Istana GUS DUR Biru Samudera, Istana MEGA bagai Sang Saka

Oleh: Agus Dermawan T.*

ISTANA PRESIDEN:
Dari Presiden ke Presiden – Bagian 3

Setelah istana Presiden Sukarno, Soeharto dan Habibie diperbincangkan, sekarang istana Gus Dur dan Megawati digunjingkan. Mengapa istana pernah menjadi biru, dan patung-patung bersarung ada di banyak penjuru? Dan kapan Istana jadi merah- putih, bagai pesta tujuhbelasan setiap hari?


Presiden Abdurrachman Wahid
(7 September 1940 – 30 Desember 2009) – Presiden Republik Indonesia keempat.

KIAI HAJI Abdurrachman Wahid alias Gus Dur adalah cendekiawan muslim yang sangat memahami sisi-sisi keindahan seni. Sehingga ia berani memprediksi bahwa lagu ciptaan Ebiet G. Ade akan merenggut perhatian jagad musik pop di Indonesia. Atau faham benar sisi mana yang paling menenggelamkan perasaan dari alunan komposisi Mozart, Beethoven dan melodi Edvard Grieg. Sebagai pengagum karya-karya sastra Rusia, dari Nikolai Gogol sampai Pushkin, dan penggemar buku cerita detektif seperti karangan John LeCarre serta Ken Folete, ia mengembangkan kepintaran mengarang.

Selebihnya Gus Dur memiliki pengetahuan luas mengenai kesenian dan kebudayaan. Itu sebabnya pada tahun 1985 ia diangkat menjadi ketua dewan juri Festival Film Indonesia di Bandung. Sebelumnya, tahun 1983, ia diangkat menjadi Ketua Pimpinan Harian Dewan Kesenian Jakarta.

Lukisan sosok Abdurrachman Wahid alias Gus Dur di Istana Presiden, karya Warso Susilo. (Sumber Agus Dermawan T.)

Kedekatan Gus Dur dengan kesenian dan kebudayaan menyebabkan ia cukup familier dengan situasi seni-budaya Istana Kepresidenan, yang sejak era Presiden Sukarno sudah dikenal kental atmosfirnya. Padahal Gus Dur sendiri, kelahiran Denanyar, Jombang, Jawa Timur 7 September 1940, sesungguhnya tidak muncul dari lingkungan kebudayaan. Namun hidup dan besar dari lingkungan yang memperdalam dan memperluas soal-soal keagamaan.

Ia adalah anak tertua dari A.Wahid Hasjim, tokoh Islam yang pernah jadi Menteri Agama Republik Indonesia. Dan kakeknya adalah Hasyim Azy’ari, tokoh perjuangan nasional. Gus Dur menempuh pendidikan di pesantren Tambakberas, Jombang, tahun 1959-1963, setelah ia lulus dari Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Kemudian ia melanjutkan kuliahnya di Departement of Higher Islamic and Arabic Studies, di Al Azhar University, Kairo, Mesir. Juga di fakultas sastra Baghdad University, di Baghdad, Irak. Di kota-kota itu ia banyak aktif dalam berbagai perhimpunan pelajar. Di sini Gus Dur memperdalam dunia organisasi.

Karir pengasuh pesantren Ciganjur ini terus mendaki, hingga kemudian menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama serta menjadi Ketua Partai Kebangkitan Bangsa. Tahun 1999, sebagai hasil dari gelora reformasi, Gus Dur diangkat sebagai Presiden. Ia pun masuk Istana Kepresidenan. Namun ia turun tahta pada Juli 2001.

Gazebo di halaman dalam Istana Presiden Jakarta. Di sini Presiden Gus Dur sering meriung bersama para penasehatnya. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Pada masa pemerintahan Gus Dur, Istana Kepresidenan seolah “dikembalikan” menjadi rumah rakyat. Semua hal yang sifatnya protokoler dibikin kendur. Hampir setiap orang yang dianggap berkepentingan, dipersilakan masuk ke Istana. Lalu diajak meriung di gazebo yang berdiri di bawah pohon rindang sejak dahulu kala. Atas area  mungil ini Gus Dur pernah bilang, kira-kira begini : Gazebo ini di zaman Londo dulu difungsikan sebagai muziek koepel, tempat para musikus bersukacita membawakan lagu-lagunya. Sementara di era Bung Karno, gazebo ini difungsikan sebagai tempat anak-anaknya belajar dengan mengundang guru. Maka sekarang di sini kita dengan sukacita belajar tentang Indonesia.

Keadaan Istana Presiden sendiri pada prinsipnya oleh Gus Dur dibiarkan seperti sediakala. Artinya, sebagaimana situasi seni-budaya yang ditinggalkan oleh pendahulunya, B.J.Habibie. Aneka keramik yang berbentuk vas besar, piring, guci dibiarkan tertata di sejumlah almari dan sudut-sudut ruang. Lukisan-lukisan pemandangan, alam benda dan tema-tema lain tetap tergantung pada tempatnya.

Gus Dur memiliki dua kantor kepresidenan di kompleks Istana Jakarta. Yakni gedung Bina Graha (bekas ruang kantor Presiden Soeharto), dan gedung sayap kiri Istana Negara. Interior kantor Presiden di Bina Graha tidak disentuh perubahan sedikit pun. Bahkan devider kulit bertatah wayang warisan Soeharto yang memisahkan ruang makan, tidak banyak bergeser. Begitu pula hiasan dinding di lorong kantor sayap kiri Istana itu. Lukisan pemandangan terpajang tenang.

Namun demikian ada satu hal yang oleh Gus Dur direformasi. Di dalam ruang-ruang istana, apalagi di ruang kerja presiden dan stafnya, diharapkan tidak ada patung-patung yang terpajang. Patung-patung tersebut dipindahkan ke luar ruang, seperti taman atau sehamparan lapangan luas. Sedangkan patung-patung yang relatif kecil – yang tenggelam apabila ditata secara out door – dimasukkan ke dalam gudang Sanggar Lukisan Istana Presiden.

Ide “pengusiran” ini datang dari sejumlah penasehat Gus Dur, yang menganggap seni patung sebagai embrio dari pemujaan berhala. Meskipun Gus Dur tahu bahwa pasal keberhalaan itu adalah tafsir masa silam yang tidak berlaku lagi, setelah dikaji berdasarkan sababul wurud (musabab, setting dan latar belakang turunnya hadis). “Tapi Gus Dur menuruti nasehat itu, dan bertanggungjawab atas keputusannya itu,” tutur Adhie Massardi, mantan juru bicara Presiden Gus Dur.

Ibu Negara Dr (H.C.) Dra. Hj. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum, dalam busana biru. (Sumber: Wikipedia)

 

Karpet Persia berwarna biru semacam ini yang menjadi favorit Ibu Negara Sinta Nuriyah Abdurrachman Wahid kala berada di Istana Jakarta. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Sementara Gus Dur dan keluarganya tinggal di sayap kanan Istana Negara. Di sini sentuhan seni rumah first lady Sinta Nuriyah tampak. Sebagian besar elemen rumah, dari gorden sampai permadani didominasi warna biru. Dengan begitu, bagian-bagian lain dari istana juga diharapkan biru. Alasannya, seperti yang diungkapkan oleh Siti Nuriyah, dari istana-istana negara yang pernah dikunjungi, tidak ada yang berwarna biru. Karena itu keluarga Gus Dur memulainya.

Presiden Gus Dur juga punya pilihan konseptual dalam pengadaan cenderamata untuk kepala negara yang ia kunjungi di luar negeri. Ia sering menghaturkan keris yang dikemas dalam bingkai, dengan ditutup kaca. Sehingga keris tak lagi sebagai senjata, tapi hiasan art craft Indonesia Raya. Beludru yang menataki keris dalam kotak kaca itu juga berwarna biru.

Lukisan Walter Spies yang bernuansa biru, hiasan dinding istana era Gus Dur. (Sumber: Agus Dermawan T.)

