Kisah Panji, Krisis Lingkungan dan Kebudayaan

Oleh: Purnawan Andra*

Syahdan, Raden Panji putra mahkota kerajaan Jenggala diusir oleh ayahnya, Prabu Lembu Amiluhur. Ia meninggalkan istrinya, Dewi Candrakirana, lalu tinggal di Desa Dadapan sebagai anak seorang janda miskin dengan nama Ande-ande Lumut.

Candrakirana yang mencari suaminya pergi ke tengah hutan dan menjadi anak seorang janda miskin yang memberinya nama Klenting Kuning. Namun, ia kerap disiksa oleh para saudara angkatnya Klenting Abang, Klenting Biru, dan Klenting Ungu. Atas anugrah Garuda penjelmaan Batara Narada, Kleting Kuning diberi senjata cis (logam berujung tajam) dan dijanjikan bisa bertemu dengan suaminya yang berada di desa sebelah.

Pada saat yang sama, Klenting Abang, Klenting Biru, dan Klenting Ungu juga hendak melamar anak janda yang tampan di Dadapan. Ketika hendak menyeberang sungai menuju Dadapan, ketiga Klenting bertemu dengan Yuyu Kangkang, si penjaga sungai, yang merayu mereka untuk menyeberangkan dengan bayaran sebuah kecupan. Setelah bertemu dengan Ande-ande Lumut, ia menolaknya karena ketiganya telah memberi kecupan pada Yuyu Kangkang.

Sementara Klenting Kuning juga bertemu Yuyu Kangkang yang mensyaratkan hal yang sama. Namun Klenting Kuning menolaknya dan mengeluarkan senjata cis dan mengeringkan seluruh sungai. Setelah Klenting Kuning berhasil menyeberang, Yuyu Kangkang memohon agar air sungai tersebut dikembalikan karena ia tak dapat hidup tanpa air. Permintaan itu dikabulkan, dan singkat cerita Klenting Kuning dan Ande-ande Lumut bersatu kembali sebagai Dewi Candrakirana dan Raden Panji.

 

Refleksi

Selama ini kita mengenal kisah Panji sebagai roman antara Panji dan Sekartaji/Candrakirana. Tapi lebih dari itu, ia juga menyediakan refleksi simbolik aspek sejarah, arkeologi, filsafat, hingga politik.

Seperti Ande-ande Lumut, salah satu fragmen Panji ini memuat ide konservasi alam dan lingkungan, lewat tema perairan, pertanian dan kehidupan fauna. Hal ini hadir dalam simbolisme setting ((daun) Dadap-an), nama-nama tokoh (Lumut, Yuyu (kepiting), Klenting (tempayan tanah liat penampung air)) dan jalan cerita yang dihadirkannya.

Kisah Panji sendiri adalah kisah asli Nusantara, Jawa Timur tepatnya, yang telah diakui UNESCO sebagai Memory of The World pada 31 Oktober 2017. Sebagai wacana kebudayaan bukan adaptasi dari India seperti Ramayana dan Mahabharata, sejak pertama muncul dan berkembang pesat setidaknya pada masa kerajaan Majapahit (abad XIII), cerita ini sudah berumur delapan abad!

Sejumlah ahli menyebutkan, dipandang dari perspektif sejarah, cerita Panji adalah metafora atas peristiwa politik yang betul-betul terjadi pada masa pemerintahan Airlangga, yakni terpecahnya kerajaan Kadiri menjadi Jenggala dan Daha. Sebagai dokumen kultural, teks-teks Panji menguraikan sumber pengetahuan tentang kebudayaan dan pola-pola aktivitas yang mengatur kehidupan. Ia bukan cuma meninggalkan artefak relief pada lebih dari 20 candi di Jawa Timur (menurut penelitian arkeolog Jerman Lydia Kieven), atau seni pertunjukan seperti wayang beber, topeng, wayang gedhog, hingga wayang krucil, folklor dan masih banyak lagi.

