Islam dan Komunisme: Sejarah Kiri Dunia Islam

Oleh Riwanto Tirtosudarmo*

Sejak 1965 komunisme menjadi hal tabu di negeri ini. Ada ketakutan untuk membicarakannya. Setidaknya ada dua pihak yang takut menyentuh barang ini. Pihak pertama adalah mereka yang ketakutan komunisme bangkit kembali, dan pihak yang lain adalah mereka yang takut membicarakan karena bisa dianggap komunis atau setidaknya bersimpati pada komunisme. Ketakutan jelas sebuah sikap yang mencerminkan ketidakbebasan. Ketidakbebasan adalah ciri dari sebuah masyarakat yang memiliki hambatan untuk maju dan berkembang menjadi lebih terbuka, egaliter, demokratis, inklusif dan sejahtera. Tanggal 30 September 2025 ini genap 60 tahun peristiwa 1965 telah dilewati. Selama 60 tahun itu komunisme dilarang kehadirannya di negeri ini. Tapi menurut hemat saya peristiwa 1965 harus dilihat sebagai bagian dari sejarah bangsa yang penting jika tidak dikatakan sebagai yang terpenting setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Kenapa? Karena tanpa membuka sejarah apa yang sesungguhnya terjadi pada tahun 1965, sebagai bangsa kita telah berlaku seperti burung onta yang menyembunyikan kepalanya di pasir. Terus hidup dalam kegelapan sejarah dan dengan itu kita sesungguhnya tidak pernah belajar dari sejarah. Kita menjadi bangsa yang linglung dan melangkah kedepan dengan rasa tidak pasti karena sesungguhnya kita tidak mengenal siapa sesungguhnya diri kita.

Buku yang sedang kita bicarakan ini berjudul “Sejarah Kiri Dunia Islam” karya Muhammad Ridha, pengajar studi sosial dan sains Islam di UIN Alaudin Makassar. Bung Ridha memberikan buku ini ketika kami sama-sama menghadiri pertemuan tahunan KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik) tanggal 14-15 Agustus 2025 di Kampus Universitas Muhamadiyah Surabaya. Buku ini merupakan kumpulan 9 tulisan yang sebelumnya dimuat di media online islambergerak.org dan carabaca.id. Kesembilan artikel itu dikelompokkan menjadi tiga bagian. Bagian pertama dibawah tema “Asal-usul Kemunduran Islam”. Bagian kedua, “Kebangkitan Islam bersama Komunisme”, dan bagian ketiga “Imperialisme dan Pemunduran Kembali Dunia Islam”. Dari pembabagan yang dibuat segera terlihat bagaimana penulis berupaya untuk melihat siklus sejarah kiri dunia islam dari kemajuan ke kemunduruan. Buku ini mendapat kata pengantar yang lumayan panjang dari Rizki Amalia Affiat pemimpin redaksi islambergerak.com. Judul kata pengantar ini “Menengok Ulang Sejarah Perjumpaan Islam dan Komunisme dalam Perjuangan Kemerdekaan”. Baik kata pengantar maupun isi buku ditulis oleh dua intelektual muda Islam yang entah dari mana keduanya berani mendobrak tabu sejarah. Keduanya tidak takut membicarakan komunisme.

Buku ini menjadi buku rintisan bagi kalangan ilmuwan sosial di Indonesia untuk mulai melihat sejarah dan perkembangan Islam di dunia dan di Indonesia secara kritis. Buku ini kritis karena berani merambah literatur tentang sejarah kiri dunia Islam yang selama ini praktis tersembunyi atau disembunyikan oleh kalangan intelektual Islam sendiri. Penulis telah berusaha melihat bagaimana kemunduran Islam sesungguhnya erat hubungannya dengan kegagalan rezim-rezim pemerintahan yang telah meninggalkan elan emansipatoris dari Islam yang sesungguhnya bersifat sosialisits. Kemunduran dunia Islam tentu saja tidak mungkin dilepaskan dari kolonialisme yang kemudian berkembangng menjadi imperlialisme yang bersifat global. Dalam kaitan ini menarik penulis telah merujuk pada buku penting karya Ahmet T. Kuru yang belum lama ini diterbitkan oleh Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2020) yang memang telah berhasil menunjukkan secara hampir menyeluruh bagaimana kemunduran dunia Islam terjadi.

Bagian yang menurut saya juga penting karena menunjukkan keberanian Muhammad Ridha melabrak tabu komunisme di negeri ini adalah bagian epilog yang berjudul “Seratus Tahun Partai Komunis Mempengaruhi Duna Islam: Refleksi Sebuah Buku. Dalam refleksinya penulis mengungkapkan sebuah wilayah kajian yang selama ini hampir langka dalam pemikiran para intelektual islam di Indonesia bagaimana sesungguhnya begitu erat hubungan antara Islam dan Komunisme dalam sejarah dunia. Barangkali bagian dari refleksi ini akan lebih membumi dengan konteks Indonesia jika Muhammad Ridha telah membaca bagaimana dalam sejarah pembentukan Republik Indonesia Islam sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari Marxisme, sebagaimana telah dibuktikan secara meyakinkan dalam buku Lin Hongxuan Ummah Yet Proletariat: Islam, Marxism, and the Making of the Indonesian Republic (2023).

Sebagai seseorang yang tidak berasal dari tradisi Islam maupun komunisme saya menganggap penting hadirnya buku ini ketika lebih dari setengah abad kita menjadi bangsa yang diliputi rasa ketakutan ketika melihat sejarahnya sendiri. Sebagai buku rintisan yang berani merambah sejarah yang selama ini ditabukan, secara akademik buku ini masih memiliki beberapa kelemahan. Buku ini misalnya, baik dalam kata pengantar maupun dalam isi buku, masih terlihat menggunakan sumber-sumber terjemahan atau menggunakan sumber asli dengan pembacaan yang mungkin tidak sepenuhnya tepat. Dari daftar kepustakaan, baik pada kata pengantar maupun isi buku, terlihat belum “exhaustive”. Namun demikian harus diakui bahwa terlepas dari kekurangan yang ada buku ini telah menjadi buku rintisan yang berani merambah sebuah wilayah kajian dan pemikiran yang selama ini praktis hampir langka di negeri ini.

Sebagai contoh ada dua buku yang menurut saya sangat penting dalam membicarakan Islam atau komunisme atau hubungan antara keduanya. Pertama buku Michael Laffan Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds (2003). Laffan berpendapat bahwa Islam memiliki peran sentral yang selama ini kurang diakui oleh para pengamat Indonesia yang lebih menonjolkan peran golongan sekular yang umumnya berlatarbelakang pendikan barat (Belanda). Buku Laffan bisa dilihat sebagai kritik terhadap buku yang sangat berpengaruh dari Ben Anderson Imagined CommunitiesReflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983) yang tidak menunjukkan peran Islam dalam pertumbuhan nasionalisme.

Buku penting kedua telah saya singgung diatas, terbit setelah duapuluh tahun dari buku Laffan, yang juga absen dalam referensi, adalah karya Lin Hongxuan Ummah Yet Proletariat: Islam, Marxism, and the Making of the Indonesian Republic (2023). Buku ini menurut pendapat saya sangat penting karena menunjukkan dengan sangat meyakinkan tentang hampir tak terpisahkannya Islam dan Marxisme dalah sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia. Sebuah artikel dari Lin Hongxuan, seorang akademisi muda yang saat ini menjadi pengajar di NUS telah dijadikan referensi dalam kata pengantar, dan ini menunjukkan telah terbukanya kemungkinan untuk membaca tulisan-tulisan Lin Hongxuan yang lebih lengkap tentang Islam dan Marxisme.  

Komunisme ditabukan untuk dibicarakan tidak hanya di Indonesia tapi juga di Singapura atau Malaysia, tiga negara di Asia Tenggara yang sama-sama pernah memiliki Partai Komunis atau setidaknya Partai Sosialis. Sebagai bagian dari Perang Dingin kita mengetahui negara-negara di Asia Tenggara oleh Amerika Serikat dan para sekutunya seperti Inggris dan Australia dijadikan sebagai sebuah blok (ASEAN) untuk membedung komunisme.  Sejak awal tahun 1970an kawasan Asia Tenggara berkembang dibawah rejim pemerintahan yang otoriter dalam ekosistim yang kapitalistk. Yoshihara Kunio dalam bukunya The rise of ersatz capitalism in South-East Asia (1988) menggambarkan kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia sebagai “Erzats Capitalism” (kapitalisme semu, kapitalisme tiruan). 

Tahun 1965 bisa dikatakan sebagai awal dari sebuah periode dalam sejarah Indonesia dimana perkembangan pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial dikuasai oleh pemikiran-pemikiran barat yang merupakan bagian dari strategi imperialisme global – meminjam istilah yang dipakai oleh Muhamad Ridha dalam bukunya – yang meminggirkan pemikiran-pemikiran Marxis dan komunistis. Implikasi dari diamputasinya komunisme di Asia Tenggara dan khususnya di Indonesia adalah hilangnya pemikiran-pemikiran yang menekankan pentingnya sosialisme dan keadilan sosial. Dalam konteks pembangunan  ekonomi, Indonesia menganut paradigma pertumbuhan yang dengan sendirinya meminggirkan paradigma pemerataan – yang sering dikonotasikan sebagai paradigma yang bersifat sosialistis atau marxistis, bahkan komunistis. Oleh karena itu terbitnya buku Muhammad Ridha Sejarah Kiri Dunia Islam (Intrans Publishing, Mei 2025) patut diapresiasi oleh kalangan ilmuwan sosial di Indonesia yang selama ini dipaksa memakai kacamata kuda untuk hanya memamah biak pemikiran-pemikiran barat yang anti pemerataan dan keadilan sosial.

Sentani Jayapura, 27 September 2025

——

*Riwanto Tirtosudarmo, Peneliti Independen.