 

Lukisan samudera biru karya Basoeki Abdullah menghiasi istana. Sesuai visi warna Sinta Nuriyah. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Lalu, untuk mencerminkan bahwa Indonesia adalah negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, atau untuk menggambarkan bahwa Islam adalah sahabat semua bangsa, Gus Dur memilih lukisan berkaligrafi atau kerajinan kaligrafi sebagai hadiah untuk tamu negara yang datang.

Presiden Megawati Soekarnoputri
(23 Januari 1947) – Presiden Republik Indonesia kelima.

Semasa pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang berlangsung sejak 1999, situasi Istana Kepresidenan banyak berubah. Sebagai putri dari Sukarno atau Bung Karno yang sangat mencintai kesenian, Mega nampak ingin menyempurnakan visi seni-budaya ayahnya yang telah meninggalkan Istana itu sejak tahun 1967. Bung Karno sebagai pencinta dan bahkan superpatronis kesenian, sungguh telah menjadi mitos di masyarakat Indonesia. Di tengah kesibukannya memimpin negara Mega berkesempatan mengkaji mitos itu, dan lantas meneruskannya dalam tindakan.

Presiden Megawati Soekarnoputri. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Dullah, pelukis Istana Presiden Sukarno 1950-1960 mengungkap, bahwa Bung Karno sering menuturkan peribahasa Jawa : “Wijining atapa tedaking andana warih”. Sekalimat paribasan ini bisa dielaborasi pengertiannya: biji seorang pertapa akan membuahkan tumbuhan yang utama. Keturunan manusia utama akan menjadi manusia prima pula. Keturunan orang cinta kesenian akan menjadi orang yang mencintai keindahan pula. Dan memang, sebagaimana diungkap Dullah, keindahan seni yang diwujudkan oleh Bung Karno di istana bertujuan untuk dipelihara dan dikembangkan kepada generasi pelanjutnya. Di awal abad 21 pelanjut itu adalah anaknya sendiri, Megawati.

Megawati lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947, dengan nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri. Kedekatan Mega dengan ayahnya dibina ketika dirinya tinggal di Istana Presiden, maupun ketika tinggal di luar Istana.

Dalam berbagai kesempatan beriring-jalan bersama ayahnya, Mega tertarik kepada kepedulian Bung Karno atas waktu untuk menikmati karya-karya seni. Di sela-sela kesibukan konferensi atau kunjungan kenegaraan di Indonesia atau mancanegara, Bung Karno senantiasa menyempatkan diri masuk ke berbagai museum, galeri atau art shop. Yang menarik hati segera dibeli.

Mega tentulah sangat terlibat dengan keasyikan ini, karena dalam dirinya sesungguhnya mengalir darah seni. Mega dikenal pandai menari, dan sangat suka dengan benda-benda seni rupa. Ia mengagumi berbagai macam keindahan songket, mengapresiasi wayang, menyukai semua seni rupa tradisional Indonesia. Hasrat Mega kepada kesenian ini selayak kakaknya, Guntur Soekarnoputra yang menyukai musik dan seni fotografi. Adiknya, Guruh Sukarno Putra yang penyuka musik. Atau Sukmawati yang pencipta puisi dan pemain teater.

Karena itu, segera setelah Mega masuk ke Istana sebagai Presiden Republik Indonesia kelima, situasi Istana Presiden mengalami banyak perubahan. Ia menggunakan sejumlah ruang untuk kantornya. Bahkan ia juga membuat kantor kepresidenan dan ruang sidang kabinet baru, yang terletak di bagian tengah kompleks Istana Negara. Bangunan ini merengkuh juga gedung yang tadinya dipakai untuk Sanggar Lukisan dan Museum Puri Bhakti Renatama, yang semula untuk menyimpan benda-benda craft cinderamata dari seluruh dunia.

