Sajak-Sajak Seno Joko Suyono
Dinner
Jangan-jangan yang menemanimu makan malam bukan aku
Jam 8 malam kini aku sudah harus tidur
Tak pernah aku keluar selepas isya. Apalagi lengkap mengenakan jas-dasi
Mendatangi sebuah restauran di selatan
Katamu aku yang memilih menu
Gulai kambing yang belum tumbuh ekornya
Pepes rusa betina yang mati tergantung
Sate kelinci yang dikebiri
Penyu bakar dengan acar manis
“Ini makanan raja -raja pembangun candi dulu,”
Katamu aku berkata begitu, seraya mengatakan
Kencan akan makin menggairahkan
Karena yang menghidangkan koki-koki
Yang selalu mandi di pancuran prameswari
Kamu bersumpah bahwa kita lalu berlagak pilon
Bahwa restauran tutup pukul dua belas
Dan kasir sudah berkali-kali mengirim kuitansi
Dan petugas mematikan chandelier
Kamu bersikeras – dan menunjuk leherku memerah
bukti kemesraan malam itu
Padahal itu luka pertempuranku dalam mimpi
Minaret
Tangga terakhir menyerupai alegori
Melingkar-lingkar dari bawah
Tak berani lagi kau tatap dasar
Setelah hampir terpeleset jatuh
sebuah gembok kini di hadapanmu
Hati-hati dirimu membuka. Begitu tersentuh bersemburlah hujan karat
Bunyinya: ringkik kuda yang disembelih
Derit demikian kata musim gugur
Hanya terdengar menjelang saat Buddha pertama
di aeon ini – sang Krakucchamda lahir
Dan begitu masuk:
Ruang hanya cukup untuk separuh bayanganmu
Kau kini di atas ketinggian kawanan burung Bodhgaya
yang beremigrasi ke Sumatra
Seraya diiringi dawai para gandharva
Terpampanglah lanskap hijau hutan Jevana
Rindang.Teduh. Menaungi sang Bhagava di kejauhan
Kau melangkah menghampiri lingkaran sravaka
Posisimu jauh di belakang. Di sap terakhir. Sap pendosa
Tak begitu kau lihat siapa yang di depan. Dari sela-sela punggung
Hanya sepintas lengan telanjang bergerak-gerak
Suaranya lirih .Gesekan daun lebih keras dari ceramahnya
Hembusan angin demikian kencang.
Karena ini angin yang menuju kepulauan
Kawan, benarkah ia membabarkan lubang hitam ?
Sanggupkah telingamu menangkap secercah kalimatnya ?
Ataukah suku katanya terpecah-pecah
Berlompatan kian kemari mendengung di sampingmu?
Aku menunggumu berabad-abad di kaki
Menjaga dari siapa saja bertangan empat
Yang membawa parang, trisula, obor dan toya
Menjelang subuh memaksa masuk
Menggergaji tangga, menggangsir mutiara khotbah
Aku juga menghalau pelaut mabuk. Para pengira bangunan ini
Mercusuar padam. Akan kutadahi tetes-tetes frasa
Hasil pendengaran sembunyi-sembunyimu dengan jala.
Jatuhkanlah. Jatuhkanlah dari atas.
Satu persatu, huruf demi huruf
Akan kusimpan dalam bokor kencana
Agar tak dikira gendul arak oleh perompak kesasar
Aku rela sampai tua menjadi dwarapala
Sampai rambutku putih
Memegang gada. Menunggumu mendapat sepotong cerita
Aku rela melupakan sanggama. Tarak sampai ajal
Demi sandi tata surya. Demi rahasia Dharmadatu
Yang kuwariskan nanti pada ninabobo
tatkala si bungkuk mengantuk
Persamuhan
Para ksatria yang mencium kaki pertapa di masa lampau sudah datang
Dari timur laut muncul orang-orang jangkung bermata biru
Ubun-ubunnya lucu. Ada tulang tengkorak menonjol
Dari barat laut melangkah ringan ia yang bermahkota
Dari selatan mereka yang berslempang tali kasta emas
Semua duduk bersimpuh teratur melingkar
Bundaran itu mengembang dan mengerut
Jumlah yang hadir makin banyak. Meski semua tak kasat
Berduyun-duyun: tampak dan tak tampak
Jelas kini siapakah yang bersila khusyuk di tengah .
Telah seminggu matanya terpejam
Titik di dahinya bersinar. Sebuah meditasi Sinhavijrimbitha
Laksana seekor singa yang tiba-tiba mengaum
Saat ia bangun Ia akan menyampaikan sebuah perlambang
Yang mampu merompalkan tebing
Membuat tunggang langgang semua makhluk kotor pengisi hutan
Juga para pengutil kahyangan
Hari itu hari langka. Mereka para terlatih
Telah siap menerima rahasia purba kalpa
Sementara mereka – yang tak pernah tekun kultivasi
Akan bagaikan si dungu melihat si gagu
berkomat kamit .
Jaket levismu masih basah. Masih ada bau sperma
Hasil zinahmu – dengan pelacur kuil
Sebelum menerobos jalan masuk, seorang mencegahmu
“ Ki sanak berasal darimana?”
“Sudah sampai tahap apakah kesadaran Ki sanak?
“Tiada sehelai surai pun akan Ki Sanak dapat.”
Murid murid skriptorum itu mengusirmu .
Karena melihat tak ada tanda-tanda
Dirimu patut menerima pembagian cahaya
Kau merasa malu dan menjauhkan diri
Mundur berkilo kilo meter ke lembah paling samar
Berpegangan pada lumut. Bersiul-siul menenangkan diri
Dengan melodi kecil:
It’s the bluest blues – and it cuts me like a knife
Tapi aneh suara auman singa itu mengikutimu
Mengulum kupingmu
Membisikkan rahasia-rahasia suciwan,
Paling inti, yang bait demi bait
Nanti akan kurangkai menjadi cerita pada sajak-sajakku
setelah aku menguap
Song Keplek
Laut. Kamu bercerita tentang laut di bawah bukit Pacitan
Dan mengirimkan foto punggung-punggung mahasiswamu
Kau ajak mereka bersila rapi menatap gedebur tanpa batas
Seolah nun jauh di sana. Terbantun suara-suara gaib yang tenang
Mungkin dalam kelahiran lampauku
aku pernah dibuahi sperma purba
Di dalam goa-goa kapur – menjadi saksi
Homo erectus menggali kuburan
Meningalkan kapak perimbas
untuk para speolog yang terlalu banyak fantasi
Pegunungan gamping itu tentu adalah bibir atas
Sementara lembah hijau di sana adalah lobang hidung
Aku adalah nafas yang berdesir di antaranya
Melihat foto kirimanmu: aku teringat seorang meditator
Yang hilang di goa atas laut. Adakah dia terpeleset jatuh dari tebing?
Ataukah ombak besar meluap menggenangi tempatnya menepi ?
Carilah stalagmit tumpul yang menggaungkan slendro
dan stalagtit runcing yang menularkan tuts B minor.
Ajaklah mahasiswamu membuat komposisi
Dari tulang-tulang dan gigi gigi fosil
Yang terterkam mamalia liar atau terbunuh pendatang Astronesia
Biarkan aku membayangkan Mozart mengkonduktori
Sebuah requiem kepunahan spesies
*Seno Joko Suyono, menulis dua novel: Tak ada Santo dari Sirkus dan Kuil di Dasar Laut. Kumpulan sajaknya: Di Teater Dionysus masuk dalam 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2020