Cap Go Meh : Mengenang Sudjojono dan Basuki Resobowo
Malam tadi – tanggal 15 Februari 2022, umat Tionghoa merayakan Cap Go Meh. Tidak ada festival dan perayaan berlebihan menyambut Cap Go Meh kali ini. Lampion-lampion merah memang digelar di sudut-sudut jalan tertentu, Pecinan dan mall-mall. Serta acara-acara tradisional keluarga tetap dilakukan di rumah-rumah warga Tionghoa. Namun tidak terdapat kesukariaan pesta-pesta jalanan. Liong-liong, barongsai, naga-naga tak banyak muncul dari klenteng-klenteng. Pandemi membuat semua mengendalikan diri. Dan Cap Go Meh yang biasanya selalu ramai – mendapat pemaknaan baru. Ledakan kesukariaan itu lebih diolah ke dalam diri.
Cap Go Meh, kita ketahui merupakan penutup dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek. Secara harfiah dalam dialek Hokkien, “Cap Go” berarti lima belas. “Meh” artinya malam. Hari Cap Go Meh memang selalu dirayakan lima belas hari setelah perayaan Imlek. Cap Go Meh sesungguhnya adalah hari syukuran. Para ahli mengatakan Cap Go meh sebetulnya dahulu juga adalah perayaan menyambut musim semi. Ungkapan rasa terima kasih atas keberhasilan panen sebelumnya dan doa agar panen di musim berikutnya akan berhasil. Maka dari itulah Cap Go Meh menjadi puncak perayaan rangkaian Imlek.
Di banyak kota di Indonesia, biasanya karnaval-karnaval Cap Go Meh selalu bisa menyedot ribuan penonton. Di Singkawang, Kalimantan barat saat Cap Go Meh terkenal dengan arak-arakan Tatung. Tatung adalah seorang yang kerasukan roh-roh dewa tertentu dan kemudian berkelakuan meniru roh dewa yang masuk. Singkawang adalah kota yang masih memiliki tradisi pawai Tatung. Ratusan Tatung akan muncul dari klenteng-klenteng saat hari Cap Go Meh tiba. Dan kebanyakan Tatung di Singkawang kerasukan dewa perang. Itulah sebabnya saat para Tatung di Singkawang pada hari Cap Go Meh melakukan karnaval mereka mendemonstrasikan atraksi-atraksi bahwa mereka kebal. Mereka mengiris-ngiris lidah mereka dengan pedang atau menyayat-nyayatkan parang ke tangan mereka, tapi tak ada yang terluka.
Di Sulawesi Utara juga, pada Cap Go Meh lenteng-klenteng akan menurunkan para Tang Sin (sebutan lain untuk Tatung) yang mereka miliki. Atraksi-atraksi ini dipadukan dengan budaya lokal Minahasa. Dan pasti yang menonton jumlahnya ribuan. Di Jakarta pun – saat Cap Go Meh dari klenteng-klenteng yang ada di Glodok akan ada arak-arakan yang berjalan sampai sekitar Taman Fatahilah. Dalam arak-arakan ini beberapa tandu atau joli akan diusung ramai-ramai oleh anggota kenteng dan warganya. Joli adalah miniatur klenteng (Miao, Bio). Di dalam sebuah joli dipercaya terdapat Jinshen atau Kimsin atau Shen Ming yang merupakan roh suci. Itulah sebabnya saat sebuah joli diarak, banyak warga Tionghoa yang berebutan berusaha mencium atau memberikan penghormatan kepada joli.
Mengingat keramaian Cap Go Meh, dalam dunia kesenian kita, kita segera teringat dua perupa: Sudjodjono dan Basuki Resobowo. Keduanya melukis Cap Go Meh. Keduanya kerakyatan. Keduanya menolak mempresentasikan panorama Indonesia atau Hindia molek dalam kanvasnya. Keduanya terlibat dalam Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di akhir tahun 1930. Dan bagian dari komunitas SIM (Seniman Indonesia Muda) di pertengahan tahun 1940. Keduanya bukan jenis seniman yang bebas nilai, keduanya berpihak.
