Bapak Gede, Seba, dan Petapa Bukit Kendeng
Oleh Ria Satriana Budi
GELAP membungkus Desa Kanekes, Lebak, Banten, ketika dingin malam merayap di kulit. Temaram bulan sabit di awal Mei, juga terang api lampu teplok yang terpasang di dinding bilik rumah, tak cukup kuat bagi mata melihat keadaan sekitar.
Tapi, bagi sembilan pria berikat kepala dan baju serba putih tanpa kancing yang teranyam dari serat daun pelah, gelap tak jadi soal. Duduk melingkar di sudut dipan rumah jaro pemerintahan atau kepala desa, mereka begitu asyik bersenda gurau.
Sesekali mereka tergelak sambil menyeruput kopi hitam. Membelakangi bertandan-tandan pisang dan puluhan bungkus gula aren yang berjajar rapi di pojokan. Cahaya remang menjadi kawan kesepuluh senda gurau mereka.
Dari warna pakaian yang dominan serba putih, kesembilan orang itu adalah para lelaki Baduy Dalam. Mereka adalah bagian dari kaum yang menetap di lereng perbukitan gunung Kendeng. Kaum adat yang menjalani hidup dengan menempatkan alam sebagai teman seperjalanan.
Sarpin, warga Baduy Luar, ingat betul peristiwa setahun sebelum pandemi Covid-19 tersebut. Itu adalah momen yang lazim terlihat, sehari sebelum tradisi Seba digelar.
Seba adalah ritual tahunan untuk menyerahkan hasil bumi dan menjalin silaturahmi kepada Bapak Gede atau pemerintahan Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten. Ini juga sebagai wujud syukur setelah warga Baduy mendapatkan hasil melimpah pertanian.
Seba selalu digelar setelah masa kawalu atau puasa selama tiga bulan berturut-turut, tepatnya setiap katiga atau bulan kedua belas dalam sistem kalender Baduy, di awal pekan bulan pertama atau Sapar.
Itulah sebabnya. Menjelang Seba, warga Baduy selalu menyambangi rumah Jaro. Silih berganti, mereka menyerahkan hasil bumi berupa pisang atau gula aren, untuk selanjutnya dibawa ke Lebak dan Serang. Tapi, sejak pandemi melanda, kemeriahan Seba, tidak lagi terlihat.
“Sudah dua tahun seba cuma diikuti perwakilan, 15 sampai 20 orang. Warga Baduy lain tidak ada yang ikut. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa, ke ladang dan lain-lain. Tidak ada masalah. Masyarakat bisa maklum. Pandemi bikin Seba berubah,” kata Sarpin, warga Baduy Luar.
Sarpin benar. Seba memang tak lagi sama, berubah drastis. Sudah dua kali, Seba yang biasanya digelar di sekitar Mei, kehilangan ruh karena tak tampak lagi ribuan warga Baduy berbondong-bondong menyusuri jalan-jalan menuju kota.
“Hampura (mohon maaf), biasa Seba Baduy banyak kunjungan wisatawan tapi saat ini kami memberikan pembatasan. Supaya menjaga masyarakat Suku Baduy jangan kena pagebluk Corona.” Begitu kata Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya saat menyambut kedatangan utusan Puun Baduy saat Seba digelar di sela pandemi pada 21 Mei lalu.
Dalam komunitas Baduy, Puun adalah lembaga adat tertinggi, yang berasal dari tiga kampung keramat, yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana. Puun diyakini sebagai orang suci, keturunan karuhun alias leluhur. Tugasnya berkewajiban menjaga kelestarian alam dan menuntun warganya hidup sesuai ketentuan adat.
Dalam struktur adat, setidaknya, Baduy terbagi atas tiga kelompok, yakni, tangtu, panamping, dan dangka. Tangtu lazim disematkan untuk Baduy Dalam. Sedangkan Baduy Luar, dikenal dengan istilah panamping dan dangka.
Sebutan Baduy bukanlah kehendak mereka sendiri. Masyarakat Banten Selatan yang sudah beragama Islam, biasa menyebut “Baduy” kepada orang-orang Kanekes yang dalam kesehariannya tak pernah beralas kaki, pantang naik kendaraan, tidak sekolah, dan kerap mengembara menjajakan hasil bumi, seperti halnya orang Badawi di jazirah Arab.