Pohon-pohon di taman Istana Jakarta pada era Megawati, yang dihiasi layang-layang pada momen 17 Agustusan. (Sumber: Buku Rumah Bangsa)

 

Bina Graha, bekas kantor Presiden Soeharto yang disulap jadi Museum Koleksi Istana Presiden. Namun dibongkar pada 2005 pada era presiden berikutnya. (Sumber: Istana Presiden)

Sebagai pencinta seni, Mega memindahkan koleksi dua “rumah seni” itu ke gedung Bina Graha, yang dulu dipakai sebagai kantor Presiden Soeharto. Dengan pemindahan itu, berarti lembaga Sanggar Lukisan Istana Presiden dan Puri Bhakti Renatama dihapuskan. Dan diganti dengan lembaga yang lebih besar dengan tugas yang lebih kompleks : Museum Istana Kepresidenan. Namun rumah seni yang (bakal) bisa diakses oleh publik umum ini segera sirna, lantaran dibongkar oleh presiden berikutnya.

Atas ruang kantor utama, Megawati berupaya memberikan sentuhan pribadinya. Sejumlah lukisan dan elemen interior yang dipasang menyiratkan makna khusus dan fungsi yang jelas. Di sini terlihat lukisan Roland Strasser yang berobyek wanita Indonesia berperingai tegar sedang bertolak pinggang. Sementara di dinding lain tampak lukisan Trubus S. yang melukiskan wanita berwajah lembut dengan bunga gladiol. Di sepojok lantai secara dekorasional terdisplay kerajinan gading gajah, yang melambangkan kekuatan. Filosofi ruang ini adalah: kelembutan, ketegaran dan power memancar simultan senantiasa. Nuansa sang saka merah-putih ada di banyak sisinya.

Ruang resepsi di istana presiden masa Megawati, dengan nuansa sang saka merah-putih. (Sumber: Buku Rumah Bangsa)

 

Halaman belakang Istana Merdeka yang indah era Megawati, dengan hiasan patung. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Megawati memakai mebel peninggalan ayahnya, Bung Karno, sebagai meja dan kursi kerja. Hanya bedanya, apabila dahulu meja itu berwarna hitam, sekarang berubah menjadi merah mahoni. Yang unik, di Ruang Tunggu Tamu Istana Negara terpancang bendera kuning bergambar bintang, padi dan kapas. Syahdan bendera ini pada masa pemerintahan Bung Karno dipakai untuk menandai keberadaan Presiden di Istana Negara. Apabila berkibar di puncak Istana Negara, berarti Presiden ada. Apabila tidak dikibarkan, berarti Presiden berada di luar Istana.

Bendera penanda ini tak dipakai lagi pada masa pemerintahan Soeharto. Bahkan sampai pemerintahan Megawati. Maka, apabila direnungkan, bendera ini bisa menjelma jadi benda dokumentasi yang banyak cerita tentang 21 tahun keberadaan Bung Karno di Istana.

Foto Presiden Megawati dengan gading gajah lambang keperkasaan dan bendera kuning peninggalan Bung Karno. (Sumber: Agus Dermawan T.)

 

Buku besar tentang Istana Presiden dan isinya, Rumah Bangsa, warisan Presiden Megawati. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Megawati menyarankan agar seluruh koleksi benda-benda seni Istana Presiden dikaji nilai artistik dan nominalnya, didokumentasikan, dan yang memiliki kualitas tinggi dibukukan. Bahkan koleksi pribadi Bung Karno, sang ayah, yang ditinggalkan di seluruh Istana Presiden (Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, Tampaksiring, termasuk di Pesanggrahan Pelabuhan Ratu), dinyatakan sebagai milik Istana Kepresidenan, yang notabene milik seluruh bangsa Indonesia.

Untuk itulah Megawati Soekarnoputri lalu menerbitkan buku besar mengenai istana dan koleksinya. Buku yang terbit pada 2004 itu berjudul Rumah Bangsa, susunan Bondan Winarno, Agus Dermawan T dan Guntur Santoso. Dalam rencana, buku tersebut merupakan pengawal dari penerbitan lima buku besar lain. Namun penerbitan lima buku itu batal, lantaran Megawati tidak lagi jadi presiden.

***

*Agus Dermawan T. Kritikus Seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden, sejak tahun 2000