Puisi-Puisi Seno Joko Suyono

Di kompleks pemakaman tua
: untuk seorang guide leaders Batavia

“Jenasah-jenasah diarungkan dari Kali Krukut
Sampai depan pekuburan ini. Lalu kereta kuda akan menjemputnya,” katamu

Malaikat-malaikat pualam di pemakaman itu mengusap air mata mendengar kisahmu
Cherubin dari gereja terbang tertatih-tatih meloncat dari cabang ke cabang
Lalu jatuh sembari bergelayut nisan

Sore itu, kamu membawaku mencari simbol-simbol ini:
Daun akasia, mata ilahi, jangka, tengkorak, jam pasir, huruf G
“Lihat,” katamu menunjuk sebuah makam
“Ini pasti anggota tarekat persaudaraan,”

Udara lembab sore ini tak mengikis bau sangit yang asing
Waktu seakan surut kembali ke dunia rahasia loji-loji
Suara gaib orgel tua dengan pipa-pipa panjang dari depan Gambir terdengar sampai sini
Suara koor gabungan jamaah Calvinis maupun Lutheran tempo lalu terbawa angin hari ini

Aku menghalau pikiran masuk ke bekas ruang ordo
Tapi aku melihat bayangan diriku mengucapkan ikrar dan menerima pembaiatan
Seperti yang silam silam
Rapat-rapat tanpa dokumentasi, tanpa catatan dan notulensi
Apalagi jepretan Daguerreotype
Jadi, jangan potret silhuetku di depan lemari itu

Cukup pandanglah kode-kode dan isyaratku yang kini dimuseumkan

 

Selat Muria

Peraslah kesunyianku
Jangan bayangkan bagaimana airku mengering .Surut
Aku sendiri kaget
Dasar lautku tersingkap.
Perlahan menjadi kabupaten-kabupaten

Sultan Trenggana adalah saksi terakhir kapal-kapalku tak lagi bisa merapat
Kutenangkan badaiku saat Biku dari Kalingga bersiap di pelabuhan menuju ibu kota Tang
Tak perlu ia mendaras puja Tathagata menghadapi gelombang tinggi
Tak perlu ia membawa arca Buddha Dipankara
Laut biru kusepoikan sebagaimana saat Sunan Kudus menyebrang ke Demak

O ombakku, aku tak lagi menemukan gunungan cangkang-cangkang asin
O air bahku, hantu masa silam yang mengintai pemukiman-pemukiman kumuh
Tiada gunanya engkau mencariku di peta Portugis dan Belanda
Layar layarku pun sudah tak disimpan di arsip kota

 

Marka

Jangan melewati garis marka
Akan meraung pedih trumpet kerang sangkha bila kakimu melangkah seinci lagi
Mundur, mundur
Tapal suci tak boleh diterjang
Cukuplah menatap yoni itu dari batas aman

Jarak tatap ini telah dibuat para dewi dengan perhitungan-perhitungan
Bila kau patuh akan ada sensasi-sensasi membahagiakan terjadi
Seberkas cahaya jatuh di ubun-ubun
Melingkar-lingkar memberi perasaan hangat di dalam kepala

Jarak pandang ini adalah sebaik-baiknya tempat kau berdiri
Jangan guyah. Tunggulah dengan sabar dan tenang
Giliranmu akan tiba. Kau akan menyaksikan lanskap yang menakjubkan
Langit seakan turun membuat tirai biru di belakang yoni

Dan pelangi muncul membuat titian
Menghubungkan lembah satu ke lembah lain
Mengaitkan sonata satu dengan sonata lain
Membuatmu ingat kelahiran-kelahiramu terdahulu

 

Taman Kota

Jangan berbicara dengan orang asing
Teratai-teratai di kolam itu diselipi cctv
Akan terekam bagaimana kau bertanya arah
Sembari menunjuk nunjuk zebra cross di bawah lampu merah

Akan cepat terdeteksi oleh petugas : paspormu lama
Kewarganegaraanmu tak diakui karena ibu kotamu telah dipindah
Dan jas yang kau kenakan hanya sesekali kau pakai
Uang-uang yang kau bawa adalah uang yang telah anjlok nilai tukarnya

Duduk saja dengan rileks di bangku ini
Tak usah mengedipkan mata pada bayi-bayi lucu yang tergolek di kereta dorong
Jangan berpura-pura membaca buku Lonely Planet atau tour guide lain
Seolah-olah kau tersesat di kota ini dan akan meminta-minta perlindungan polisi

Amati burung-burung yang hijrah datang dan pergi
Burung-burung yang kau ingat pernah berkerumun di plaza luas sebuah masjid di Medinah saat musim dingin
Tapi jangan beri mereka remah-remah roti
Mata kamera tersembunyi diam-diam akan merekam dan mencurigai tindakanmu

Taman ini penuh jebakan
Air mancur terlihat seperti fountain jernih dari zaman Tsar
Namun sebenarnya airnya tak bisa diminum
Mungkin mengandung bakteri seperti kisah pemandian air panas di sebuah naskah drama

Nikmati hawa segar. Kabut dan embun yang menguap perlahan
Itu saja. Jangan terlalu banyak bergerak – , hingga menimbulkan perhatian
Gesturkulasi yang tak biasa – sedikit senam, menimbulkan prasangka tak semestinya.
Rapikan krah kemejamu. Jangan sampai kakek-kakek yang membaca koran pagi ini
Menyangkamu imigran dari sebuah negara yang terdera konflik

 

Wat Phou, Laos

Di siang yang membakar ini, selesailah tugas jalan setapak
Yang menuntunmu sampai ke sebuah reruntuhan candi kecil
Yang tak membuatmu ingin berlama-lama
Di lereng bukit, Siwa berkepala empat sudah tak ditahtakan semestinya

Kecuali mengatur nafas untuk turun kembali
Tak ada niatan merekam batu-batu berbentuk kepala binatang
Kau heran, melihat seorang anak muda Australia menjepretkan kamera tak henti-hentinya
Apa yang hendak dia kenang? Di tempat kering ini?
Sisa dupa yang tetap terbakar – di altar kosong itukah

Jalan setapak itu telah menunaikan kewajibanya
Ia mengantarmu trap demi trap
Ia menunjukkanmu arah ke punuk bukit lingga
Ia memilihkanmu tempat berbaring semilir yang membuat tenagamu pulih
Ia mengajarimu berjalan kaki tanpa membayangkan pos-pos istirahat
Ia mendidikmu memaknai lanskap

Bahkan bila tak ada angin, cafe dan museum kecil dekat loket pun ,
jalan setapak ini pasti membujukmu menyusuri – menyusuinya

 

Preah Vihear

Perlihatkan kepada kami bunker-bunker
Tempat para tentara Kamboja mengarahkan senapan ke wilayah Thailand
Bolehkah kami merunduk masuk?
Melihat lobang sempit tempat mereka mengintip
Memicingkan mata, sebelum menarik pelatuk?

Angin mengibaskan rambut kami.
Perlihatkan kepada kami kuil dan selasar ashram mana
Tempat para gerilyawan Polpot mundur – menyingkir
Sembari memperhatikan pemandangan ke bawah
Truk-truk tentara nasional menyisir mereka

Kami berjalan naik undakan dari samping memasuki gerbang yang runtuh
Kaki tangga curam ke bawah telah dipotong karena itu bagian teritori serdadu lain
Kami berjalan tak habis habisnya layer demi layer menuju inti di kejauhan
Punggung kami seolah memiliki mata,menatap horizon yang kami tinggal
Suara-suara tertawa ibu-ibu peziarah menyalakan hati untuk sampai

Langit di atas kami adalah langit tempat kaki dewa muncul dari langit
Dan lalu menjejakkan telapaknya di tanah luas ini
Rute ini adalah satu-satunya rute yang kami harus ikuti untuk melihat dewa turun
Gunung-gunung yang mengelilingi kami adalah saksi
Anak-anak peri pernah merayakan festival yang kini tak ada lagi

Kami adalah tamu yang ke sejuta kali datang
Namun tak pernah sedikit pun menangkap jejak dimensi demi dimensi yang kau maksud
Bahwa di zenith ini pernah yang agung, khidmat menggerakkan
leher, lutut, tungkai, jemarinya – menari sampai fajar

 

*Seno Joko Suyono, pernah kuliah di Fak Filsafat UGM, tinggal di Bekasi.