau ruwat-citra, hanya memperoleh makna, jika ia berpihak pada nilai-nilai kebaikan dan keadilan, bukan pada sofistikasi ilusi. Sering kali kita me-ruwat kata, me-ruwat tanda; tetapi lupa me-ruwat luka. Rendra, pada 1968, sudah menyindir dengan getir: bangsa bisa tetap terjajah, jika rakyatnya dibius oleh kamuflase citra.
Jean-Paul Charles Aymard Sartre, filsuf eksistensialis dari Prancis, melalui karyanya Being and Nothingness (1943), mengingatkan, eksistensi mendahului esensi: manusia tidak lahir dengan citra final, melainkan membentuk maknanya melalui laku. Maka rebranding—atau ruwat-citra—tak pernah cukup berhenti pada pergantian lambang. Ia baru sahih, bila berani menyingkap retakan, menerima kebebasan, lalu menanggung tanggung jawab. Sebab hakikat bukanlah desain yang ditempelkan dari luar, melainkan sesuatu yang tumbuh dari eksistensi yang dipertaruhkan. Kata-kata tanpa praksis hanyalah etalase kabut. Perubahan sejati menuntut keberanian untuk menjadikan kata sebagai tubuh, jargon sebagai tindakan, dan transformasi sebagai jalan etis menuju kemanusiaan.
Ritual Purba
Namun, ada kebijaksanaan purba yang patut diingat. Dalam tradisi Jawa, ruwatan bukan sekadar simbol, melainkan pemurnian: membuang bala, membersihkan laku, menata kembali keseimbangan kosmis. Ruwatan bukan soal pergantian pakaian luar, melainkan penyucian jiwa. Di titik inilah rebranding menemukan akar antropologisnya—sebuah ritus purba yang berpindah bentuk ke dunia modern.
Claude Lévi-Strauss, dalam The Savage Mind (1962), membedakan “cold society” yang menjaga kesinambungan tradisi, dan “hot society” yang ditandai percepatan perubahan. Tetapi intinya, baik masyarakat “dingin” maupun “panas”, memiliki ritus yang sama: melestarikan keberlangsungan hidup melalui simbol. Yang berbeda hanyalah bungkusnya, tingkat sofistikasinya, dan cara masyarakat itu mengartikulasikan nilai dalam kehidupannya.
Artinya, transformasi sejati bukanlah penciptaan sesuatu yang sepenuhnya baru, melainkan pengulangan ritus purba dengan pakaian baru. Setiap pergantian logo, kampanye, jargon, tagline, atau narasi seharusnya memuat energi penyucian—mirip doa dan mantera dalam ruwatan di budaya Jawa; yang tak hanya indah diucapkan, tetapi diyakini memiliki daya mengusir sukerta.
Dalam Poetika (335 SM), Aristoteles menegaskan bahwa seni, khususnya tragedi, bekerja melalui katarsis: sebuah proses pemurnian emosional yang membebaskan manusia dari beban rasa takut (phobos) dan iba (eleos). Katarsis bukan sekadar hiburan, melainkan transformasi batin yang menata ulang keseimbangan jiwa.
Maka, dalam konteks transformasi sosial maupun korporasi, setiap “ruwat-citra” mestinya mengandung daya katarsis semacam itu—kemampuan untuk membersihkan residu moral, meredakan ketakutan kolektif, dan melahirkan keberanian baru. Tanpa katarsis, transformasi hanyalah dekorasi simbolik; dengan katarsis, ia menjelma laku spiritual yang menyentuh inti kemanusiaan.
Gadamer melalui Truth and Method (1960), menyebutnya fusion of horizons: cakrawala lama dan cakrawala baru saling bertemu, menghasilkan pemahaman segar tanpa meniadakan akar tradisi. Branding yang sejati tidak dimulai dari tipografi atau skema warna, melainkan dari keberanian membersihkan hati, mengakui luka, lalu menata makna. Ia bukan permainan grafis, melainkan pemurnian nilai.
Kita bisa melihat praktik ini dalam upacara tradisional. Misalnya, ruwatan murwakala bagi anak sukerta tidak pernah dimaknai sekadar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Ia adalah upaya memutus rantai bala, meneguhkan doa keluarga, dan memulihkan harmoni.
Simbol, estetika, dan performa memang hadir, tetapi semuanya berakar pada kepercayaan, bahwa kehidupan bisa ditata kembali melalui kesungguhan moral. Jika rebranding modern hanya sibuk pada estetika tanpa nilai, ia kehilangan jiwa ruwatan-nya. Sebaliknya, jika ia menyentuh moralitas dan aras keadilan, barulah ia selaras dengan akar purba ritus penyucian.
Citra, pada akhirnya, hanyalah bayang; sementara nilai adalah cahaya. Bila organisasi, korporasi, bahkan juga bangsa, hanya sibuk menata bayang, ia kehilangan sumber cahaya. Tetapi bila ia menjaga cahaya, bayang yang terpancar akan indah dengan sendirinya. Analogi ini serupa dengan bianglala di langit: warna-warni itu memukau, tetapi sesungguhnya hanyalah pantulan cahaya yang melewati butiran air. Yang abadi bukanlah fatamorgana warna-warni, melainkan sumber cahaya yang subtil dan sublim.
Ritus purba sejatinya memuat daya kolektif: mempersatukan manusia dengan sesama dan jagat raya. Dunia modern kerap mereduksinya menjadi tontonan estetis semata. Padahal, bila rebranding dipahami sebagai ruwatan modern, ia bisa menyalurkan energi serupa: membersihkan kebuntuan dan kerakusan, serta mengembalikan arah pada nilai yang lebih luhur daripada sekadar laba.
Ruwatan selalu mengandung pengorbanan: ada yang dilepas, dibuang, dikubur. Dalam ranah organisasi, korporasi, bahkan bangsa, ini berarti keberanian meninggalkan praktik culas, menyingkirkan korupsi, membuang kepalsuan. Tanpa keberanian melepas, transformasi hanya menjelma kosmetika lamis—indah di luar, rapuh di dalam. Seperti ritus yang gagal karena mantera diucapkan tanpa iman, rebranding yang kehilangan moral pun mustahil menghadirkan perubahan sejati.
Dengan demikian, “ritual purba” bukanlah nostalgia romantik terhadap tradisi, melainkan pengingat etis: setiap perubahan menuntut pemurnian. Citra yang kokoh hanya lahir dari cahaya nilai; dan cahaya nilai hanya muncul dari keberanian membersihkan diri. Tanpa itu, bianglala tak lebih dari fatamorgana, logo tak lebih dari stiker, dan jargon tak lebih dari kabut.
Epilog
Oleh karena itu, ruwat-citra mestinya mampu mengkerangkai dan menawarkan ajakan moral, di tengah krisis: beranikah kita meruwat diri, bukan sekadar merias citra? Seperti Heraclitus menulis dalam fragmen On Nature (abad ke-5 SM): “No man ever steps in the same river twice.” Perubahan adalah takdir. Tetapi pilihan moral tetap ada: hanyut bersama arus, atau berenang dengan cahaya nilai.
Transformasi sejati adalah kesetiaan pada nilai-nilai abadi: kebenaran, keadilan, keindahan. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (abad ke- 4 SM), menyebutnya eudaimonia—kehidupan yang baik, kehidupan yang dijalani sesuai kebajikan. Buddhisme mengenalnya sebagai dharma: hukum kosmis yang menjaga keseimbangan dan harmoni. Inilah inti yang tak bisa ditukar, bahkan oleh citra paling gemerlap sekalipun silau cahayanya.
Sejarah berulang kali mengingatkan bahwa setiap peradaban memiliki titik katastrofi: saat citra dijadikan segalanya dan nilai dikorbankan. Kekaisaran Romawi, juga Prancis, runtuh bukan semata karena serangan barbar, melainkan karena kebangkrutannya sendiri—pesta simbol, kemewahan estetis, dan politik citra yang menggerus daya moral.