Ada Baduy Dalam, ada Baduy Luar. Dua istilah ini lazim dikenal oleh orang-orang luar Baduy. Secara kasat mata, mudah membedakan antara Baduy Dalam dan Luar. Tak seperti Baduy dalam, Baduy Luar tak mengenakan baju putih, termasuk pula tidak mengenakan ikat kepala putih.
Aturan adat juga lebih toleran pada Baduy Luar. Misalnya, mengizinkan warga Baduy Luar menggunakan kendaraan kemana pun pergi. Baduy Dalam sebaliknya. Kemana-mana, haram bagi mereka bila tidak berjalan kaki. Pelanggarnya bakal diganjar hukuman adat.
Baduy Dalam adalah komunitas elite. Pasukan khusus yang menjadi barisan terakhir aturan adat. Bagi mereka, berjalan seharian kemana pun pergi, asal tidak menyeberangi lautan karena mereka dilarang naik kapal laut, itu soal kecil. Pasalnya, yang mereka genggam lebih dari perkara jalan kaki semata. Mereka hanya ingin taat pada aturat adat, menjunjung tinggi nilai luhur tetua Baduy.
Banyak orang menganggap warga Baduy Dalam sakti, lantaran kuat berjalan kaki jarak jauh. Padahal, kata mereka, ilmunya sangat sederhana: istirahat jika sudah kelelahan.
“Kalau kami kecapekan berjalan, ya, kami istirahat bae. Tidak susah,” kata Ayah Arma, seorang warga Baduy Dalam.
Orang Baduy Dalam memiliki ciri tersendiri saat berjalan. Istilahnya huyunan, berjalan baris memanjang satu per satu. Jalan setapak perbukitan di kampung mereka, yang lebarnya sebentang tangan orang dewasa, membuat mereka begitu terbiasa untuk tak saling salip atau serobot seperti Metromini di ibu kota era 1990-an.
Cara berjalan ini terus dilakukan meskipun orang-orang Baduy tengah berjalan di bukan jalan setapak. Orang tua atau yang ditokohkan harus berjalan paling depan. Ini prinsip. Orang Baduy sangat menghargai para tetua. Luar biasanya, meski jalan yang dilalui sepi, mereka tetap berjalan berbaris memanjang. Pantang bagi mereka jalan bergerombol lalu melebar menguasai ruang tak karuan.
“Kenapa kami jalan seperti itu? Ya kan untuk memberikan kesempatan orang lain yang lewat. Kami tidak ingin mengganggu hak orang lain atuh, sekalipun jalan itu tidak ramai,” kata Ayah Mursyid.
Pergi keluar dari kampung, bukan hal baru bagi orang Baduy. Bagi mereka, sejumlah tempat di luar kampung mereka adalah rimba yang tak asing, meski mereka juga tidak akrab. Sebab warga Baduy percaya, tempat mereka hanya di Desa Kanekes. Mereka menikmati saja apa pun yang mereka lihat dan rasakan.
Seperti ketika misalnya saat mereka tiba di Lebak sewaktu seba berjalan normal. Malam di Lebak saat seba adalah malam kegembiraan. Pasar malam digelar dan layar tancap diputar. Warga Baduy senang menonton layar tancap. Film yang mereka gemari adalah film-film yang berkisah perjuangan tanah air. Misalnya, film Pasukan Berani Mati yang dibintangi aktor laga Barry Prima. Mereka akan riuh bertepuk tangan saat misalnya penjajah Belanda dalam film itu mati terbunuh.
“Bagi kami seba adalah wajib hukumnya, sesuai perintah leluhur. Kalau kami tidak melakukan seba, pamali hukumnya. Kami bisa kuwalat,” kata Ayah Mursyid, putra sesepuh Baduy Dalam.
Tradisi seba sama tuanya dengan keberadaan masyarakat Baduy itu sendiri. Ada dua jenis Seba. Seba Kecil dan Seba Besar. Seba kecil tak mengharuskan warga Baduy pergi jauh, tapi cukup di lingkaran perkampungan Baduy. Sedangkan Seba besar, berdasarkan aturan adat turun temurun, wajib hukumnya warga Baduy keluar desa, bertemu dengan Bapak Gede alias para petinggi wilayah kerisidenan Banten, bupati dan gubernur.
Seba boleh dibilang tradisi tak tercatat. Setiap ajaran dan peribahasa Baduy tidak ada yang tertulis. Bagi orang Baduy, cerita atau kisah, lahir terlebih dulu ketimbang tradisi tulis menulis. Itulah sebabnya, seluruh norma adat istiadat atau ajaran Baduy hanya terekam dalam ingatan para tokoh adat dan beberapa warga.
Di sinilah makna hidup begitu meresap bagi warga Baduy. Hidup, bagi orang Baduy, hanyalah untuk mencari kebahagiaan, bukan semata-mata mengejar materi. Bahagia hanya bisa dikejar dengan jujur, benar, dan pintar. Tapi pintar lalu keblinger, tentu saja keliru jalan. Baduy tidak begitu. Prinsip ini turun-temurun menjadi pedoman warga Baduy.
Ada dorongan untuk mempertahankan identitas yang tanpa mereka sadari menjadi kekuatan kelompok adat. Dan Seba, menjadi contoh bahwa kebersamaan tak pernah hilang meski telah ratusan tahun terlewati, meski jutaan kali matahari terbit dan terbenam.
Konsep adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah tanpa perubahan apa pun. Inilah yang tertuang dalam dalam buyut titipan karuhun, yang meski tak tercatat, tapi dihafal di luar kepala orang Baduy. Ajaran itu antara lain berupa kalimat tutur: Gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang diruksak. Larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang dirobah lojor teu meunang dipotong pendek teu meunang disambung nu lain kudu dilainkeun nu ulah kudu diulahkeun nu enya kudu dienyakeun.
Maknanya kira-kira begini: Gunung tak boleh dihancur, lembah tak boleh dirusak. Larangan tak boleh dilanggar, buyut tak boleh diubah. Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Yang bukan harus ditiadakan, yang lain harus dipandang lain. Yang benar harus dibenarkan.
Pikukuh seperti ini menyiratkan bahwa segala sesuatu harus dijaga sebagaimana adanya, tidak boleh ada rekayasa. Sebab yang dibuat-buat akan menyebabkan sesuatu berubah dari sejatinya. Penambahan atau pengurangan, diyakini akan hubungan baik warga menjadi berantakan atawa tidak harmonis.
Bersikap apa adanya itulah yang membuat Presiden Joko Widodo–orang Baduy menyebutnya Bapak Gede–tertarik mengenakan baju adat Baduy lengkap dengan tas koja dalam momen penting kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, pada 16 Agustus 2021.
“Busana yang saya pakai ini adalah pakaian adat suku Baduy. Saya suka karena desainnya yang sederhana, simpel dan nyaman dipakai,” kata Jokowi.
Boleh jadi, keinginan Jokowi itu tak cuma dilatarbelakangi pada kesederhanaan desain baju adat Baduy. Tapi lebih karena didorong kekaguman pada kebersahajaan orang-orang Baduy, yang memang tak pernah berkehendak aneh-aneh.
Tidak bertindak macam-macam memang menjadi kunci hidup bagi orang Baduy Dalam dan Luar, sebab sejatinya mereka adalah satu. Sekumpulan kaum petapa yang sesekali mengembara, yang memilili keyakinan bertugas sebagai penjaga keseimbangan jagad raya. Ini sesuai keyakinan yang mereka anut, Islam Wiwitan. Sebuah keyakinan yang membuat mereka amat percaya sebagai keturunan langsung Nabi Adam AS.
“Kami ingin tidak ada orang luar yang merusak atau membabat pohon-pohon di Baduy. Kami ingin agar alam Baduy tempat kami tinggal terus dijaga, karena dengan menjaga alamlah kami bisa terus hidup. Gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang diruksak. Gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak,” kata Ayah Mursyid .
Ayah Mursyid tak sekadar berceloteh. Orang-orang Baduy, yang bersemayam di kaki perbukitan gunung Kendeng, memang amat bergantung pada kelestarian alam. Alam yang ketika malam jatuh, ketika tak ada cahaya bulan atau lampu teplok, akan menjadi gelap-segelapnya. Di sanalah, berjarak sekitar enam jam perjalanan darat ke arah barat dari Jakarta, jiwa-jiwa bersahaja ini hidup dalam keabadian.
*Penulis adalah wartawan