Dusun Kemulan dengan Sejarah Topengnya
Oleh: Muhammad Nasai*
Ki Soleh dengan jalur pendidikan berusaha membesarkan kesenian Topeng desa Tulus. Berjarak kurang lebih 3 km dari candi Jago (Jajagu) Tumpang, kabupaten Malang terdapat dusun Kemulan, Tulus Besar. Desa sebelah timur candi Jago ini, merupakan desa yang pernah merasakan kejayaan kesenian Wayang Topeng Malangan. Dusun yang masih asri dengan udara yang sejuk dan banyaknya pohon rindang. Masyarakatnya yang ramah menjadikan dusun Kemulan nyaman di singgahi. Gapura selamat datang dusun yang berdampingan dengan jembatan yang dibawahnya mengalir air jernih membuktikan bahwa desa ini subur. Hamparan sawah berada di kanan-kiri jalan masuk dusun ini terlihat coklat nan legam tanahnya, sawah-sawah itu baru saja di panen.
Tidak jauh dari jembatan awal masuk dusun, akan terlihat bangunan megah beronamen jawa kental dengan dominan kayu sebagai inti bangunan. Bangunan megah ini tak lain adalah Padepokan Mangun Dharma, yang merupakan sanggar serta galeri kesenian yang dikelola oleh Ki Soleh Adi Pramono. Padepokan di awal berdirinya pada tahun I989 terkenal sebagai sanggar kesenian wayang topeng Malang yang ada di Tumpang, tepatnya di desa Tulus Besar, desa Tumpang.
Ki Soleh Adipramono saat ditemui, terlihat sedang membersihkan halaman padepokan. Melihat kedatangan penulis, Ki Soleh langsung mempersilahkan masuk. Setelah menyampaikan maksud dan keinginan, Ki Soleh pun langsung mengajak keliling rumahnya untuk melihat dan mengagumi rumah kayunya. Segala bentuk barang seni tertata rapi di pojok-pojok rumahnya, wayang, topeng hingga pernik-pernik pentas kesenian elok menempel pada dinding rumah berbahan kayu itu.
Berjalan melewati ruang tamu, penulis bertanya bangunan Padepokan,“semua berbahan kayu” jawabnya singkat menjelaskan kondisi padepokan yang juga tempat tinggal dirinya bersama sang istri. Sembari berjalan Ki soleh mempersilahkan naik ke lantai dua rumahnya, dimana dirinya biasa membuat karya topeng.
Bukan hanya dinding rumah saja yang berbahan kayu, anak tangga ke lantai dua rumah bergaya klasik ini juga dari bahan kayu. Di lantai dua ini, langsung terlihat meja ukuran kecil tempat dirinya membuat topeng, hal ini lantaran meja kerjanya berhadapan langsung dengan tangga ke ruangan ini. Lantai ini tidak banyak menampilkan perabotan selayaknya ruangan lain, hanya ada satu meja dengan tumpukan cat dan alat ukir. Lantai kayu di tambah cendela dengan model kaca ornament membuat ruangan terlihat adem.
Ki Soleh menuturkan diruangan inilah dirinya membuat wayang dan topeng dengan di bantu dua orang. Tak berselang lama, kami pun di ajak ke ruang tamu yang terletak di belakang bawah rumahnya. Disini mata penulis di manjakan dengan banyaknya topeng dan barang seni lainya, aroma wewangian menyapu hidung kami. Ruangan ini lebih luas dan banyak lemari lemari kaca tempat topeng serta kostum-kostum wayang topeng disimpan. Jamang, tekes, dan pernak-pernik kelengkapan pertunjukan wayang Topeng tertumpuk rapi.
Di tengah ruangan terdapat kursi meja, dan disinilah Ki Soleh biasa menerima tamu-tamunya. Setelah mempersilahkan duduk, Ki Soleh pun langsung melayani pertanyaan penulis tentang riwayat kesenian topeng. Ki Soleh yang juga mantan dosen di universitas IKIP Malang ini pun mengisahkan awal mula padepokan dan kesenian topeng berkembang di desa tulus Besar ini.
