Sukuh Cetho dan Tawa Batu Pada Surga

 Oleh M. Wildan*

1.

Ada batu-batu bertumpuk di lereng barat Gunung Lawu yang tertawa kepada langit. Mereka bukan reruntuhan. Mereka adalah penghujat yang tenang.

Candi Sukuh tidak meminta disembah. Ia tidak mendongak ke surga, tidak pula merunduk ke neraka. Ia berdiri terpotong, ganjil, cabul bagi mata yang terbiasa pada sopan santun moral. Di ambangnya: phallus dan vulva. Bukan pornografi, bukan sakramental. Tapi pengakuan kehidupan bermula dari keberanian tubuh untuk tidak malu.

Dalam dunia di mana dewa-dewa dijinakkan oleh moral, Sukuh adalah pengingat bahwa sebelum Tuhan diciptakan, manusia lebih jujur kepada alam dan kepada ketakutannya sendiri. Di sana, dewa bukan ide. Ia adalah raksasa, bayangan, amarah, kesuburan. Dewa yang bisa ditertawakan, atau ditiduri.

Nietzsche menulis: “Gott ist tot.” Di Sukuh, barangkali Tuhan belum sempat lahir sebagai wujud moral. Di sana, Tuhan adalah leluhur yang masih berdarah, belum menjadi konsep. Mereka menampakkan diri dalam bentuk Garuda yang mencengkeram makhluk, atau Ganesha yang menempa dunia dengan tangan bertangan. Tak ada kemurnian. Yang ada adalah kekuatan.

Candi Sukuh dibangun bukan untuk menyelamatkan jiwa. Ia dibangun untuk mendamaikan manusia dengan nalurinya, dengan tubuhnya, dengan tanah yang menelannya. Dalam relief-reliefnya, saya melihat bukan agama, tapi pengakuan akan tragedi. Dan dalam pengakuan itu, ada kekuatan: kekuatan untuk menertawakan kematian, untuk menari di atas jurang.

Kalian yang mencari makna abadi, jangan datang ke Sukuh. Yang kalian temui bukan surga, tapi ketelanjangan, ketelanjangan jiwa yang tak ingin dilindungi oleh dogma. Di Sukuh, tidak ada “kebaikan” dalam arti agama. Yang ada adalah keberanian untuk melihat hidup tanpa selubung.

Dan mungkin itulah mengapa candi ini disingkirkan dari khazanah agung. Karena ia tidak agung. Ia jujur. Ia bukan monumen bagi kekuasaan, tetapi bagi perlawanan sunyi terhadap ilusi metafisik.

Nietzsche akan tersenyum melihat Sukuh: karena di sana, ‘Ubermensch’ bukan sosok super, tetapi mereka yang berani hidup tanpa ilusi, tanpa surga, tanpa dosa. Hanya tanah, tubuh, dan kemungkinan untuk mencipta makna dari kehampaan.

2.

Candi Sukuh bukan tempat sembahyang. Ia adalah panggung perayaan dan seperti Dionysos, ia mabuk, ia menari, ia merobek selubung kepalsuan yang disebut kesucian.

Di kaki Lawu, ketika kabut belum sempat menetap, Sukuh muncul bukan sebagai kuil, tetapi sebagai jeritan tanah yang minta diperkosa oleh langit. Di gerbangnya: phallus dan vulva. Simbol kehidupan, ya, tapi lebih dari itu: simbol kekacauan kosmis yang kreatif. Bukan cinta, bukan kasih, tapi nafsu purba yang menyembur dari lubuk kehendak untuk hidup.

Nietzsche membedakan antara yang Apollonian dan yang Dionysian. Apollonian adalah ketertiban, batas, formasi, moral. Dionysian adalah kegilaan, ekstasi, kehancuran yang melahirkan kembali. Sukuh tidak dibangun oleh pemuja Apollo. Ia dilahirkan oleh roh Dionysos yaitu roh yang tahu bahwa hidup bukanlah ketertiban, melainkan pesta yang banal, liar, dan tak mengenal malu.

Relief Ganesha yang berdiri satu kaki di tengah bengkel bukan alegori, tapi gambaran tuhan yang mabuk kuasa, tuhan yang menempa semesta sambil menertawakan kematiannya sendiri. Garuda mencengkeram gajah dan kura-kura bukan demi mitos, tapi demi penghancuran batas antara makhluk dan dewa. Di sini, yang ilahi tidak menjauh. Dia masuk ke dalam tubuh, ke dalam tawa, ke dalam peluh.

Sukuh adalah tubuh. Adalah tanah. Adalah penderitaan yang tak butuh pengampunan, tapi penegasan. Seperti kata Nietzsche: “Say yes to life, even in its strangest and most painful aspects.” Sukuh mengiyakan hidup bahkan ketika hidup berdarah, bahkan ketika hidup dilahirkan dari luka. Ia berkata: tidak ada keselamatan, yang ada adalah tarian.

Dan barangkali itu yang membuat kita takut. Kita yang sibuk membingkai hidup dengan aturan, norma, dan janji surga, tak siap melihat bahwa Sukuh tak menjanjikan apa pun kecuali kejujuran tubuh dan absurditas roh.

Di Sukuh, tidak ada kebangkitan. Tapi ada kesuburan. Tidak ada moralitas. Tapi ada kekuatan. Tidak ada dogma. Tapi ada kegilaan yang menyembuhkan, karena ia menolak berpura-pura.

Inilah Dionysian Jawa: bukan dewa anggur, tapi dewa lumpur dan mani, dewa badai dan bisu yang melahirkan sukacita dari kehancuran. Dan Sukuh adalah kuilnya atau lebih tepat: tempat pestanya yang tak pernah selesai.

3.

Jika Sukuh adalah tawa liar tanah yang mabuk dan tak tahu arah, maka Cetha adalah bisikan bening air yang mencoba menenangkan gemuruh. Ia hadir seperti Apollon di panggung tragedi: memberi bentuk pada kegilaan, bingkai bagi yang liar, terang bagi yang terlalu gelap.

Dibangun setelah Sukuh, di ketinggian yang lebih sepi dan lebih sunyi, Cetha tampak lebih “rapi”. Tak ada phallus yang terbuka, tak ada vagina yang menatap pengunjung di gerbang. Relief di Cetha lebih sopan, lebih simbolik, lebih menyiratkan, bukan menantang. Ia seperti tubuh yang telah diajari malu.

Nietzsche menulis bahwa seni lahir dari ketegangan antara dua dorongan purba: Apollonian dan Dionysian. Dionysos menghancurkan batas, Apollon mendirikannya. Dionysos adalah musik, ekstasi, amarah, kelahiran dan kematian dalam satu napas. Apollon adalah mimpi, harmoni, bentuk, pengukuhan. Dalam dinamika itulah seni dan makna muncul dan mungkin, begitu pula jiwa Jawa menjelang keruntuhan Majapahit.

Cetha tidak menolak Dionysos. Ia mencoba mengatur arusnya. Sukuh meledak. Cetha mengendap. Di Cetha kita menemukan lingga besar, binatang-binatang totemik, dan simbol-simbol geometris yang misterius, tapi semua ditata, disusun, dimapankan dalam bentuk-bentuk ritual yang tak lagi liar, melainkan tertib. Di sana, amarah telah dijinakkan, ekstasi telah ditata menjadi upacara.

Dan inilah paradoksnya: ketika Dionysos meledak, Apollon akan datang tidak untuk menaklukkan, tapi untuk menyembuhkan. Tapi kadang, dalam penyembuhan itu, roh kehilangan darahnya. Ia jadi tenang, tapi tumpul. Cetha adalah bentuk yang berhasil dan karenanya, ia mulai mati perlahan.

Dalam dunia yang mulai tunduk pada agama monoteis yang lebih menuntut keteraturan kosmologis dan moralitas linear, Cetha adalah kompromi terakhir antara kegilaan lama dan ketenangan baru. Ia adalah titik tengah sebelum Jawa kehilangan teater magisnya dan masuk ke dalam teks, fiqh, dan adab.

Nietzsche tahu: ketika Dionysos dikekang terlalu lama, yang lahir bukan ketenangan, tapi kekosongan. Cetha menyimpan kekosongan itu, ia berdiri anggun, tapi seperti cangkang setelah isinya menguap.

Maka, jika Sukuh adalah darah, Cetha adalah daging. Jika Sukuh menjerit, Cetha bergumam. Keduanya satu tubuh, satu napas dalam sejarah. Tapi hanya satu yang masih mengguncang. Yang satu dibaca, yang lain dihirup.

4.

Ketika Islam datang ke Jawa, ia datang bukan sebagai Dionysos. Ia datang sebagai Apollon—pembawa bentuk, hukum, keteraturan, dan terang akal yang percaya pada satu kebenaran. Ia menolak ambiguity, menyapu altar leluhur dengan mihrab yang menghadap satu kiblat. Ia bukan dunia bayang-bayang. Ia adalah firman yang tegas.

Dan karena itu, Islam adalah Apollonian mutlak: ia mengusung struktur, teks, dalil, dan sistem yang menolak kecamuk batin yang tak bisa dipetakan. Sukuh tak bisa diislamkan. Cetha mungkin bisa diserap. Yang satu terlalu liar, yang lain cukup tenang untuk didekati.

Tapi Dionysos tak mati. Ia hanya berubah wajah….

Ia menari dalam ruwatan, dalam gamelan yang menabuh malam, dalam wayang yang membisikkan kisah para dewa yang terluka. Ia hidup dalam tradisi slametan, dalam petilasan, dalam doa kepada ruh-ruh yang sudah tak punya nama, tapi masih punya gaung.

Nietzsche mengerti bahwa kekuatan Dionysian tidak bisa dibasmi. Ia hanya disublimasi menjadi puisi, menjadi ritual, menjadi keheningan yang tidak patuh pada dogma. Dalam Islam Jawa, Dionysos mengenakan jubah sunyi. Ia tak berteriak. Ia berdesis dalam malam-malam tarekat, dalam zikir yang menghapus batas antara tubuh dan semesta.

Sunan Kalijaga tahu itu. Ia bukan penghancur warisan, melainkan perakit ulang yang lihai. Ia menyusupkan Dionysian ke dalam Apollonian. Ia tahu bahwa tanpa gairah, bentuk adalah mayat. Maka ia biarkan wayang hidup, bukan sebagai penyembahan, tetapi sebagai tafsir. Dan dalam tafsir itu, Dionysos tertawa.

Kini, kita berdiri jauh dari Sukuh. Tapi kadang, dalam gema gong malam hari, atau dalam sesajen yang dilempar ke laut, atau dalam tubuh penari yang kerasukan, Dionysos bangkit sejenak. Bukan untuk merebut tahta, tapi untuk mengingatkan: hidup bukan hanya hukum, tapi juga misteri. Bukan hanya terang, tapi juga kegilaan yang suci.

Islam di Jawa menang sebagai bentuk. Tapi roh yang menari di bawahnya tetap milik tanah yang lebih tua. Dan selama manusia masih takut pada kematian, tapi juga ingin menertawakannya, Sukuh tak akan benar-benar selesai.

5.

Sukuh jelas bukan sekadar batu andesit yang ditata dan disebur candi. Ia adalah jejak ketegangan purba antara tubuh dan aturan, antara teriakan dan sunyi. Di sana, Dionysos datang lebih dulu, menari dalam batu dan mani, sebelum Apollon merapikannya di Cetha, dan Islam membingkainya dengan ayat.

Tapi yang liar tak pernah benar-benar mati. Ia hanya berganti rupa: menjadi ruwatan, menjadi wayang, menjadi zikir yang menari dalam gelap.

Dan mungkin, sejarah Jawa bukan soal pergantian kepercayaan melainkan soal siapa yang berhasil membisikkan misteri paling lama dalam kabut bayangan….

—-

*Alumni Fakultas Filsafat UGM