Pembukaan Pameran: Acap Mengagetkan, Sering Ugal-ugalan

Pameran Seni Rupa Berbagai Era – 6

Oleh Agus Dermawan T.

Ada pameran seni rupa yang out of the box (Baca BWCF edisi 31 Agustus 2024:“Pameran Seni Rupa Berbagai Era # 5 – Yang Membahagiakan, yang Menyedihkan, yang Horor, yang Humor”). Pada bagian lain ada acara pembukaan pameran tidak lazim yang menyebabkan orang mengucap astaghfirullah hal adzim! Mari kita membuka ingatan.

***

PADA MEDIO September 1978 Adi Munardi (1946-2000) berpameran di Taman Ismail Marzuki. Ia meminta arsitek Wisnu M. Ardjo untuk membuka pameran, dan penyair Ibrahim Sattah membacakan doa. Selesai berdoa, Ibrahim mengambil batu dari sakunya, dan segera dilemparkan dengan keras ke sebingkai lukisan berkaca. Pyaaar!!! Pecahlah kaca lukisan itu. Lalu Ibrahim berkata: “Doa sudah saya panjatkan. Batu sudah kulemparkan. Maka Saudara Wisnu, silakan membuka pameran!” Adi Munardi pucat pasi. 

Pada tahun 1981 Semsar Siahaan (1952-2005) membuka pamerannya dengan happening art. Acara itu ia juluki “Oleh-oleh dari Desa”, yang berupa pembakaran seonggok benda yang dibungkus daun, sampai jadi arang. Apa sebenarnya onggokan yang dibakar itu? Ternyata, patung karya Sunaryo yang berjudul “Citra Irian”. Patung kayu istimewa yang sudah dipamerkan di Jakarta, Bandung, New Delhi dan Fukuoka. Kasus “patung obong” ini pun jadi perkara besar. Semsar tentu bukan orang gila, karena ia menempuh pendidikan seni di Beograd -Yugoslavia, dan pernah jadi dosen tamu di beberapa negara.

Patung Sunaryo “Citra Irian”yang dibakar oleh Semsar Siahaan. (Sumber: Buku Sunaryo – Jagat Tanpa Sekat).

Semsar Siahaan membakar karyanya sendiri dalam acara pembukaan pameran. (Sumber: Semsar Siahaan).

**

Seperti menebus dosa, pada 1988 Semsar menyelenggarakan pameran di Bandung. Pada malam pembukaan pameran yang digelar pada malam penutupan (aneh, ya), Semsar bikin happening art: pembakaran atas ratusan karyanya sendiri. Gambar-gambar yang dipamerkan itu, yang dibikin di atas kertas dengan tinta hitam, dibakar selembar demi selembar di atas tungku. Sebelumnya karya-karya yang bagus itu dipamerkan di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, dalam juluk “Manubilis” (Manusia-binatang-iblis). 

Tiga tahun sebelumnya, pameran lukisan lembut halus karya Godod Sutejo (1953-2024) yang diselenggarakan di Mitra Budaya, Jakarta, 1985, dibuka dengan cara “menyeramkan”. Godod menyediakan kapak besar untuk memotong rangkaian melati yang harum, mungil dan putih. 

Tragedi Bagong, rejeki Petruk

Pada 1981 koreografer dan pelukis Bagong Kussudiardja (1928 – 2004) berpameran tunggal di TIM. Sekitar 40 lukisan digelar. Lukisan abstraksinya yang khas, segar, dengan sapuan kuas ekspresif memikat banyak pengamat. 

Pada malam pembukaan yang sederhana, tiga lukisan Bagong terjual. Lalu, pada menit-menit sebelum malam pembukaan ditutup, seorang lelaki parlente datang menjenguk. Beberapa kali ia berkeliling ruang pameran. Setelah puas menatap, lelaki itu menyatakan berminat atas 28 lukisan. Tentu saja Bagong terkesiap mendengar minat itu. Bagong bertanya, apa benar lelaki itu mau membeli 28 lukisannya?     