Sudjojono membuat lukisan Cap Go Meh tahun 1940. Ia memotret keramaian masyarakat tumpah ruah berjejal di sebuah jalan saat Cap Go Meh berlangsung. Gaya melukis Sudjojono terlihat spontanitas. Ia seolah mengeluarkan naluri naivisme dalam dirinya – menumpahkan rasa kanak-kanak, rasa bermain-main yang penuh parodi dan meluap-luap dalam dirinya. Sosok-sosok yang ditampilkan dalam kanvas tampak deformatif. Namun terasa komikal, cenderung grosteque. Orang-orang yang ada dalam kanvas tersebut tampak berjejalan namun sama-sama saling meliuk, bergoyang, bersenggolan satu sama lain. Semua itu disajikan Sudjojono dalam komposisi yang enak. Lukisannya warna-warni tapi semuanya dalam suatu kesatuan nada yang utuh. Sebuah ekpresionisme yang jago.
Yang menjadi sosok utama dalam lukisan Cap Go Meh Sudjojono adalah peristiwa “ngibing bersama.” Seseorang sinden atau mungkin penari tayub dikelilingi oleh tiga laki-laki. Perempuan mengenakan kebaya hijau. Wajahnya pupuran putih tebal dan bibirnya dilapisi lipstik merah menor. Sementara di sebelah kanannya terdapat lelaki bertopeng. Lelaki tersebut tampak tengah agresif menari. Tangan laki-laki bertopeng itu menggamit tangan kanan sang perempuan dan mungkin meremas tangannya. Di sebelah kiri perempuan tersebut, ada sosok laki-laki kepala botak – yang mengesankan seorang bos kantoran. Ia mengenakan dasi-mengenakan pantalon, sepatu licin. Ia membawa sebuah koper. Ia tampak riang dan sepertinya juga ingin mendesakkan tubuhnya ke tubuh penari tayub itu. Di samping “bos” itu ada lelaki lain yang tampak juga “bernafsu” ingin ngibing dekat dengan sang perempuan. Lelaki itu mengenakan topeng binatang yang memiliki moncong panjang seperti cakil.
Ketiga bapak-bapak itu seolah ingin meraih, merangkul sang penari tayub. Yang menarik di dekat mereka, Sudjojono menampilkan “sosok aneh”. Sosok itu –seperti anak kecil. Tubuhnya agak gemuk, pendek dan mengenakan “celana monyet”. Sosok itu seperti sosok cebol, kerdil. Atau bahkan bisa jadi itu dimaksudkan oleh Sudjojono sosok seorang – maaf down syndrome atau mungkin idiot. Sosok ini seolah terpaku, termangu-mangu – tak mengerti melihat mengapa bapak-bapak itu berusaha menari, merangsek ke arah perempuan.
Di belakang adegan utama itu, Sudjojono menampilkan massa riuh berdesak-desakan. Ada yang berkaca mata hitam, ada yang memakai topi caping, gaya mereka beragam. Namun satu yang terasa: mereka semua bergerak, bergerak riang. Di tangan Sudjojono, Cap Go Meh adalah perayaan bersama masyarakat penuh parodi. Rakyat kecil, pegawai kantoran, bos-bos, seniman pertunjukan jalanan, jathilan, tayub semua tumpek bleg – menjadi satu.
Pada Basuki Resobowo – Cap Go Meh juga tampak disajikan sebagai sebuah perayaan yang penuh pembauran. Dalam kanvas Basuki –ditampilkan arak-arakan naga atau liong di malam purnama. Di sekitar naga yang panjang itu, Basuki menampilkan orang-orang berjajar. Mereka mungkin dimaksudkan Basuki sebagai bagian seniman, pemain musik, penari yang meramaikan dan mendukung arak-arakan liong atau naga tersebut. Adalah menarik mengamati bahwa mereka memakai kerudung, berbelit sarung, berkopiah, menggunakan baju kemeja putih. Jelas mereka masyarakat pribumi – entah Betawi atau apa –yang muslim.
