Epigraf Wiji Thukul

Oleh: Zastrow Al-Ngatawi*

Puisi Wiji Thukul adalah puisi perlawanan yangg cerdas dan bertenaga. Meski tanpa kata-kata kasar dan kotor, puisi-puisi Wiji Thukul mampu menggerakkan dan menakutkan bagi penguasa.

Puisi-puisi Wiji Thukul sudah pasti menginspirasi, khususnya, para aktivis. Puisi-puisinya tangkas. Tak terbebani teori, juga kaidah-kaidah dan lisensi puitika. Namun begitu, bukan berarti, Wiji Thukul, yang puisi-puisinya banyak menjadi sumber inspirasi tidak paham. Ia layaknya seorang pendekar yang tak perlu menunjukkan tutorial jurus dan gerakan dalam silat.

Puisi-puisi Wiji Thukul lahir dari ruang gelap demokrasi. Tidak seperti narasi-narasi “tokoh publik” yang, katanya, “filsuf”. Lalu, atas nama kebebasan berpikir, berlogika dan dialektika, si “filsuf” bebas menggunakan kata-kata kasar dan mencaci maki! Saya tidak tahu pasti, sang “filsuf” sengaja atau tidak, anehnya, kita nyaris tak menemukan atau bahkan memetik buah pikiran —mengutip lirik lagu Ebid G. Ade— yang kita renungkan dari kata-kata sang “filsuf”. Narasi yang dibangun hanya menghasilkan keributan tanpa makna.

Puisi Wiji Thukul adalah belati tajam berkilat. Ketajaman dan kilaunya mampu menembus sangkur yang membungkusnya. Bukan catatan kaki atau huruf-huruf kecil di bab akhir, sebagaimana disebutkan Gunawan Muhamad dalam “cap” yang ditulisnya.

Puisi Wiji Thukul adalah siulan yang lirih, nyaris tak terdengar. Tapi dapat mendatangkan badai yang dapat melumat kesombongan. Bukan mantra suci yang dijajakan para pengkhotbah di mimbar agama atau diteriakkan para pengasong tuhan di jalanan yang hanya menghasilkan berhala kebencian.

Wiji Thukul bukan filosof yang lantang bicara dengan kata-kata kotor untuk mempengaruhi publik, bukan pula tokoh (merasa) besar yg mengaku sanggup menggerakkan people power. Kekuatan puisi-puisi Wiji Thukul sanggup mempengaruhi publik melebihi sang filosof dan dapat menggerakkan people power melampaui sang tokoh. Inilah yang membuat penguasa tamak takut padanya hingga dia harus dihilangkan paksa.

Wiji Thukul telah tiada, tapi puisinya tetap hidup dan menyala, menggerakkan siapa saja yang rindu keadilan. Tidak jarang, puisi-puisinya dimanfaatkan dan dijadikan topeng orang-orang serakah untuk berebut kekuasaan.

*Zastrow Al-Ngatawi S.Ag., M.Si. (lahir 27 Agustus 1966) adalah seorang budayawan dari kalangan nahdliyin. Karya-karyanya yang sudah terbit, antara lain, Politik Islam di Jawa; Wali Songo dalam Sejarah Tutur Masyarakat Pesisir Jawa (1997); Reformasi Pemikiran (1998); Muhasabah Kebangsaan (2020); dan berbagai macam makalah dan artikel di jurnal, media massa, dan buku-buku ilmiah.