Membelakangi lukisan penari bali yang terpasang di tembok, dengan duduk tenang dirinya menceritakan bahwa Padepokan adalah usaha dirinya meneruskan apa yang telah dilakukan moyangnya. Berawal dari Buyut Sainten yang membuat padepokan Mangir di tahun 1898. Setelah generasi itu sang kakeknya juga turut mendirikan padepokan (1911-1928), yang bertempat didepan Padepokan Mangun Dharma sekarang.
Sepeninggal kakeknya, padepokan tersebut di teruskan oleh Pak Tirtonoto yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Tir, adalah Pak De Ki Soleh yang meneruskan padepokan dari tahun 1928-1935.
Dirinya menuturkan bahwa di saat jaman perang (Perang kemerdekaan 1945) kala itu membuat kesenian topeng yang ada dipadepokan serta komunitas topeng lainnya neredup bahkan tidak ada. Setelah era kemerdekaan kesenian ini kembali di teruskan oleh Pak Lek (paman) Rasimun yang bertempat tinggal di Glagah Dowo. Mbah Rasimun yang juga pamannya ini tak lain mrupakan sesepuh Topeng desa Glagah Dowo. Seorang maestro tari, yang semasa hidupnya pernah menjadi guru tari Didi Nini Towok.
Baru ditahun 1989 dirinya yang saat itu masih mengajar di IKIP Malang, mulai mendirikan Padepokan dan menisbahkan diri melanjutkan kesenian Wayang Topeng dari sang paman. “sejak tahun 1984 saya teruskan dengan nama Sri Margo Utomo, dan kesekretariatan masih di Mbah Rasimun, Glagah Dowo”. Hal ini lantaran dirinya belum mendirikan padepokan di desa tempatnya tinggal, Kemulan,Tulus Besar, Tumpang, terang Ki Soleh tentang tampuk estafet kesenian Topeng di Tumpang.
Dengan tekat meneruskan apa yang telah dilakukan oleh leluhurnya, Ki Soleh di tahun 1989 memulai pembangunan Padepokan. Dirinya memilih nama Padepokan dengan nama Mangun Dharma, Mangun Dharma bukan sembarang nama, terang Ki Soleh. Ini berdasarkan sejarah yang mengalir di desa Tulus Besar. Sejarah munculnya dusun Kemulan yang menjadi inspirasi dari nama Padepokan yang dirinya rintis dan bangun.
Adanya punden Patih Kadipaten Malang yang bernama Mangun Yudho. Patih ini meninggal di kawasan hutan Binangun, Tulus Besar, daerah yang sekarang menjadi kawasan desa Tulus Besar. Disela kepulan asap rokoknya, dirinya menuturkan, selama perjalanan Patih ke hutan, dia meninggalkan kemul (selimut) didesa itu, maka tak heran bila kemudian hari desa itu disebut dengan desa Kemulan.
Dengan latar sejarah inilah menjadi alasan jalan yang membelah desa Kemulan, Tulus Besar ini dinamakan Mangun Darmo. Dirinya menambahkan, demi penghormatan sejarah itu maka semua jalan, nama organisasi ataupun sekolah di desa Kemulan ini semua menggunakan nama Mangun Dharma, tak terkecuali dengan Padepokan yang dia dirikan.
Itulah sekelumit pengakuannya, kenapa Ki Soleh menamakan padepokannya dengan Mangun Darmo. Kini, bangunan itu bisa dilhat tiap orang yang selalu melewati jalan Mangun dharma desa kemulan. Bangunan padepokan ini kalau dari jalan raya Mangun Darmo terlihat agak tinggi, karena letak jalan agak turunan. Selama pendirian padepokan banyak seniman yang ikut gotong royong dalam menyelesaikan padepokan ini, paling banyak adalah seniman dari Glagah Dowo, di mana dahulu Mbah Rasimun berada.
Keikutsertaan seniman Glagah Dowo dalam andil membangun padepokan ini di benarkan oleh Budi Utomo (Cak Utomo) yang kala itu adalah anggota Sri Margo utomo Glagah Dowo. Ditahun 1990-an setelah Padepokan rampung, kesenian wayang topeng di Tumpang makin berkembang dengan wadah Padepokan. Banyak tamu asing, serta penggiat kesenian wayang topeng yang bertandang dan menyaksikan gelaran wayang topeng dipadepokan.
Ki Soleh yang kala itu masih aktip mengajar di IKIP Malang sangat diuntungkan, karena dengan begitu dirinya bisa membesarkan padepokan dengan jalur pendidikan yang memang dia tekuni di universitas itu. “selain di bawa oleh universitas, juga ada banyak warga asing yang dari dinas pariwitasa hadir disini” kenang Ki Soleh.
Banyak kegiatan kesenian di padepokan Mangun Dharma terlebih di pertegahan tahun 1990. Tepatnya tahun 1995 hingga 2001 Padepokan mengadakan gelar wayang Jawa Timuran rutin setiap Selasa legi. Pagelaran Wayang setiap selasa Legi ini menghadirkan seluruh dalang yang ada di Jawa Timur secara bergiliran. “semuanya membawakan wayang khas jawa timuran, yang Mojokerto ya membawakan gaya Mojokerto, Jombang ya gaya Jombang, Malang ya gaya Malang terus begitu” tuturnya.
Selain wayang jawa timuran, kesenian yang tak bisa lepas dari Mangun Darmo adalah wayang Topeng. Wayang topeng yang diera Mbah Rasimun telah boming hingga tahun 1990-an, padepokan tidak ingin kesenian topeng kian surut maka di tahun 2014 Ki Soleh membuat proposal ke Pemda guna bantuan dana untuk menampilkan gelaran topeng setiap malam minggu kedua setiap bulannya. Topeng-topeng yang di gelar dengan bantuan dana Pemda ini adalah topeng topeng yang ada disekitar desa Tumpang ini. Topeng Glagah Dowo, Topeng Precet, Topeng Boro Jati (boro Jabung), topeng Dampul, topeng Nduwet, topeng Jabung, topeng Gubuk Klakah dan Tumpang.
Ki Soleh mengaku pendanaan ini telah berakhir dan kini pagelaran itupun tidak ada lagi. Banyak manis pahit perkembangan serta keramaian di padepokan ini dalam mewadahi kesenian topeng hingga wayang kulit. Namun, seiring perkembangan jaman, kesenian jaranan yang lebih ramai akhirnya Padepokan Mangun Dharma juga membuat satu kesenian jaranan. Hal ini tak lain adalah cara menjawab perkembangan dan keinginan masyarakat dalam memperlakukan kesenian itu sendiri.
Selama obrolan di ruang tengah itu, Ki Soleh banyak menceritakan tentang ilmu dan kedalaman cerita awal lahirnya kesenian Topeng. Dirinya menuturkan bahwa topeng adalah mula di pakai dalam acara ritual penyempurnaan arwah orang yang meninggal. “Awalnya ya topeng ritual itu, entah di gunung-gunung, di lembah di gua-gua, membuat topeng bonekanya siapa, untuk ritual arwah” tuturnya.
Ki Sholeh menambahkan, di abad 12, Wisnuwardana yang melakukan ritual di Candi Jago dengan tontonan topeng sebagai sarana kedamaian pemeluk Hindu dan Budha. “Tontonan kinaryo tuntunan”.
Tontonan tersebut juga sebagai awal topeng yang pertama kali tampil dalam tontonan di abad itu. Hal ini menurutnya adalah cikal bakal teater tertua yang ada di Indonesia. Dirinya melanjutkan dengan tegas bahwa topeng yang tertua ya topeng kita, tegasnya. Setelah era Kertanegara sebagai penerus kesenian topeng Wisnuwardana. Kertanegara yang putra pewaris dari Wisnuwardana ini menolak memainkan lakon Mahabarata & Ramayana lagi. Kertanegara akhirnya membuat kidung Panji, terang Ki Soleh, “Itu di era setelah Singosari”.