 

Aktual

Panji menjadi aktualisasi untuk menciptakan modus-modus dalam menghadapi persoalan kehidupan yang kompleks. Dalam tiap kisahnya, tidak sekedar pengembaraan Panji mencari Sekartaji, namun membuka pemahaman akan bagaimana suatu pengalaman hidup harus dimaknai dan dikontekstualkan dengan diri sendiri sebagai sebuah refleksi.

Seperti kisah tentang konservasi alam dalam Ande-ande Lumut tadi menjadi relevan dengan situasi kita hari ini yang ditandai dengan krisis lingkungan yang berdampak global dan menjalar ke berbagai segi kehidupan. Krisis lingkungan seperti banjir, tanah longsor hingga kekeringan ekstrem belakangan kerap terjadi di wilayah Indonesia dan menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat.

Varian lain tentang Panji, berjudul Timun Mas, dalam versi Jawa Tengah mengisahkan raksasa jahat yang berhasil ditenggelamkan dalam lautan lumpur hasil lemparan terasi (belacan). Ini sejajar dengan bencana lingkungan lumpur Lapindo yang belum tuntas hingga kini.

Dan kini, kita mengalami kondisi darurat lingkungan hidup. Krisis lingkungan yang terjadi menjadi refleksi bahwa itu bukan murni fenomena alam tanpa campur tangan manusia. Dalam perspektif etika lingkungan, krisis lingkungan bukan masalah teknis, melainkan krisis moral yang bukan hanya mengenai perilaku manusia terhadap lingkungan, tapi juga tentang relasi diantara semua kehidupan alam semesta.

Aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak sengaja dan dilakukan secara terus-menerus berdampak buruk memicu atau mempercepat terjadinya bencana. Kita harus mengakui bahwa kita abai terhadap kesadaran ekologis. Pengetahuan tentang dampak kerusakan lingkungan barangkali memang sudah ada, tapi nekat diterobos juga. Krisis lingkungan menjadi penanda masalah kebijakan politik, orientasi sosial hingga kesadaran kultural.

 

Kebudayaan

Padahal dalam budaya masyarakat kita, dialog dengan alam telah menjadi bagian dari tradisi komunal. Konsep ruwatan, larungan, bersih desa, Subak hingga Panji merupakan salah satu ajaran kebudayaan, khususnya pemuliaan terhadap air.

Dalam beberapa relief candi-candi Majapahit di Jawa Timur terpahat beberapa relief dengan ukiran dan gambar sawah, juga relief petani bersama kerbau yang sedang berbajak (Kieven, 2014). Ritual pertanian dan kesuburan yang berarti penghormatan kepada alam dan air, menjadi penting.

Lebih lanjut dikatakan Kieven, Panji juga merupakan simbol religiusitas yang “melokal” dalam proses vertikal-horisontal sekaligus. Di candi Kendalisodo dan candi Panataran, terdapat banyak adegan Panji atau kekasihnya sedang menyeberang air. Dalam mitologi Hindu dan Budha, penyeberangan air adalah simbol untuk maju dari tingkat pengetahuan kebijaksanaan ke tingkat lebih tinggi, sehingga akhirnya dapat mencapai wahyu spritualisme yang agung.

Budaya kita, dengan berbagai esensi nilai, bentuk ekspresi dan visi estetisnya, merupakan warisan peradaban yang begitu kaya. Semua itu membutuhkan kerja merawat, menafsir dan mengontekstualisasikan dengan kondisi terkini dan perspektif masa depan (Dahlan, 2013).

Panji menjadi sarana reflektif yang responsif atas berbagai fenomena kehidupan, sebagai living heritage yang dipahami, dimanifestasikan dan ditransformasikan secara kontekstual dalam pemanfaatan, pengembangan, pengelolaan, hingga perlindungan kebudayaan. Terutama untuk menghentikan dan mengubah paradigma pragmatis politik pembangunan yang ternyata menimbulkan kenyataan kontra produktif bagi ekosistem lingkungan.

Seperti dalam kisah varian Panji Timun Mas, ia seperti mengingatkan kita bahwa sudah saatnya menenggelamkan raksasa (baca: kekuasaan) dalam kubangan lumpur Lapindo (baca: krisis lingkungan akibat perbuatannya sendiri)!

*Purnawan Andra, bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek.