Westerling Dan Banality of Evil
“Apakah kamu Puang Side?”
“Benar Tuan”
“Dor!”
Westerling (dimainkan oleh Marwan Kenzari) dalam film De Oost besutan sutradara Belanda keturunan Ambon Jim Taihuttu tanpa basa basi langsung menembak begitu pemuda di Desa Lisoe, Sulawesi itu mengiyakan bahwa ia bernama Puang Side. Di desa lain, Depot Pasukan Khusus (Depot Speciale Troepen) pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling sama seperti yang mereka lakukan di Lisoe membakar rumah penduduk, memisahkan laki-laki dan perempuan di lapangan terbuka.
Westerling- di film itu di usianya 27 tahun di setiap desa – ditampilkan duduk tenang di sebuah kursi di belakang meja kayu. Ia membuka notesnya dan memanggil satu persatu nama-nama yang ada dalam daftar catatannya. Dan tanpa banyak cakap Westerling langsung menembak satu persatu di dahinya. Apakah Kamu Andi Patta? Dor! Apakah kamu Harun Lakajang? Dor! Apakah kamu Pua Palau? Dor! Tak ada ekpresi apa pun dari raut muka Westerling. Dingin. Di film itu diperlihatkan di sebuah desa – empat orang saudara disuruh maju bersama. Westerling memberi kode para serdadunya mengokang senapan. Dan langsung tanpa ba bi bu mereka memberondongkan tembakan ke tubuh empat gerilyawan itu.
Adegan sadis penembakan mati Westerling atas para gerilyawan di desa-desa Sulawesi selatan dalam film De Oost itu mengingatkan kita pada catatan-catatan mengerikan tindakan Westerling. Dalam catatan sejarah – berdasar data intelejen Westerling menyusuri desa-desa di Sulawesi Selatan untuk mencari gerilyawan-gerilyawan yang ia sebut ekstremis. Pada mereka Westerling akan membuat perhitungan pengadilan militer. “Teror harus dibalas dengan terror lebih kejam agar mereka kapok,”kata Westerling dalam film De Oost ketika diminta pendapatnya oleh elite pemerintahan militer Belanda di Jakarta. Operasi pembersihan para gerilyawan dan tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi dilaksanakan Westerling beberapa tahap .
Gelombang pertama dari 11 hingga Desember 1946 Westerling menyusuri desa-desa sekitar kota Makassar seperti Batua, Bolomboddong, Tanjung Bunga, dan Kalukuan. Setelah membantai para masyarakat di sana, tanpa istirahat terlalu lama – pasukan Westerling segera bergerak ke selatan Makassar lalu ke timur. Gelombang kedua 17 hingga 31 Desember 1946, mereka melakukan pembunuhan massal di Gowa, Takalar, Jeneponto, Polombangkeng, dan Binamu. Setelah itu mereka dari 2 hingga 16 Januari 1947 melakukan gelombang ketiga penembakan mati ribuan warga di Bantaeng, Gantaran, Bulukumba. Setelah di Bulukumba, mereka bergerak ke utara, Sinjai. Dari Sinjai, mereka bergerak ke daerah yang lebih utara lagi. Gelombang Keempat, dari 17 Januari hingga 5 Maret 1947 mereka melakukan pembantaian membabi buta di Maros, Pangkajene, Sigeri, Tanete, Barru, Pare-pare. Setelah Pare-pare mereka bergerak ke daerah-daerah yang kini masuk provinsi Sulawesi Barat (Polewali dan Mandar). Dari sana bergerak ke Sidenreng dan Rappan. Pembantaian juga terjadi di Suppa. Ratusan warga dibunuh. Termasuk Raja Suppa.
Dalam film memang hanya ditampilkan contoh dua desa yang para penduduknya dibantai. Film tidak menampilkan bagaimana pasukan Westerling menyebarkan teror dari Batua sampai Mandar, Rappang. Bagian awal film ini lebih banyak bercerita mengenai riwayat Johan de Vries (dimainkan Martijn Lakemeier), seorang serdadu Belanda yang ditugaskan di Semarang kemudian direkrut oleh Westerling untuk ikut dalam timnya di Sulawesi. Johan yang selama di Semarang mengagumi Westerling, saat terlibat pembantaian di Sulawesi kemudian membelot –karena ia tak mau melaksanakan perintah Westerling untuk menembak seorang warga desa. Memang film ini menggunakan resep Holywood yang klise. Di bagian awal misalnya diperlihatkan hubungan Johan dengan seorang pelacur – sebagai pemanis sisi sensual film. Juga porsi besar film ini di awal dialokasikan untuk menggambarkan bagaimana serdadu-serdadu culun Belanda itu beradaptasi dengan suasana persawahan dan iklim panas tropik. Tapi toh film ini cukup menyengat di negri Belanda. Film ini membangunkan isu lama yang sudah terkubur dan sudah dianggap “selesai” karena Westerling sendiri sudah wafat.
Mentri Pertahanan Belanda Ank Bijleveld di twitter mencuit bahwa film ini menimbulkan keresahan bagi para veteran perang dan pensiunan militer di Belanda yang pernah bertugas di Indonesia. Sementara Palmyra Westerling, putri bungu Westerling mengatakan film De Oost terlalu sensasional menampilkan ayahnya sebagai algojo. Baginya sosok sang ayah adalah sosok perwira militer penuh integritas karena yang dia lakukan semata-mata menjalankan tugas kemiliteran. Dia menulis surat terbuka menyerukan pemboikotan film De Oost. Pada titik ini Westerling menampilkan dua perspektif. Dari pihak Belanda, Westerling sering dianggap sebagai salah satu perwira yang sukses menumpas gangguan-gangguan liar para ekstremis. Dari pihak Indonesia, Westerling adalah seorang kriminalitas perang. Pernah beberapa LSM di Belanda berusaha menyerukan agar Westerling diadili dan parlemen membentuk pansus parlemen – memeriksa apakah benar ada kejahatan perang yang dilakukan Westerling. Kasus pengajuan Westerling memang pernah masuk ke pengadilan tapi kemudian ditolak. Kandas. Dan pemerintah serta dewan menteri Belanda setelah itu tidak mau membuka lagi perkara dia.