Ki Soleh meneruskan, Kidung Panji bisa tersebar disemenanjung Melayu karena mengadakan pamalayu “Orang dahulu ketika berperang, keseniannya juga dibawa” terangnya. Uraian tentang kidung panji ini oleh Ki Soleh dikatakan ada di serat Cecepet. Kesenian Panji yang waktu itu masih sampai Melayu (Malaysia) akhirnya mengalami ekspansi yang luar biasa di masa Majapahit.
Penyebaran ini tak lain karena kemenangan prajurit Majapahit dalam menaklukan kerajaan-kerajaan yang tersebar di Asia. Penyebaran budaya Panji ini sekarang bisa di lihat beberapa Negara antara lain Vietnam, Thailand, Mianmar, Madagaskar dan tersebar hampir semua di Asia tenggara.
Padepokan miliknya telah terkenal, di kenal dengan kesenian Malangan, Karawitan, Macapat, Wayang Topeng dan Wayang Jegdong Malang adalah kesenian yang menjadi fokus seniman asli desa Kemulan ini. Dirinya menambahkan, demi tetap lestari dan berkembangnya kesenian Panji, Padepokannya juga menggandeng sebelas (11) padepokan yang ada di Indonesia dan juga bekerjasama dengan delapan (8) negara yang ada di Asia.
Dalam kerjasama dengan banyak pihak ini, Ki Soleh menuturkan adalah upaya seniman untuk membicarakan kesenian Panji. Dengan langkah ini dirinya berharap nantinya akan merujuk pada mencuatnya topeng Malang, wayang Malang dan banyak kesenian asli Jawa Timuran bisa makin berkembang. “Dari pembicaraan Panji ini nantinya semua kesenian yang ada di Jawa Timur ini ngelilir maneh (bangun kembali)” tegasnya.
Selama ngobrol beberapa jam tersebut penulis menyimpulkan bahwa sosok Ki Soleh Adi Pramono ini adalah seniman Topeng yang telah memahami seluk beluk budaya Malangan serta mengetahui betul sejarah topeng di tiap lekuknya. Selain sejarah dan alur cerita dalam wayang topeng, Ki Soleh juga menerangkan bahwa Kesenian Topeng adalah kesenian yang sarat laku batin.
Dari awal pembuatan topeng untuk digunakan dalam pagelaran wayang, doa-doa dan sesaji sudah menjadi bagian yang tidak terpisah dalam ritual pembuatan Topeng. Antara pembuat (pengukir) dan kayu bahan topeng punya hubungan batin dalam hembusan doa. Ki Soleh menjelaskan bahwa di awal pemilihan kayu sudah dipilih kayu yang memang sudah benar-benar tua dan “Kayu itu sudah melaksanakan darmanya ke pada alam” ucapnya. Dirinya menjelaskan bahwa kayu dan mahluk hidup lainya memang mempunyai kewajiban sendiri-sendiri sebagai mahluk hidup didunia ini.
Air yang mendarmakan dirinya untuk kesuburan, udara yang mendarmakan untuk kehidupan dan kayu yang mendarmakan sebagai pelindung mata air serta sebagai ruang udara bagi kehidupan. “Semua mahluk hidup punya darma sendiri” lanjutnya.
Untuk membuat topeng terangnya, pemilihan kayu juga melihat kayu itu sudah melaksanakan darmanya atau belum, dan bila sudah maka kayu itu sudah bisa di gunakan. Dalam ritualnya kata Ki Soleh, sebelum kayu di tebang, kayu di bakarkan wewangian dan doa-doa, lalu di potong dan di pinta untuk jadi sebuah karya topeng, tidak seperti sekarang, ritual semacam itu sudah banyak di tinggalkan.
