Bawong Suatmaji Nitiberi Tentang Akting : “Nikmat itu batasnya hanya sedepa”
Oleh A Zaenuri
Mencari Batas
“Nikmat itu batasnya hanya sedepa…….”, kata-kata ini pernah meluncur di saat Bawong sedang senggang; tidak dalam proses berkesenian, terhindar dari pekerjaan bahkan terhindar dari masalah-masalah lainnya. Dia menjelaskan dengan gamblangnya bahwa ukuran ‘sedepa’ itu ada dikeluasan jemarinya dari pucuk ibu jari sampai pucuk kelingking yang direntangkan melebar.Lalu jemari yang direntangkan ditempelkan tepat di batas bibir sampai leher ke batas dada. Muncul kata-kata yang sangat hati-hati,”Inilah batasnya nikmat…….. Ketika kita makan nikmat itu hanya bisa dirasakan melewati batas mulut sampai tenggorokan. Begitu sampai di dada menuju perut sudah tidak ada……. ”. Sedangkan berikutnya rentangan jemarinya ditempelkan ke batas kemaluan hingga perut. Dia mengulangi kalimat yang sama dengan hati-hati kembali. “Inilah batasnya nikmat…….. Segala sesuatu yang kita keluarkan dari batas ini, nikmatnya hanya sedepa. Antara batas perut ke atas tidak ada rasa nikmat yang kita rasakan…. “.
Bagi Bawong, jangan mencari keutuhan dari semua persoalan yang kasat.Sebenarnya gambar dan akting itu akan terasa ada ketika kita melihatnya tidak dengan penglihatan.Sama halnya ketika kita menangkap nikmat yang hadir justru ketika kita sedang melupakan nikmat itu sendiri. Sehingga ketika nikmat itu menjadi sebuah ingatan yang ada hanya gambaran ketidak terdugaan. Akhirnya daya rasa kehilangan keluasan rasa dan keagungan hakiki. Nikmat jadi spesifik sekali, hanya muncul disebuah; keenakan, kelegaan, kejelasan dan kepuasan. Sedangkan ke-luas-an dan keagungan makna rasanya tidak pernah dilibatkan.
Kesulitan untuk mencapai semua ini sangat kentara dan kuat sekali pada prilaku Bawong pada saat memperlakukan dirinya menuju kemungkinan yang ada. Baik memperlakukan kehidupan kesehariannya maupun di saat sedang memerankan sosok keaktorannya. Lalu apakah yang di maksud Bawong dengan puncak tertinggi dalam kenikmatan di jalan keseniannya? Nikmat adalah ajaran hidup yang harus diungkap melalui gerak tubuh sebagai peningkatan jiwa seseorang. Secara moral harus memenuhi latihan kerohanian agar hakekat nikmat bisa mencapi ketinggian dengan pemenuhan ego yang harus bisa merendah.
Kalau hal tersebut sudah bisa berlangsung pengenalan puncaknya nikmat hadir secara intuitif dan tidak secara rasional. Inilah perjalanan rohani yang hakikatnya sukar diungkat lewat kata-kata. Disinilah titik pertemuan akal dan intuisi menjadi cinta. Keduanya sama-sama mencapai kenikmatan yang benar dan melebur dalam kesejatian. Pada akhirnya secara hakiki, kenikmatan tidak bisa lepas dari kodrat manusia dan kebajikan rohaninya.