Si tamu mengatakan benar sebenar-benarnya. Konon lukisan itu akan dipajang di kantor baru, yang dibangun di kawasan Kuningan, Jakarta. Lelaki itu lalu menyodorkan kartu nama dan menuliskan alamat ke mana 28 lukisan itu dikirim. “Setelah selesai pameran, lukisan tolong dikirim. Nanti saya siapkan uangnya,” katanya.

Pada hari terakhir Bagong mengirim 28 lukisan dengan hati sangat gembira. Alamatnya, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Sesampai di alamat, pemilik rumah mengatakan bahwa itu adalah rumah Jenderal Abdul Haris Nasution. Dan Pak Jenderal tidak mengoleksi lukisan, dan tidak pernah berniat beli lukisan, apalagi dalam jumlah 28!

Bagong langsung tersadar, “pembelian” lukisan itu penipuan. Lukisan pun balik ke TIM. “Padahal, banyak kolektor tertarik untuk membeli lukisan-lukisan itu,” kata penerima ASEAN Awards 1987 itu dengan nada marah sekaligus sendu.

Atas tragedi ini Bagong dan sejumlah temannya menduga bahwa yang melakukan adalah oknum eks Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi yang dikendalikan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sudah dibubarkan pemerintah. “Sudah lama mereka benci sama saya, karena saya dianggap sebagai seniman yang terlalu bekerja untuk pemerintah yang memusuhi PKI,” katanya. Sampai Bagong wafat, dugaan itu tidak terbukti.

Bagong Kussudiardja. (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Permusuhan Bagong (pihak pemerintah) versus pelukis eks Lekra ini pada kemudian hari dilunakkan oleh aktor Butet Kartaredjasa, putra Bagong Kussudiardja. Syahdan Butet mendadak meminta ijin kepada Istana Kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung) untuk menyelenggarakan pameran (satu) lukisan karya Djoko Pekik, “Petruk Jadi Ratu, Semar Kusirnya” di dinding ruang utama Istana Presiden. Pekik adalah pelukis eks Lekra yang pernah dipenjara sebagai tahanan politik. 

“Pembukaan” (dalam tanda petik) ruang utama Istana yang memajang lukisan Pekik itu dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, yang kebetulan mampir ke Yogyakarta pada akhir 2019. Eh, rejeki datang ke Pekik! Lukisan selebar 5 meter tersebut dibeli oleh presiden atas nama negara, dan diproyeksikan untuk Istana Presiden di Ibu Kota Nusantara. 

Lukisan Djoko Pekik “Petruk Jadi Ratu, Semar Kusirnya” di ruang utama Istana Presiden Yogyakarta. (Sumber: Agus Dermawan T.

Butet Kartaredjasa, Presiden Joko Widodo dan Djoko Pekik di depan lukisan “Petruk Jadi Ratu, Semar Kusirnya” yang dipajang di ruang utama Istana Presiden Yogyakarta. (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Pembukaan dikepung intel 

Hermanus Hendrik Joel Ngantung, atau Henk Ngantung, kelahiran Bogor 1921, termasuk seniman kurang beruntung pada hari tuanya. Mantan Gubernur Jakarta tahun 1964-1965 ini pada kurun 1980-an pelan-pelan menderita kebutaan. 

Pada 29 November sampai 8 Desember 1991 ia memamerkan lukisan-lukisan masa lampaunya. Pameran diadakan di Galeri Jaya Ancol, Jakarta, dibuka oleh Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Namun pameran ini dicegat Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Bakin harus mengetahui siapa saja yang diundang pada malam pembukaan pameran. Pasalnya, Henk Ngantung dianggap pengikut tulen Sukarnoisme, ajaran sosial politik yang sedang dijauhi oleh pemerintah kala itu. Bakin kawatir malam pembukaan jadi ajang reuni para Sukarnois. Namun akhirnya pameran berhasil dibuka (dengan pengawasan intel), setelah mantan Gubernur Ali Sadikin mengeritik sikap pemerintah. 

Pelukis Henk Ngantung yang malang (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Kasus belum selesai! Baru berlangsung beberapa hari, pameran ini ditutup paksa oleh polisi. Alasannya tak jelas. Dalam kegelapan kebutaan, Henk sedih dan marah. Pada 12 Desember 1991 Henk Ngantung meninggal dunia. Keluarganya bilang, Henk sangat terpukul oleh sikap pemerintah yang semena-mena.

Masih di Galeri Jaya Ancol. Benny Moerdani, Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dikenal sebagai tentara yang berwajah keras dan tidak banyak omong. Pada tahun 1986 ia diminta membuka pameran seni rupa di galeri itu. Setelah prakata dari penyelenggara, tibalah Benny untuk bicara. Dengan langkah tegap Jenderal ini naik podium. Begitu berdiri di podium ia langsung berkata, “Dengan ini pameran saya buka!”. Beberapa detik kemudian ia berjalan menuju ruang pameran diikuti ratusan tamu.  

Atas hal itu sejumlah wartawan bertanya, “Kok Bapak tadi nggak memberi sepatah kata?” Benny Moerdani menjawab tegas, “Apakah yang saya ucapkan tadi bukan kata-kata?”. Ir. Ciputra yang ada di situ nampak tersenyum. “Itulah kalau serdadu yang buka. Langsung tembak. Dor!”

Pada akhir Desember 1985, pelukis Iman Dhipo Winoto (1950) menggelar demo melukis di atas kanvas 5.000 meter. Pembukaan acara itu diselenggarakan di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, dengan diiringi 200 penari. 

Pagelaran disambut oleh masyarakat, yang untuk menonton harus membeli tiket. Dalam acara itu Dhipo berguling-guling seperti orang kesurupan. Meraup cat dengan telapak tangan. Mencelupkan badan dalam genangan warna dan gulung-koming di kanvas. Mengumur cat untuk kemudian disemburkan. Bahkan Dhipo menggunakan helikopter untuk menuangkan catnya. Ia menjuluki acara ini “Pagelaran Seni Lukis Ekspresionisme 5.000 tanpa alat. Terpanjang di dunia!” 

Pembukaan banal ini ternyata menuai kritik. Selain karyanya dianggap tidak bermutu, promosi pagelaran itu sendiri dianggap mengelabui, seperti yang disimpulkan “Pengadilan Dhipo” di Bentara Budaya Yogyakarta, 4 Januari 1986. Para pengamat melihat bahwa kanvas yang dijanjikan 5.000 meter ternyata cuma 2.300 meter. Cat yang digunakan katanya 3.000 liter, ternyata cuma 30 kaleng, atau sekitar 250 kilogram saja. Acara pembukaan sensasional itu dianggap hanya untuk cari popularitas belaka. 

Dhipo mengaku sebagai alumnus Sekolah Tinggi Seni Rupa “Asri” Yogyakarta angkatan 1971, anggota Bengkel Teater pimpinan Rendra, dan pendiri Teater Dinasti. Pada tengah tahun 1990-an ada kabar ia meninggal karena keracunan cat. Namun berita ini diragukan.

Menyinggung seniman yang berguling-guling, pelukis fenomenal Nurkholis (1969-2011) juga melakukannya. Pada pembukaan pameran lukisan “Tiga Menguak Tabir” di Galeri Ina, Jakarta, Oktober 2000,  dengan tubuh telanjang Nurkholis bergulung-koming di kanvas yang dilumuri cat. Bercak cap seluruh bagian tubuhnya adalah visual lukisannya. Lukisan Nurkholis dinilai bermutu, dan laku.

Lukisan Nurkholis yang dicipta dari cap tubuhnya di kanvas. (Sumber: Agus Dermawan T)

Ketika senioritas jadi utama

Pada tahun 1986 pelukis senior Surabaya, Koempoel Sujatno (1912-1987) berpameran tunggal di Balai Pemuda, Surabaya. Ditulis dalam undangan bahwa yang membuka pameran adalah Amang Rahman, petinggi Dewan Kesenian Surabaya. Namun sampai pada waktunya, Amang mendadak merasa “rendah diri” dan sungkan dengan kesenioritasan Koempoel yang dianggap maestro. Maka Koempoel pun dimohon-mohon untuk menggunting pita pembukaan pamerannya sendiri. Bahkan untuk mengisi buku tamu, Koempoel juga dimohon menuliskan namanya sebagai tamu pertama. Sementara para petinggi Dewan Kesenian dan puluhan tamu beriring-iring di belakangnya. “Aneh memang, lucu memang. Tapi itu sangat spiritual,” kata Amang. 

Yang dimaksud spiritual itu begini. Waktu itu Koempoel sudah menderita kanker tenggorokan stadium gawat. Untuk melengkapi hidupnya, ia diminta pameran, membuka pameran, dan jadi tamu pertama acara pameran. Sehingga hidupnya lengkap sebelum ia pamitan. Dan benar, hampir setahun kemudian, 18 Agustus 1987, Koempoel wafat.

Pelukis Koempoel Sujatno yang menggunting pita pembukaan pameran tunggalnya sendiri di Balai Pemuda, Surabaya, 1986. (Sumber: Agus Dermawan T).

Pelukis Koempoel Sujatno yang mengisi buku tamu pameran tunggalnya sendiri, sebagai tamu pertama, di Balai Pemuda, Surabaya, 1986. (Sumber: Agus Dermawan T).

Lukisan Koempoel Sujatno yang artistik. Satu di antara 30.000 lukisannya yang dicipta. (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Pembukaan pameran tunggal anggota komite Dewan Kesenian Jakarta Sri Warso Wahono (1946) di TIM menyimpan kenangan tersendiri. Pasalnya, acara pembukaan pameran “Rampogan” yang digelar medio Juni 2009 itu menyematkan “kecelakaan”.

Pameran ini akan dibuka oleh Melani W. Setiawan, seorang pencinta seni. Beberapa menit sebelum acara dibuka, eh, Gubernur Jakarta Fauzi Bowo mendadak hadir. Melihat kenyataan ini panitia merasa tidak enak apabila Gubernur hanya diposisikan sebagai tamu. Dengan kesepakatan Melani, pameran dibuka oleh 2 orang: Melani dan Fauzi Bowo. Dari sini muncul masalah. Pembukaan pameran ini akan ditandai dengan pelepasan merpati putih. Dengan begitu, panitia harus punya dua merpati, sementara yang disiapkan hanya satu. Maka panitia, pada menit-menit terakhir harus buru-buru mencari seekor merpati lagi di pasar burung, yang sudah tutup. 

Sri Warso Wahono duduk di depan lukisannya. (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Dengan diiringi tepuk tangan, merpati lambang perdamaian itu digusah dan dilepaskan ke langit malam. Sial menghampiri. Sebelum terbang tinggi si merpati sempat buang hajat di tangan Melani. Dokter ahli ultrasonografi ini pun kelabakan. Apalagi ketika banyak tamu ingin menyalami. 

Leo Tolstoy, pemikir dan pengarang besar Rusia. (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Ujung kalam. Menulis kejadian kadang merupakan upaya memaknai peristiwa. Tapi, sungguh, tidak setiap peristiwa bisa berguna untuk sejarah. Karena itu tulisan ini jauh dari pretensi menyejarah. Apalagi ketika memahami ungkapan Leo Tolstoy (pengarang besar Rusia, 1828-1910): “Sejarawan itu seperti orang tuli yang terus menjawab pertanyaan yang tak seorang pun menanyakan.” ***

 

Agus Dermawan T. Kritikus. Penulis buku-buku budaya dan seni.