Puisi-Puisi Tjahjono Widijanto
BHUTA YADNYA
Ssst… jangan takut dan jangan berisik.
lengking kaingmu akan membangunkan dedaunan
api ini sekedar tarian hangat wahana ke tangga-tangga sorga
hitung baik-baik jumlah tanjakan dan kelokannya
hingga nanti kau temui sumur atau perigi
tempat membasuh dan mengibas-ibaskan ekor badanmu
sbelum beranjak pergi, pelepasan sempurna
tanpa lambaian atau pidato selamat tinggal
upacara dalam raung sunyi gelisah,
desir hening menghanguskan peta-peta jalan
Datang, datanglah nanti
ketika malam dan bulan sungsang
perjalanan baru hasil dari penuntun yang tekun
mungkin musim-musim bersunting
membuang segala bayangan juga kenangan
buruk rupa, buruk warna, busuk cuaca
menjelma pangeran rupawan meminang si jelita
atau wajah suci para pertapa bermata kanak-kanak
meski kau tetap boleh menggonggong dari lorong ke lorong
Ngawi, 2023
JEJAK KAKI ANJING DI CANDI BOJONGMENJE
Di pelataran belakang rumahmu dahulu ada panorama taman yang selalu saja basah oleh hujan. Air yang tergelincir dari langit bersama rembes matahari di balik pedhut membemtuk lapis lapis selimut cahaya samar, putih, abu-abu, bercampur kuning kecoklatan. Kau dan aku sering duduk besama dalam bangunan sederhana dan ukuran 6 x 8 m, bersama tanah-tanah perdikan, pagagan (huma), taman, padang rumput, tegalan, bukit dan lembah, juga rawa-rawa serta tepian. Mantram-mantram yang selalu bercerita tentang langit dan tatapan mata pertapa yang mencoba jeli menangkap cahaya, mendengarkan denting bening yang selalu berjatuhan.
Bersama mantram-mantram, daun-daun resah menggeliat, congormu menggonggong sepanjang malam mengikat kematian dengan dingin cakrawala.
Dipelataran, bersama bayang-bayang tegalan, lembah dan rawa-rawa, serta mantram-mantram, kau hidup bersama kematian.
Ngawi, 2023
LABRADOR RETRIEVER
matamu menyimpan tajam belati
aroma rumah jagal
syahwat kematian
mengendap di ubun-ubun
menimbun otak merambat
ke liang-liang kelenjar
legit dada dara itu. lobang
bidikan empuk dari gurih satai daging
terpanggang rentuhan kota,
kamp-kamp konsentrasi,sisa kabel stroom
inilah hasrat dahaga gunung berapi
menggelegak ceruk-ceruknya
tak puas dengan seribu mangsa
menegak api njrantal
berburu birahi di padang-padang prairi
selusin calon mangsa gemetar di bawah bulan
malaikat menyorakinya dengan guruh dan halilintar
suatu ketika matamu menjelma
bidadari mengerling manja dan sinis
bibir gincu merah menyulang anggur merah:
“pesta ini untukmu,jangan peduli bau
tengik sepatu lars usang di pojok
itu sekedar asesoris, rasakan dan hitung saja
berapa sisa kecupang di balik kutang dan leherku!”
Ngawi, 2023
ANJING DALAM MEMO KEDELAPAN BELAS
“Gelap ini biarlah menyimpan lampu-lampunya sendiri!”
Itu yang dikabarlan lelawa dari ceruk-ceruk yang gelap
rahasia waktu yang ditembus malam tak usai-usai
ada yang telah menanggalkan masa lalu
menyeberangi palung-palung musim
menjumputi nasib dan cintanya sendiri
kepeng-kepeng tua ini tak mampu bicara apa-apa
kecuali kesaksian musykil tentang para musafir
yang harus kembali menghafal nama-namanya sendiri
“masa lalu adalah batu dimana aku
mensisakan sedikit bekas cakarku di perutnya!”
bisik-bisik itu lolongan panjang mengabadi
menciptakan goa-goa pertapaan baru
terowongan dengan bau kasturi juga runcing cadas
“kutunggui kau disini, menanam bunga itu
tapi jangan tanggalkan lancip durinya!”
Ngawi, 2023
OBRITUARY ANJING PEMBURU
tuliskan kembali selarik puisi kenang-kenangan
saat kau dengar salak yang melengking
mengaing bersama sisa-sisa cahaya langit
gemetaran bersama roh-roh para mantan korban
terbunuh dirajam pisau-pisau rahang yang garang
dari daging-daging tersayat, warna maut
bagai oncor-oncor menari dalam pesta-pesta malam
sekarang dengan apa aku akan sambang
ketika aku tinggal punya sepotong ingatan
tentang bau jejak-jejak dalam malam yang dingin
bayangan tengah hujan, angin kencang, juga lari teramat kencang
sesudah revolusi yang lelah itu
bisakah kita buat percakapan panjang tentang
luas peta tanah dan kenangan warna cat rumah
lalu seperti bertahun lalu, ku harap ada ingatan
yang tersisa dari musim yang meranggas
sosokku perlahan pasti akan mengabur
sebagai bayang-bayang buram yang sesekali bergoyang
serupa hantu-hantu mantan para korban
yang juga sesekali bergoyang lambat dalam gelap
jam-jam berjalan lambat
seperti mantan para korban
ajal akan sempurna menjagalku
kubayangkan kau berkata
“setiap pagi ada yang ngopi dan ada pula yang mati!”
Ngawi, 2023
*Sastrawan nasional dan Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, alumnus Program Doktoral Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta (2020) ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya a.l: Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai Sastra (2020): Dari Jagat Wayang Hingga Perahu Lalotang: Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi Puisi 2020), Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpula Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011),), Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Kepustakaan Populer Gramedian dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000), Birahi Hujan (Logung Pustaka, 2004,) Compassion & Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009), dll. Saat ini selain sebagai penulis dan penyair juga “nyambi” sebagai kepala sekolah di sebuah SMA Negeri di Ngawi. Tinggal di jl. Hasanudin Gg Cimanuk 1 A Ngawi, HP: 082143785362, email; tjahwid@yahoo.co.id