Sajak-Sajak Seno Joko Suyono
Muharram
Ketika bangun kau bertanduk dan aku berekor
Kita lupa nama losmen tempat menginap semalam
Sudah lebih 50 an hotel boutique kita coba
Keluar masuk inapi sebulan ini
Paling kita ingat ada kios gelato, tak jauh dari situ
Selanjutnya lupa. Setiap tersesat
Kita coba hostel baru .Resepsionis akan bertanya
Apakah kita berjalan kaki
melewati apotek yang papan namanya dibuang?
“Itu kompas utara-selatan. Fasad apotek itu bisa
Menjadi petunjuk arah kalian,” nasehatnya
Kuremas susumu yang kecil di bawah lampu duduk
Parasmu makin tua. Rambutmu makin beruban
Tapi kau selalu ingat aku tak boleh
Makan nasi. Kecuali air panas jeruk nipis
Sebentar lagi kita check out
Berpindah ke wisma bintang dua lain
Tempat para pasangan tak boleh berbicara candi
Jala
: Iwan Yusuf
Bangkai-bangkai kapal teronggok di pantai
Sabut-sabut hitam,tampar-tampar retas menyenandungkan
Fantasmagoria pelabuhan
yang tak tercatat syahbandar
Apakah aku melihatmu mengumpukan jaring-jaring bekas
Membentangkannya agar angin
Menerobos lubang-lubang besar kecil jahitan tambalan
Menkesiutkan siul-siul purba ?
.
Aku kemarin tergulung mimpi
Dua ulama besar bersampan ke tengah danau
Meneken pakta pasir putih
Bersumpah luas perairan terjaga sampai imam mahdi
Mengetuk pintu-pintu masjid
Dalam ceracauku
Aku melihat abrasi .
Melelehkan warna sekarat tembaga
Jaring-jaringmu melambai –lambai
Memanggil-manggil benteng-benteng pendam
Berteriak-teriak menyebut telaga yang dilukis burung
Agar tak ternoda korosi
Apakah ini sebuah situs dystopia?
Tempat dimana bekas geladak , letih mendaras
Dan mazmur-mazmur palsu menjadi rabuk tanah ?
Apakah ini situs terkutuk?
Tempat para anggota tarekat singgah – dan
Kemudian hilang tak tentu – tanpa mewariskan
tafsir-tafsir wasiat ?
Tidak, katamu
Tonggak-tonggak salib dan bulan sabit berdampingan
Biru
:Untuk sebuah lukisan Ugo Untoro
Betis itu tertimpa cahaya sendiri, entah mengapa
Lebih terang dari seluruh badan yang tersuruk gelap biru
Aku tak tahu bagaimana
bentuk kepala laki-laki itu di ujung
Seseorang jangkung menjauhkan diri dari penglihatan
Itu sosok siapakah, Ugo?
Dalam remang-remang biru semuanya bisa disusun
Bangun jam 3 pagi. Hanya suara lemah burung
yang merasuk studio
Selebihnya sunyi. Pandemi pun jinak
Dan tempias gerimis
Mencipratkan sketsa di kanvas
Dalam ketiadaan semua terasa aman
Rencana gambar selalu muncul tak terduga
Terlindung dari tangan malaikat jahil
“Biru adalah warna healing
Ia peredam kesakitan dan isolasi,” katamu
Mungkin. Ia mendatangkan
rahasia cenayang gagal
Topeng
:Yusuf Muntaha
Wajah manekin kau bekap dengan tanah liat
Cetakan wajah terakhir ini
Paling tak serupa Panji atau Sekar Taji
Ia seolah muncul dari masa silam
yang tak bisa didentifikasi arkeolog sekolahan
Di Malang , aneh topeng-topeng
Semakin lampau, semakin seperti wajah kita sendiri
Wajah-wajah pribumi di masa kolonial
Penuh gores luka dan kecewa
Jauh dari bayangan penghayat Trowulan, yang
: selalu mengisahkan topeng istana magis
: selalu mengsahibulkan topeng desa mistis
Sementara kau tahu – topeng yang benar
Adalah topeng yang terombang ambing sendiri di sungai
Sesorang yang beruntung meraihnya
Dialah yang memiliki jalan taksu
Pawang
: Tanto Mendut
Seorang Don Kisot mengarah ngarahkan tumbak ke langit
Menghalau awan cumulus berarak
memindahkan hujan ke tempuran Kali Progo
“Tidak, aku tak butuh tumbak karatan ini,” serunya
“Aku butuh pedang pendek yang digenggam Durga.
Tumbak ini hanya berguna melawan kincir raksasa.”
Lalu kau tergopoh gopoh membawakan
wayang-wayang punakawan yang memiliki manuk besar
“Bukan ini maksudku.
Aku ngin senjata-senjata Kali ,”teriak Don Kisot itu memakimu
“Beri aku cakra, sangha , aksamala, pasa, khadga, trisula, gada, khetaka, sula
Semua yang dipegang delapan tangan Kali di kuburan”
“Cobalah dulu,” katamu tenang
Seraya menghisap kretek
Don Kisot – yang suka membual tentang senja itu menyerah
Semua wayang berkelamin jumbo itu
diacungkan ke langit
Seakan penisnya menghujam zenith
Hong Wilaheng
Ajaib. Awan itu bergerak pelan
menumpahkan hujan deras
di vihara. Bhane-bhante terkejut butirannya bagai es
“Ini bukan hujan Sapardi,”pekik mereka
Sementara studiomu terik bagai gurun pasir
Hutan Kota
:Vivin
Jenis patung apakah yang cocok ditinggalkan
Setelah semuanya kembali sepi
Di hutan buatan ini ?
Patung seorang termangu tak laku – mirip The Thinker
Memandang kosong ke arah seorang kurator tua
Yang pada malam preview
menjauhkan diri dari tamu-tamu ?
Hutan ini ingin bersendawa
tentang harga-harga molek
patung patung abstrak acara barbecue
pembukaan malam seni terhormat
Hutan ini bergurau
Seandainya yang datang
Bukan nyonya-nyonya pemilik galeri
Pemuji tubuh-tubuh deformasi
Tapi pecinta binatang
yang memikirkan hewan-hewan di kebon binatang
yang bunuh diri
atau diungsikan tatkala perang
Tentu kota ini jauh dari kemunafikan
Seno Joko Suyono, pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM dan kemudian arkeologi UI. Mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di tahun 2012. Dan menjadi kurator progamnya sampai sekarang. Telah menerbitkan dua novel: Tak Ada Santo Dari Sirkus dan Kuil di Dasar Laut. Kumpulan naskah drama: A Flood On Java dan kumpulan buku puisi: Di Teater Dionysus. Mengajar di Prodi Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ).