Catatan Pementasaan Teater Koma Mencari Semar, Karya/Sutradara Rangga Riantiarno
POSPEK III
Oleh Giri Basuki*
Dalam guyuran derasnya air hujan, mobil MPV itu meluncur di jalan Pantura dari arah timur, sebelum akhirnya membelok kekiri menuju jalan alternatif, menempuh sisa perjalanan melalui rute perjalanan jalur tengah menuju Ibukota.
Setelah melewati beberapa desa, curah hujan mulai berkurang menyisakan rintiknya. Memasuki kawasan perkebunan, laju mobil sedikit melambat sebelum akhirnya pengemudi menghentikan mobilnya. Jalan didepan tertutup kabut tebal yang turun setelah hujan reda. Jarak pandang terbatas, hanya kisaran dua meter dari ujung kap mesin. Headlamp dan foglamp tidak mampu menembus tebalnya kabut.
Setelah mengusap dahinya, sebagaimana kebiasaannya ketika andrenalin mulai naik dan harus mengambil keputusan, pengemudi itupun berkata untuk menyakinkan seseorang yang duduk disebelah.
“ Ok, kita akan tetap berjalan tetapi pelan-pelan, mengikuti alur tepi jalan meskipun terlihat samar. Tenang, aku hafal jalan daerah sini, sebentar lagi kita akan memasuki satu desa lagi, sebelum nanti ketemu jalan besar.” Ini Mad Dream!. Ya, Mad Dream! Diikuti ekspresi muka yang bersemangat.
Sejenak kemudian mematikan AC mobil, menurunkan kaca pintu depan, diikuti penumpang di sebelahnya. Suara mesin diesel semakin nyaring terdengar, nyaring. Pengemudi itupun mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya. Menghisap rokok, membuang asapnya perlahan keluar kearah ke kaca spion. Kepala sedikit mendongak keluar, pandangannya tertuju pada batas bahu jalan. Diikuti oleh penumpang disebelahnya mengecek bagian kiri jalan, memastikan gerak roda nantinya tidak keluar dari bahu jalan.
Terlihat angka 20:30 pada jam digital di dashbord. Detiknya terus berkedip seiring detak degup jantung.
Wiper pembersih kaca bergerak menyapu sisa rintik hujan yang melekat dikaca.
Bersamaan dengan mobil memasuki kabut awan putih.
Angka jarum jam digital berubah, waktu berlalu, hari dan tahun berganti.
Kabut awan putih tersingkap perlahan. Membawa kita seolah berada dalam kabin stasiun ruang angkasa. Mirip kabin star trek nya Gene Roddenberry. Didalam kabin itu, seolah kita sedang bergerak maju menuju titik pusat atau menuju titik hilang dalam teori menggambar perspektif. Benda-benda langit bergerak kebelakang melewati samping mata kita.
Dalam kanvas udara itu,tertangkap algoritma. Barisan deret angka. Hukum Newton 1,2,3 menjadi rumus matematika. Berevolusi menjadi teori relativitasnya Einsten yang kemudian menjadi rumus sangat populer dalam fisika. Mengantarkan kepada Entropi, angka tidak beraturan yang bergerak sangat cepat.
Ruang fiksi ilmiah itu akan kita jumpai ketika memasuki auditorium ruang pertunjukkan Ciputra Artpreneur. Itulah setting panggung utama dalam pentas Teater Koma ke 235, dalam lakon Mencari Semar, karya dan sutradara Rangga Riantiarno. Pertunjukkan berlangsung 13-17 Agustus 2025.
Dimasa lalu, ruang dan waktu diluar dunia nyata sering disebut sebagai negeri antah berantah. Sebuah ungkapan yang merajuk pada tempat yang sangat jauh, atau tidak diketahui. Di era kini, Rangga Riantiarno berani mengidentifikasi yang no name itu sebagai bangsa Nimacha dengan sistem pemerintahan kekaisaran. Sebuah sistem pemerintahan yang merajuk pada penguasaan wilayah geografi yang sangat luas. sebuah galaxy lain.
Saya menjadi anggota Teater Koma sejak 1990 bersamaan dengan diterima menjadi mahasiswa IKIP Jakarta jurusan senirupa. Sering menginap di sanggar apabila latihan selesai sampai larut malam. Ketika Rangga Bhuana kecil masih berseragam sekolah biru putih. Rangga sudah akrab dengan budaya pop internasional. Semua buku komik manga dan juga tokoh-tokoh super hero rekaan Marvell menjadi bacaan favorit di waktu luang atau sepulang sekolah. Minatnya terhadap dunia fiksi ilmiah semakin terlihat ketika selepas SMU Rangga diterima menjadi mahasiswa ITB Bandung jurusan senirupa. Perguruan tinggi negeri teknik pertama di Indonesia. Khusus untuk jurusan senirupa dimana metode penyaringannya menerapkan tes yang mengukur “kekuatan” imajinasi.
Karenanya tidak heran apabila imajinasi mengenai ruang dan waktu yang berbeda itu kemudian bisa dengan mudah diidentifikasikan. Ditambah kecenderungan minatnya terhadap teknologi, memudahkan Rangga untuk mengakrabi teknologi-teknologi terkini.
Dan panggung artistik Teater Koma Mencari Semar kali ini adalah sebuah “potret diri” Rangga Riantiarno.
Dengan didukung para aktor aktris Teater Koma dengan jam terbang tinggi, dengan totalitas permainan yang sudah melekat menjadi habit, memudahkan Rangga Riantiarno untuk mengoplos ‘rasa tradisi “dengan “rasa kontemporer” menjadikan warna pertunjukkan yang unik, menarik sekaligus relevan dengan zaman. Dan karena relevanlah pertunjukkan terasa menggelitik.
Irama dan emosi pertunjukkan terjaga ketat oleh Budiros (Semar), Rita Matumona (Sutiragen) Emanuel Handoyo (Gareng) dan Daisy Lantang (Cangik) sebagai chord utama yang stabil dan terpusat.

Budiros (Semar), Rita Matumona (Sutiragen), Emanuel Handoyo (Gareng), Dana Hassan (Petruk) dan Nino Bukir (Bagong). (Foto: Logo Situmorang, putra Sitor Situmorang)
Didampingi Dana Hassan (Petruk) Nino Bukir (Bagong) Zulfi Ramdoni (Kades) Ariyunda Anggayasti (Limbuk) Bayu Dharmawan Saleh (Togog), Edopaha (Bilung), Lutfi Ardiyansyah (Agen 01), Sir Ilham Jambak (Agen 02) Andhini Puteri (Agen 04), Inna Kaka (Agen 04) Dodi Gustaman (Agen 02) sebagai chord progresi guna membantu menciptakan suasana yang berbeda.
Pada adegan grouping, “dipasang” Radhen Darwin, Indrie Djati, Kinanti Kojansow, Annisa Ninggorkasih, Satria Syech Majelis, Louis Albert, Hapsari Andira, Pandu Pangestu, Gurdi Salandra Shinta Maharani dan Aden Ramadhan. Layaknya nada mengambang guna menjaga sausana dan irama pertunjukan tidak terputus. Sambil tetap memberikan ruang improvisasi diri tanpa harus mengganggu irama group.
Misal ketika Pak Kades ingin mendisplinkan masyarakat yang bandel, dengan memasukkannya ke dalam barak. Salah satu anggota group menunjukkan ekspresi yang membuat penonton terpingkal ketika menyaksikan. Untuk kreatifitas jenis satu ini, saya rasa Teater Koma ahlinya. Apalagi tokoh Gareng? Dialah salah satu biangnya.

Beberapa adegan dalam pertunjukan Mencari Semar. (Foto: Logo Situmorang, putra Sitor Situmorang)
Team lain dibalik layar, kita akan jumpai nama-nama yang tidak asing lagi dalam dunia teater Indonesia dan ahli dibidangnya. Di antaranya Ratna Riantiarno (Produser) Sari Madjid (Asisten Manajer Panggung), Tinton Prianggoro (Pengarah Tehnik) Ratna Ully (Perancang Gerak) Rima Ananda (Perancang Busana), Rasapta Candrika (Pimpinan Produksi).
Idrus Madani-Ustad Kemet, Embie C. Noor anggota senior yang mendampingi dalam proses diskusi/bedah naskah.

Idrus Madani-Ustad Kemet, Ratna Riantiarno, penulis dan anggota senior Teater Koma lainnya. (Foto: Logo Situmorang, putra Sitor Situmorang)
Adri Prasetyo (Asisten Sutradara) Bayu Dharmawan Saleh (Manager Panggung) Sena Sukarya (Perancang Rias dan rambut) Ajeng Destrian (Instruktur Vokal), Fajar Okto (Perancang Cahaya) Saut Irianto Manik (Perancang Grafis), Bonaituucok (Perancang Suara), Ajeng Destrian ( Instruktur vocal).
Fero A. Stefanus (Pengarah Musik), Jaka Supri (Gitar elektrik, efek perkusi), Tyson (Contrabass), Kamal Zidane (Clarinet & Tenor Saxophone), Hendricus Wisnu Groho (Kendang danefek), Jessica Yohanes (Cello), Alung (Erhu) Ajeng Destrian (Voval & Keyboard).

Beberapa adegan pertunjukan Mencari Semar. (Foto: Logo Situmorang, putra Sitor Situmorang)
Itulah pembagian skuad yang diterapkan oleh Rangga untuk memaksimalkan permainan guna “mengegolkan” target pencapaian artistik dalam lakon imajinasinya.
————————————————-
Tahun 2004, saya mendapatkan nasehat dari Mas Nano (N. Riantiarno) ketika menyiapkan pameran lukisan tunggal perdana. Saya kutipkan lengkapnya. Begini;
Pada 1997, Teguh karya, guru saya yang mulia, pernah memberikan sebuah nasehat. Saya anggota Teater Populer sejak 1968, bertekad membentuk group teater baru, menciptakan lakon pentas. Nasehat Teguh karya menyoal kreativitas sangat sederhana. “ Tidak ada yang baru di bawah matahari. Yang dianggap baru adalah ”yang sudah ada“ tapi dilupakan atau tidak pernah disentuh lagi. Wujudkan ide-ide yang kau nyakini. Bekerjalah dan ikhlas. Dengan bekerja kau akan berbahagia. Nasehatnya adalah: “berlian” yang tetap saya kenang hingga sekarang. Saya ingin meneruskan nasehat guru saya kepada Giri. Teguh karya memberi judul nasehatnya Prospek. Dan saya memberi judul tulisan ini, Prospek III…

N. Riantiarno bersama Teguh Karya. (Foto: Arsip Penluis)
Lalu….Sayapun ingin meneruskan kembali nasehat itu untuk Rangga sebagai Prospek III. Agar menjadi sebuah mata rantai kreatifitas yang berkesimbungan.

Tulisan catatan N. Riantiarno, Prospek II. (Foto: Arsip Penulis)
Sebuah nasehat yang menurut saya masih relevan, pun ketika itu diterapkan pada sains teori dan sains praktek? Bukankah semua bergerak secara evolutif, berangkat dari teori dan kerja praktek sebelumnya?
(Ting… bunyi suara pesan WhatsApp masuk gadget)
Drigo Tobing* : Bagaimana pertunjukkan Mas?
Saya : Overall its OK Mas, Ada kritik tapi itu bukan elementer/principal.
Hal biasa dan nanti akan cepat ditanggapi/ koreksi oleh team artistik.
Drigo Tobing : Syukurlah!.
Saya : Ya Mas. Aman.
Rangga Riantiarno tengah menahkodai kapal besar bernama Teater Koma. Mengarahkan haluannya menuju tujuan. Dulu, seorang penyair bilang, kearah Baratlah kekaisaran itu menuju. Tetapi kini, Rangga bisa dan bebas menafsir sendiri. Para seniman tahu, kesenian adalah seni menafsir alam dan kehidupan. Selamat menafsir alam dan kehidupan Reng, Kebahagian menantimu.
Bogor, 14 Agustus 2025.
————————————
Catatan : Pembuka tulisan.
Pengemudi mobil itu bernama N. Riantiarno. Duduk disebelah pengemudi itu : saya. Peristiwa terjadi sekitar tahun 1995-1996. Oleh Mba Ratna saya diminta untuk menemani perjalanan ke Cirebon. Saat itu bulan puasa Ramadhan. Saya Muslim sementara Mas Nano Katolik, tetapi tidak merokok di mobil juga tidak makan siang selama perjalanan. “Gapapa Gir, aku ikut puasa, nanti kita buka puasa di Pasar Cirebon. Ada sate uenak, sama Es Kopyor“ Begitu katanya. Padahal sejak pagi saya sudah mempersilahkan apabila berkeinginan untuk merokok atau berhenti untuk makan siang.
Saya mendengar pertama kali Mad Dream ya dimomen itu. Ketika mobil harus berhenti karena jalan tertutup kabut. Dan setelah kurang lebih 29 tahun, Mad Dream keluar dari laci memori dan menjadi pengantar membuka tulisan Prospek III ini, yang kebetulan bisa saya sambungkan dengan artistik lakon Mencari Semar karya dan sutradara Rangga Riantiarno.
* Drigo Tobing merupakan rekan satu team kerja dikantor semasa N.Riantiarno menjadi pemimpin redaksi di majalah Matra.
——–
*Giri Basuki Widodo, adalah seniman yang dikenal melalui karya-karyanya berupa lukisan. Telah menggelar pameran senirupa, baik pameran tunggal maupun pameran bersama. Giri Basuki merupakan salah satu pelukis yang juga pernah bergabung dalam pertunjukan-pertunjukan Teater Koma pimpinan Nano Riantiarno.