Bawong sering mengutak-atik aktingnya dalam perannya ketika sedang sendirian. Kedetailan digerakan dalam berbagai kemungkinan sehingga sosok komitmen akting yang jelas takaran realisnya dijungkir-balikan hingga mencapai keabstrakannya. Bahkan gerakan-gerakan primer yang sederhana dikritisi hingga mencapai peristiwa gerakan matang dalam rangkaian pertunjukan. Bawong orangnya tidak pernah puas melihat gambar dan gerak yang berlangsung apa adanya. Baginya gambar adalah mata rantai imajinasinya yang bisa menubuh………
Bahkan kehidupan sehari-haripun Bawong masih berkelanjutan menjaga rasa nikmat yang dia maksud ‘sedepa’ itu. Beli baju misalnya, ketika belum menikah, ibunyalah yang memilihkan dan ketika sudah menikah ganti istrinyalah yang memilihkannya. Belum hal yang lain-lain, misalnya bergaul, bekerja dan lain-lain dia hati-hati sekali dan sensitive memperlakukan dirinya. Dia tidak mudah percaya, bahkan terhadap dirinya sendiripun dia curigai. Kadang kemauannya ini menimbulkan rasa egois tinggi namun pada sisi yang lain tidak untuk mementingkan dirinya. Bagi dia menjadi saksi rasa nikmat yang sedepa itu merupakan segala pengorbanan tersendiri.
Sebuah Awalan
Bawong lahir di Surabaya, 25 Mei 1952. Pengalaman berkeseniannya yang lebih serius dijalaninya dengan belajar melukis di LIA-Painting Circle asuhan pelukis Krishna Mustadjab pada 1971, yang sebelumnya telah disukai sejak masih di bangku SMP. Kemudian pada 1972 bergabung di Bengkel Muda Surabaya mendalami seni drama (teater). Sebelum menggeluti secara serius kedua bidang seni tersebut, Bawong SN masa kecilnya pernah dengan serius belajar silat begitu menginjak dewasa dia juga berkecimpung di dunia tari dengan menjadi anggota sanggar tari Viatikara Surabaya. Dan sebagaimana remaja umumnya, Bawong SN juga menekuni olahraga, yakni pencak silat dan mendaki gunung (meski olah raga ini jarang, bahkan tidak lagi dilakukan semenjak perhatiannya tersita untuk kegiatan teater dan melukis).
Dari ketiga bidang seni yang digeluti (tari, lukis, drama) itulah Bawong SN memupuk pengalaman seninya. Ketiga basik itulah yang membuat Bawong terseleksi untuk mengkuti program teater Julie Tymore –sebuah program teater keliling yang dibiayai Ford Foundation– yang anggotanya dari beberapa kota di Jawa dan Bali. Sepulang dari pentas keliling pada akhir 1978, Bawong SN makin memantapkan tekadnya untuk terus bergelut di dunia drama. Dunia keaktoran telah menjadi tantangan baginya.
Dari beberapa kali sebagai aktor sandiwara untuk naskah-naskah dialog, pada 1979 dia memainkan lakon untuk naskah monolog, antara lain “Prita Istri Kita”, “Kasir Kita” karya Arifin C Noor.“Dag Dig Dug” karya Putu Wijaya dan ini menjadi menarik dan menantang ketika yang bermonolog Bawong SN. Saat itu monolog Bawong menjadi sangat fenomenal sekali dengan segala keunikan aktingnya yang karikatural sekali.
Pengalaman berkeseniannya didedikasikan juga dengan menjadi karyawan TVRI Surabaya. Diawali sebagai Make-up man hingga jenjang Pengarah Acara dan Produser. Ditempatnya bekerja inilah dia berhasil membuat tayangan kesenian tradisional maupun modern. Oleh karena itu banyak seniman-seniman tradisi yang popular lewat campur tangannya sebagai acara di TVRI, Jawa Timur. Laki-laki kelahiran Surabaya tahun 1953 ini berkaitan dengan pengalaman seni, boleh dikata beruntung. Pertama: lahir di kota Surabaya tidak sebagai anak loji. Sehingga leluasa menikmati kesenian-kesenian yang hadir baik di gedung pertunjukan maupun kesenian rakyat yang ngamen maupun yang sengaja ditanggap oleh orang kampung pada saat hajatan. Kedua: Surabaya adalah ibu kota dimana tempat berbagai kesenian di Jawa Timur memungkinkan tumbuh. Ketiga: Bawong SN kecil dipastikan banyak berinteraksi dengan kesenian rakyat yang memang marak di tahun-tahun masa kecilnya.
*Penulis adalah Teaterawan