Eropa abad ke-20 bahkan menyajikan contoh lebih ekstrem. Totalitarianisme Nazi melahirkan propaganda paling estetik: seni, arsitektur, hingga musik digerakkan untuk meneguhkan citra kuasa. Namun keindahan yang tercerabut dari kebenaran dan kebaikan, justru menampakkan wajah paling ngeri dari sejarah—horor peradaban dan kemanusiaan. Dari sanalah kita belajar: estetika tanpa etika, hanya akan menjelma senjata yang mematikan.
Kini, dalam lanskap kontemporer, bahaya serupa tetap mengintai. Teknologi digital membuka peluang kreativitas tak terbayangkan, tetapi sekaligus melahirkan inflasi citra: manusia sibuk membangun persona di media sosial, korporasi berlomba merancang logo, negara gencar menabuh slogan. Semua bergerak di ranah visual, impresi, performa. Namun semakin citra ditumpuk, semakin dalam pula luka yang tersembunyi. Estetika yang tercerabut dari nilai, akhirnya merosot menjadi estetisisme kosong—sekadar permainan kosmetik yang meninabobokan.
Seni atau estetika yang menutup mata dari realitas sosial hanyalah fetish—hiasan indah yang mempercantik permukaan, tetapi menyembunyikan luka yang menganga. Yang dibutuhkan bukan ornamen semu, melainkan elan moral: tenaga batin untuk menyingkap dan meneroka kembali akar kemanusiaan. Dibutuhkan pula narrative imagination—kemampuan membayangkan kehidupan orang lain, ikut merasakan deritanya, dan menjadikannya pijakan etis dalam bertindak.
Shakespeare, dalam Romeo and Juliet (1597), menyinggung ironi “What’s in a name?”—bahwa nama hanyalah tanda, tidak menjamin substansi di dalamnya. Begitu pula jargon dan citra: jika tak disertai nilai moral, ia sebatas label kosong yang menutupi kenyataan absurd di dalamnya.
Dengan cara itu, estetika seharusnya tidak berhenti pada memanjakan mata, melainkan membangkitkan empati dan menyalakan nilai dalam jiwa. Ruwat citra dalam pengertian ini, karenanya bukan sekadar strategi komunikasi publik atau manuver pemasaran demi meraup profit, tetapi sebuah perayaan moralitas: keberanian menampilkan kebenaran ke ruang publik, meski pahit dan getir adanya.
T.S. Eliot menutup puisinya Four Quartets (1943) dengan kalimat: “In my end is my beginning.” Di dalam akhir selalu ada awal baru. Perubahan bukan sekadar berganti wajah, melainkan kembali pada sumber nilai. Seperti dalam ruwatan, wayang bukan sekadar pertunjukan estetis, tetapi jembatan menuju kesadaran kosmis: manusia hanyalah lakon kecil, dalam panggung besar kehidupan, dan hanya dengan membersihkan diri dari kerak keserakahan, ia bisa kembali selaras dengan elan jagat raya secara elegan.
Maka, ruwat-citra estetika menemukan makna terdalamnya, bukan dalam pesta kosmetika, melainkan dalam perayaan me–ruwat diri, me–ruwat nilai, me–ruwat luka. Setiap organisasi, setiap bangsa, bahkan setiap individu, ditantang untuk berani masuk ke ruang purifikasi ini: menyingkirkan topeng, menatap cermin retak, dan menerima kerapuhan diri. Di situlah letak keberanian: bukan dalam menumpuk kilau keindahan, melainkan dalam menegakkan nyala kebenaran dan kebaikan.
Epilog ini menutup lingkaran wacana, sekaligus membukanya kembali: di tengah deras arus perubahan, ruwat-citra estetika adalah ajakan untuk tidak sekadar hanyut. Ia adalah undangan untuk berenang melawan arus, bukan demi semata-mata profit-komodifikatif, melainkan demi kesetiaan pada cahaya nilai-nilai. Hanya dengan itu, esensi transformasi akan bermakna: bukan sekadar pergantian kulit, melainkan pembaruan jiwa.
*Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum., Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta