Dari Perut Kota, Aku Mendengar & Peringatan yang Dirayakan
Oleh Fitra Raharjo
Kali ini saya menjejaki residensi seni di Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, dalam event Festival Bantargebang 2025, riset dan pengalaman dalam merespons ekosistem urban yang sangat kompleks. Bantargebang bukan hanya dikenal sebagai tempat pembuangan sampah terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga menjadi ruang yang sarat dengan konflik, harapan, dan pertarungan antara keberlanjutan hidup dan kehancuran.
Dalam konteks ini, karya-karya yang dihasilkan oleh saya tidak hanya menjadi media ekspresi seni, tetapi juga cerminan dari realitas sosial dan lingkungan yang seringkali terabaikan yaitu hamparan sampah.
Dengan output dua karya tercipta yang berjudul, “Dari Perut Kota, Aku Mendengar” dan “Peringatan yang Dirayakan,” saya menyajikan sebuah dialog yang membahas masalah lingkungan, ketahanan hidup, dan perayaan kehidupan yang terpinggirkan. Keduanya terhubung dalam suatu narasi yang lebih besar tentang bagaimana seni dapat menciptakan ruang bagi peringatan dan penyembuhan dalam konteks komunitas yang terdesak.
“Dari Perut Kota, Aku Mendengar”
Bantargebang, sebagai tempat yang dikenal dengan gunungan sampah dan limbah yang menumpuk, sering dipandang sebagai akhir dari segala sesuatu yang tidak terpakai—tempat terakhir untuk sisa-sisa kehidupan kota. Namun, bagi saya, Bantargebang bukan hanya sekadar ‘tempat buangan’. Dalam pengamatan dan proses penciptaan karya seni ini, saya melihatnya sebagai ruang transisi, ruang yang menyimpan potensi kisah-kisah yang belum terungkap, bahkan dalam tumpukan sampah sekalipun.
Menurutku, Bantargebang adalah tempat di mana sisa-sisa hidup dikumpulkan, dipilah, dan perlahan dilupakan. Bukan hanya pada kebisingan mesin atau denting kaleng yang berserakan, tetapi pada bisikan-bisikan halus yang datang dari dalam tanah, dari gunungan sampah yang menyimpan jejak manusia, ingatannya, dan sejarah kota itu sendiri. Dengan menggunakan pendekatan kolase dan sistem grid, saya mencoba membangun rasa saling lewat program workshop yang saya ajarkan kepada anak-anak Cikiwul. Anak-anak saya ajarkan dari awal pengolahan, pembersihan dan teknik dengan mengumpulkan sampah plastik dari pemilihan warna, serta potongan-potongan realitas dari lingkungan sekitar—baik secara visual maupun emosional dari sampah plastik dengan berbagai tekstur.ekskavator kuning yang bekerja tanpa henti, hingga rumah-rumah pemulung yang bersandar pada sampah, semuanya menjadi bagian dari ‘lukisan hidup’ yang merepresentasikan pertarungan antara bertahan hidup dan menyerah. Potongan-potongan tersebut digabungkan bersama anak-anak juga dibantu ibu-ibu dan bapak-bapaknya dan berproses kurang lebih tiga sampai empat hari menjadi sebuah karya yang tidak hanya menunjukkan realitas fisik tetapi juga mengungkapkan lapisan emosional yang terabaikan dari kehidupan di sana, karena karya yang tercipta murni dibuat dari limbah yang ada. Karya ini menjadi sarana untuk merefleksikan bagaimana sisa-sisa kehidupan yang sering dianggap tak berguna justru dapat menunjukkan sisi kota yang paling jujur—dimana kebisingan dan kepadatan bukanlah satu-satunya cerita yang ada. “Dari Perut Kota, Aku Mendengar” bukan tentang menghias atau mendekorasi luka, tetapi lebih tentang memberikan ruang bagi luka itu untuk berbicara. Dalam serpihan plastik yang tergeletak, dalam jejak tanah yang diinjak ribuan kaki, ada kisah-kisah yang terlalu sering kita abaikan. Saya mengajak teman-teman untuk melihat lebih dekat, untuk mendengarkan apa yang ada di balik permukaan yang terlihat kotor dan tak terurus. Seperti sebuah kolase yang terdiri dari banyak fragmen, Bantargebang adalah tempat di mana cerita-cerita tersembunyi dari kota ini bisa ditemukan, dan dalam seni, kita diberi kesempatan untuk memahami dan merayakannya.
Karya ini mengundang kita untuk merenung tentang bagaimana kita, sebagai bagian dari masyarakat kota besar, sering kali menyingkirkan sesuatu yang kita anggap tidak berguna, padahal mungkin di dalamnya terdapat lapisan-lapisan penting yang menyusun kehidupan kita. Dengan menggunakan kolase sebagai metode, saya dan anak-anak yang komit mengerjakan bersama berhari-hari kadang sampai matahari terbenam gelap dan minim lampu berhasil menyusun sebuah narasi yang tidak hanya visual tetapi juga menyentuh dimensi emosional dan psikologis tentang keberadaan manusia di dalam sistem yang lebih besar.
“Peringatan yang Dirayakan”
Berkaitan dengan karya sebelumnya, “Peringatan yang Dirayakan” merupakan sebuah karya seni performatif yang berfokus pada momen kesadaran dan perayaan atas kematian sebuah pohon akibat arus pendek di pemukiman padat Cikiwul, Bantargebang. Dalam konteks saya merespons peristiwa kematian pohon tersebut sebagai sebuah simbol dari kesadaran ekologis yang harus diperingati.
Karya ini menggunakan pita berwarna kuning sebagai simbol peringatan atau “warning”. Benang pita berwarna kuning ini, dalam konteks performans, bukan hanya sekadar bahan, tetapi menjadi metafora untuk sesuatu yang seharusnya mendapat perhatian lebih. Kuning, yang identik dengan peringatan, dijadikan bahan utama untuk mengubah makna peringatan itu sendiri menjadi bentuk selebrasi kolektif. Dengan cara ini, saya tidak hanya mengingatkan akan kehancuran yang terjadi, tetapi juga merayakan kehidupan yang masih ada dan proses perubahan yang dapat dimulai dari kesadaran kecil.
Aksi performatif ini melibatkan ibu-ibu dan anak-anak setempat yang berpartisipasi dalam sebuah ritual untuk membalut batang pohon mati. Ritual ini merupakan hasil dari workshop kolase yang juga menggunakan sampah plastik sebagai bahan utama. Proses ini menjadi bagian dari usaha untuk menyatukan anggota komunitas dalam upaya merayakan kesadaran dan keterlibatan mereka dalam menjaga lingkungan sekitar. Workshop kolase dan ritual ini berlangsung di RT04 RW04 pada pukul 13.00 dan menjadi momentum penting dalam memperlihatkan bagaimana seni dapat menggerakkan komunitas untuk bekerja bersama, berbagi harapan, dan menyuarakan kesadaran lingkungan dalam keadaan yang terbatas.
Melalui karya ini, saya memberikan perspektif baru tentang bagaimana peringatan bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih positif, kolektif, dan berdaya. Dalam ritualmerayakan pohon yang telah mati, para peserta tidak hanya menghormati kematian, tetapi juga merayakan proses hidup dan perubahan. Mereka yang terlibat dalam karya ini menjadi bagian dari sebuah gerakan yang lebih besar—gerakan yang berbicara tentang keberlanjutan, kesadaran lingkungan, dan semangat komunitas dalam menghadapi tantangan bersama.
Residensi seni saya di Bantargebang, dengan dua karya utama—“Dari Perut Kota, Aku Mendengar” dan “Peringatan yang Dirayakan”—memperlihatkan bagaimana seni dapat menjadi medium untuk menggali dan merayakan kisah-kisah yang terpendam dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan kolase dan seni performatif, saya membuat ruang bagi luka-luka kota untuk berbicara, serta mengajak masyarakat untuk bersama-sama merayakan keberlanjutan hidup dan menjaga hubungan mereka dengan alam. Merefleksikan realitas lingkungan yang keras dan penuh tantangan, tetapi juga menunjukkan potensi seni untuk mengubah pandangan kita tentang apa yang sering kita anggap sebagai ‘sampah’—baik itu fisik maupun sosial. Seni bagi saya bukan hanya sebuah alat ekspresi, tetapi juga sebagai alat untuk mengedukasi, membangun kesadaran, dan mendorong perubahan dalam masyarakat untuk membangun batin dan rasa sesama manusia dimuka bumi ini.
Dengan hasil residensi ini, saya tidak hanya mengajak teman-teman untuk melihat lebih dekat pada realitas yang terabaikan, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya merayakan setiap momen, bahkan dalam keterbatasan, sebagai bentuk perlawanan terhadap kehancuran dan sebagai upaya untuk merajut masa depan yang lebih berkelanjutan.***
*Fitra Raharjo, yang juga dikenal sebagai Jo, adalah seniman dan pegiat seni yang karyanya berfokus pada ekofeminisme, yang memadukan berbagai disiplin ilmu tanpa terbatas pada satu media. Melalui seni pertunjukan, seni visual, dan pendekatan interdisipliner, ia mengeksplorasi hubungan antara alam dan perempuan serta dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan. Karya-karyanya mengadvokasi keadilan gender dan pelestarian lingkungan, serta mendorong dialog mendalam tentang kesetaraan dan pelestarian. Sebagai seniman interdisipliner dengan gelar dari FSRD ITB dan studi pascasarjana di bidang Seni Urban di IKJ, Fitra menggunakan beragam media dan ruang untuk membahas degradasi lingkungan. Ia sering memasukkan mitologi Dewi Sri Tanji dalam pertunjukannya untuk menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan alam.