Sebagaimana Sudjojono, sosok-sosok yang ditampilkan Basuki di depan adalah sosok perempuan menari yang dikelilingi para pria. Namun berbeda dengan Sudjojono, busana dan khazanah tradisi yang ditampilkan Basuki tampak bertolak dari tradisi muslim. Seorang ibu berkebaya merah berselendang tampak memainkan selendang- sebagai sampurnya. Yang menarik bila kita amati mulut ibu itu ditutupi secarik kain. Penutup memwajah itu bukan jilbab atau cadar. Tapi penutup itu mengingatkan kita pada ilustrasi-ilustrasi penutup muka perempuan-perempuan di hikayat Arab: Seribu Satu Malam.
Di belakang ibu berkebaya merah itu lebih menarik lagi. Seorang lelaki berkacamata hitam, bertelanjang dada dan mengenakan rok tengah menari. Kita menduga-duga inspirasi laki-laki tegap mengenakan semacam rok putih itu diambil Basuki dari tradisi seni pertunjukan apa. Di sebelah kiri sang ibu itu juga terdapat lelaki berkacamata hitam, berkemeja putih dengan posisi bergerak setengah bungkuk merespon gerakan ibu. Di sekeliling tiga sosok yang utama ini Basuki menggambarkan pasangan-pasangan lain. Yang lelaki mengenakan kacamata hitam dan yang perempuan mengenakan penutup muka “Seribu Satu Malam” seperti yang dipakai perempuan berkebaya merah.
Ada tulisan ditorehkan Basuki di lukisan Cap Go Meh itu. Bunyinya: Capgomeh, karnaval massa rakyat, 15 hari setelah Imlek. Jengge, Liong, Iring-iringan, Mayor Cina punya bikinan, Kaya miskin arak-arakan, Buang sial pelesiran, Di bawah sinar rembulan gede, Kita punya berame rame.
Lukisan Basuki itu sekarang dikoleksi oleh Bentara Budaya Jakarta. Lukisan itu dibuat Basuki tahun 1990 sebagai seorang eksil yang menetap sendirian di Amsterdam, Belanda. Pada tahun 1965 –saat di tanah air terjadi peristiwa 30 September, ia tengah berada di Tiongkok. Ia saat itu diutus Lekra mengedit film dokumenter: Jayalah partai dan Negri. Basuki saat itu selain perupa juga dikenal a terlibat aktif dalam dunia film sebagai penata artistik. Dia pernah menangani artistik film Usmar ismail sampai Djadoeg Djajakusuma. Mendengar terjadinya peristiwa yang tak menentu di tanah air, Basuki memutuskan tak balik. Ia lalu memutuskan tinggal di kamp eksil Indonesia di wilayah Nanjing untuk beberapa tahun. Pada tahun 1972 ia mendapat suaka politik di Jerman dan mendapat kewarganegaraan Jerman. Ia lama bermukim di Jerman. Selama di Jerman ia juga bolak balik ke Belanda. Basuki lalu menyewa sebuah flat di Belanda. Basuki kemudian memilih tinggal di Belanda.
Flat-flat yang pernah ditinggali Basuki di Belanda semuanya terletak di kawasan Amsterdam Timur. Pertama, di daerah bersahaja Indische Buurt (daerah Hindia Belanda). Di kawasan ini banyak nama jalan diambil dari nama tempat di Indonesia. Kedua di Riouwstraat (jalan Riau). Seseorang seniman yang pernah diajak almarhum Rendra mengunjungi Basuki di Amsterdam mengatakan ukuran ruangan flat Basuki sangat kecil. Dan di situ bertumpukan buku-buku dan kanvas-kanvas. Flat itu demikian pengap dan bau campuran kanvas dan buku-buku tua, kursi dan kasur lama sangat terasa. Bahkan terlihat tak ada pemanas ruangan dalam flat “kumuh” Basuki —sehingga bisa dibayangkan bila musim salju datang – hawa dingin jekut akan menyergap ke ruangan. Seorang seniman lain mengatakan di dinding kamar Basuki itu tertera tulisan dalam bahasa Perancis: La Vie et la Misere yang kira-kira berarti : Hidup adalah penderitaan.
Di Belanda, Basuki tapi tak pernah diam. Ia selalu memantau isyu-isyu HAM. Dia menjadi editor majalah Demi Demokrasi dan bergabung di banyak grup seperti Front Demokrasi Indonesia. Ia aktif berpatisipasi di Komitee Indonesië, kelompok aktivis di Belanda yang peduli akan pelanggaran HAM di Indonesia, termasukdi Timor dan Papua. Basuki dan rekan-rekannya Komitee Indonesië kerap berkumpul – berkantor di jalan Minahasa.
Bersama Komitee Indonesië, Basuki kerap melakukan aksi-aksi. Pada 5 Juni 1982 saat Komitee Indonesië misalnya di kompleks Universiteit van Amsterdam menggelar aksi Handel in Onderdrukking (perdagangan penindasan) menentang jual-beli senjata antara Belanda dan Indonesia, Basuki terlibat. Basuki membuat poster, lukisan, dan sketsa untuk aksi. Selama di Belanda, Basuki sempat menggelar pameran lukisan. Ia menyuguhkan 35 karyanya dalam pameran tunggal, termasuk lukisan potret penyair W.S. Rendra
Dua tahun terakhir hidup Basuki Resobowo di Amsterdam dia lewatkan di rumah jompo Amstelhof dipusat kota Amsterdam. Rumah jompo – tempat pemukiman terakhir Basuki ini sekarang seperti pernah dilaporkan Majalah Tempo sudah tak ada – karena oleh pemerintah Amsterdam dirombak menjadi Museum Hermitage, yang merupakan cabang dari Museum Hermitage di St Petersburg, Rusia. Di rumah jompo – yang sekarang tidak ada lagi itulah Basuki meninggal pada 4 Januari 1999. Dan ternyata Basuki tidak dimakamkam. Jenasah Basuki dikremasi.
“Ratusan orang, tua dan muda,datang ke kremasi Basuki,” begitu bunyi tulisan obituari berjudul: Basuki Resobowo, a man against the stream yang ditulis di buletin aktivis Tapol no 152 Mei 1999. Banyak sesama eksil 1965 dari negara Eropa lain seperti Jerman, Swedia, dan Prancis – datang berkabung, mengucapkan pamitan terakhir dengan Basuki di kompleks pemakaman Westgaarde di barat kota Amsterdam. “Pada saat saya diajak Rendra mengunjungi Basuki di Amsterdam, Basuki mengatakan kepada Rendra bahwa ia ingin saat meninggal jenasahnya dibakar, dikremasi. Mungkin Rendra yang kemudian memberi tahu anak Basuki yang ada di Jakarta,” kata perupa yang pernah diajak Rendra menyambangi Basuki itu.
Dalam lukisan Sudjojono dan Basuki Resobowo- kita melihat Cap Go Meh begitu meriah dan hangat. Mereka memotret suasana kerakyatan dan keragaman yang merupakan batin keIndonesiaan. Malam tadi Cap Go Meh sepi lantaran Omicron masih mengganas. Namun itu tak membuat semangat pluralisme dan kejelataan yang terkandung dalam Cap Go Meh hilang .
Cap Go Meh di Indonesia lain dengan di Cina. Cap Go Meh di Indonesia sudah sangat membumi dan mengalami akulturasi. Lontong Cap Go Meh adalah contoh betapa sudah mengakarnya Cap Go Meh. Beberapa tahun lalu saat Cap Go Meh berlangsung, sebuah vihara di Malang misal menyediakan ribuan lontong Cap Go Meh di halaman vihara dan open house menyilakan masyarakat siapapun datang untuk bersama-sama menikmati hidangan.
Tukang becak, sopir angkutan, warga RT/RW setempat, sanak saudara pengurus klenteng, hansip, tukang parkir dan lain-lain – semua lapisan rakyat jelata yang menjadi spirit Basuki Resobowo dan Sudjojono dalam lukisan-lukisan mereka – berbaur menikmati lontong. Sungguh suatu bentuk toleransi yang luar biasa. Kini pandemi belum selesai. Kita harus menahan diri untuk merayakan Cap Go Meh dengan karnaval besar-besaran. Liong, naga, barongsai itu tidak tumpah ruah di jalanan namun menggeliat, menguat dalam diri dan menggembirakan hati.
----BWCF2022----