Pengetahuan seperti ini dirinya mengaku di ajarkan oleh leluhur dan memang dia pelajari dari banyak seniman sepuh. Kearifan lokal dalam kesenian ini kian hari semakin langka, di tambah memang sekarang dunia lebih tertarik dengan hal yang berbau instan dan cepat. Maka tak heran pembuatan topeng yang dulunya memerlukan waktu yang lama sekarang bisa di buat dalam beberapa hari.
Padepokan, ketaatan pada laku leluhur dan kesetiaan menjaga kesenian Malangan ini lah yang membuat Ki Soleh di kenal luas oleh pemerhati kesenian wayang dan topeng. Hingga saat kini dirinya masih terus berkarya dalam kesenian Malangan. Ki Soleh yang memang mempunyai latar belakang akademis ini sudah beberapa kali melahirkan karya buku, dan kareografi gerak tari.
Terkait karya kareografi tari, Ki Soleh pernah di cekal di dalam negeri karena kareografi yang dirinya ciptakan, namun mendapat apresiasi yang luar biasa di luar negeri. Negara yang menerima tari dari kareografinya dalah Negara Jepang. “Tari uyek-uyek bisa tampil di Jepang, di Indonesia itu di larang,karena pakaian tarinya laksana wanita Madura yang ditali depannya dan memperlihatkan udel (puser)”.
Sebagai seniman yang melek pendidikan, Ki Soleh menjadi daya tarik sendiri bagi siapa saja yang ingin mempelajari kesenian malangan, khusunya topeng dan wayang malangan. Di buktikan dengan banyaknya warga asing yang mengasuh ilmu pada dirinya, tak terkecuali mantan istrinya yang merupakan warga Amerika. Ki Soleh mengaku, di tahun 1998 sang istri meninggalkan dirinya karena masalah dalam rumahtangganya. Selain pulang ke Amerika dengan kedua putranya mantan istrinya, juga membawa serta semua topeng yang di milikinya.
Diawal berpisah dengan istri yang keturunan Amerika, dirinya tidak mempunyai topeng lagi. Ditambah keadaan saat itu kesenian sedang redup, keadaan itu membuat dirinya mengalami kendala dalam mengumpulkan koleksi topeng untuk pertunjukan. Maka tak heran dirinya disaat “kepepet” ini dirinya bisa mengukir topeng. Ini lantaran sepinya pertunjukan dan ketiadaan dana untuk dirinya berkesenian. Dimasa sulit ini Ki Soleh makin menekuni topeng dengan langsung terjun sebagai pengukir yang dulunya tak pernah disentuh selama jadi dalang wayang topeng.
Sebagai seniman yang telah berulang kali tampil di banyak tempat dan lintas Negara, Ki Soleh merasa apresiasi dan keterlibatan pemerintah kepada seniman sangat kurang. Dirinya menuturkan, meskipun dirinya pernah merasakan bantuan dari pemerintah, tapi dirinya tidak puas karena dirasa bantuan tersebut tidak tepat sasaran. Dirinya kecewa saat pemerintah memaksakan bantuan untuk pebangunan Golpal (panggung terbuka) di Tumpang. Hal ini dirasa oleh dirinya sebagai bantuan yang mubazir dan hanya sebagai proyek pemerintah belaka.
Berdasar penuturan Ki Soleh saat proyek Pembangunan itu, di Tumpang sudah ada panggung terbuka, panggung teater dan itu terdapat di Padepokan Mangun Dharma. Dan lambat laun apa yang di katakana dirinya terbukti, panggung terbuka yang dibuat itu, sangat jarang di gunakan dalam kegiatan kesenian masyarakat. Dan beruntung padepokan Mangun Dharma dengan panggung yang tidak begitu besar namun terus geliat dengan suara gamelan dan hentakan kaki para penari. Padepokan Mangun Dharma terus mengepakan sampur untuk keluhuran seni budaya Malangan.
*Muhammad Nasai, penggerak budaya di Jawa Timur.