Film ini membangunkan lagi isyu lama. Agaknya diperlukan dua generasi untuk membangkitkan isyu lagi ini. Dan isyu ini justru lahir dari seoang anak muda sutradara keturunan Ambon di Belanda yang kakeknya pernah menjadi serdadu KNIL. Sebagaimana diketahui jumlah korban pembunuhan Westerling simpang siur. Apakah mencapai skala ribuan, puluhan ribu atau berapa. Paling tidak ada dua wartawan senior Indonesia, Salim Said dan Panda Nababan – yang pernah bertemu dan mewawancarai langsung Westerling (saat Westerling masih hidup) di Belanda. Kepada Westerling – keduanya bertanya mengenai pembantaian itu. Westerling mengakui bahwa ia melakukan pembunuhan, tapi tak sampai mencapai puluhan ribu orang. Menurut versi Westerling ia melakukan pembantaian sekitar 4000 an orang. Kepada kedua wartawan itu, Westerling menyatakan bahwa tindakan yang dilakukannya saat itu adalah tindakan dalam suasana darurat perang dan merupakan tuntutan perang. Kepada keduanya Westerling tetap merasa tak bersalah. Tak terbersit pun rasa penyesalan di wajah Westerling.
Kebrutalan Westerling bukan hanya di Sulawesi. Sejarah mencatat – ia juga pernah ingin mendirikan negara Pasundan karena tidak menyukai pemerintahan Soekarno. Pada 23 Januari 1950, ia dengan pasukan yang dinamainya: Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) berkekuatan sekira 523 orang, 300 diantaranya anggota KL (Koninklijk Leger, Tentara Kerajaan) menyerang markas Divisi Siliwangi di Bandung. Westerling saat itu terlihat memiliki obsesi mendirikan sebuah negara di luar pemerintahan sah Soekarno. Entah kenapa dia begitu membenci Soekarno. Berkaitan dengan ini menarik bila kita baca kesaksian Panda Nababan saat menemui Westerling saat ia masih hidup. “Sebelum wawancara pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Westerling ke saya adalah: Kamu dari suku Jawa atau tidak? Saya tidak suka bicara dengan orang Jawa. Kalau kamu orang Jawa, saya tidak mau diinterviu. Saya benci Soekarno. Soekarno ini orang Jawa. Sebenarnya saya punya banyak kesempatan membunuh Soekarno. Tapi saya tak mau membunuh dia. Nanti dia menjadi martir,” kenang Panda dalam buku Panda Nababan : Menembus Fakta: Otobiografi 30 tahun seorang Wartawan
Kasus Westerling sendiri mengingatkan kita pada buku filsuf Hannah Arendt: Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil yang terbit tahun 1963. Dalam buku itu, Arendt menceritakan kisah Adolf Eichmann seorang bekas perwira SS Nazi. Dia salah satu otak pembantaian Yahudi. Dia hidup bebas paska perang. Tetapi kemudian pihak intelejen Israel melacak tempat tinggal Eichmann dan akhirnya mampu menangkap Adolf Eichmann. Eichmaan diajukan ke pengadilan dengan 15 tuduhan termasuk sebagai kriminal perang dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam pengadilan dia tak mengingkari perannya dalam holocaust atau pembantaian Yahudi – tapi dia menyatakan bahwa apa yang dia lakukan adalah semata-mata karena perintah. Sikap inilah yang disebut oleh Hannah Arrendt sebagai sebuah banality of evil. Meski Adolf Eickmann sendiri akhirnya dihukum gantung pada tahun 1962- Arrendt yang mengikuti proses pengadilan Eichmann agaknya tak habis pikir bagaimana mungkin Eichmann tetap merasa tak bersalah dan tak menyesal. Bagaimana mungkin Eichmann berdalih semua itu semata-mata karena dia menjalankan perintah atasan.
Bagian terakhir film De Oost ditampilkan – saat Westerling sudah pulang ke Belanda, ia berprofesi sebagai penyanyi opera. Memang di Belanda dalam kenyataannya Westerling setelah undur dari dunia kemiliteran pernah mencari nafkah dengan menjadi penyanyi opera. Di film sendiri diperlihatkan semenjak di Semarang, Westerling suka memutar piringan-piringan hitam Verdi, Puccini dan sebagainya. Di akhir cerita De Oost, disajikan Johan de Vries menunggu Westerling di kamar rias. Ia menembak mantan kaptennya itu. Sebelum ia sendiri akhirnya bunuh diri dengan meletupkan pestol di mulutnya. Mereka tewas bersama. Jelas ini sebuah fiksi. Karena Westerling aslinya mati tenang di sebuah kota kecil di Belanda. Tanpa ada yang memburu-buru dan menuntut kriminalitasnya. Apalagi mampu menyeretnya ke Mahkamah Internasional. Pembantaian yang dilakukan Westerling itu adalah pembantaian saat Indonesia sudah merdeka. Artinya sama sekali tak ada alasan yang dilakukannya itu adalah untuk menumpas para pembuat onar. Indonesia saat itu sudah berdaulat. Kejahatannya adalah kejahatan internasional. Betapapun ending film ini sebuah fiksi,film ini mampu membuat kita merenungkan kembali mengenai sebuah Banality of Evil yang lain.
——©BWCF2021-----