Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono

 

Hakikat Unjuk Rasa

Lidah jalan retak-retak,
aspal menganga, menelan nyanyian perut.
Dinding gedung, gincu emas kusam,
mata penguasa tinggal bayangan di layar-layar buta.

Langit berwarna besi,
tangan-tangan menggapai udara
seperti burung tanpa sayap,
suara mereka terpanggang matahari.

Kota, labirin lapar—
jalan-jalan bersuara parau,
poster-poster berkeringat darah,
bendera-bendera tersenyum miring.

Di podium tinggi,
mulut-mulut menjahit angka
dengan benang asap,
kursi-kursi tertawa tanpa kepala.

Lalu, hujan datang,
bukan air, bukan cahaya,
melainkan kertas bertinta angka,
terbang, terbakar, lenyap.

Rakyat mengeja sunyi.

2025

 

Pasar Terbakar

Timbangan patah, angka-angka pincang,
meja kas berdebu, kosong bagai doa tak sampai.
Jalan setapak berbisik lelah,
dihuni bayang-bayang perut yang parau bernyanyi.

Di pasar, warna hilang.
Tomat membusuk berwarna bangkai,
beras tidur di karung-karung pengap,
harga melompat seperti ikan terpanggang matahari.

Di sudut, penguasa duduk,
mencelupkan jemari ke cangkir porselen,
menyeduh janji dengan gula yang menggelali.
Jendela kaca menolak wajah-wajah di luar.

Suara membesar,
meja-meja dijungkirkan angin,
kain-kain terbakar tanpa api,
hanya lapar, hanya waktu yang memadat.

Dan pasar tinggal arang.

2025

 

Laut yang Terkunci

Jaringku mengering,
ombak menggulung mimpi dalam kantung kosong.
Ikan-ikan lenyap di peta tak kasatmata,
mereka berkata: laut telah dijual.

Perahuku mengapung tanpa arah,
angin berlubang, matahari payah,
langit mengirim bayangan kota
dengan menara-menara yang memakan cakrawala.

Di dermaga, orang-orang berkumpul,
tangan kami menggenggam angin asin,
bibir kami menyebut harga beras
yang naik lebih tinggi dari layar-layar kami.

Di kapal pesiar para penguasa memandang cakrawala,
menulis peraturan di atas gelombang,
huruf-hurufnya melarut dalam udara yang asin
tanpa pernah sampai ke jaring dan jala.

Malam datang, perut menggeram,
laut tertidur dalam rantai besi,
dan aku tetap di sini,
menunggu fajar yang tak pernah menetas.

2025

 

Jembatan di Kepala Kami

Sepatu di bahu, seragam di genggaman,
aku menyeberangi sungai dengan lutut gemetar.
Air cokelat melata,
memanggul bayangan langit yang tak peduli.

Di seberang, sekolah berdiri miring,
papan-papan rapuh, dinding mengelupas,
kursi-kursi berbicara dalam bunyi retak,
papan tulis menyimpan lebih banyak debu daripada aksara.

Guruku berkata, masa depan terang,
tapi lampu di kelas kami mati sejak musim lalu.
Buku-buku tipis,
isinya seperti mimpi yang terlalu jauh.

Di kota, anak-anak lain naik mobil,
duduk di bangku empuk,
mendengar guru yang tak pernah khawatir
tentang banjir atau perut yang kosong.

Aku pulang saat senja terjun ke sungai,
langit berwarna tembaga,
dan di kepalaku, jembatan tak kasatmata
terus aku bangun, pelan-pelan.

2025

 

Kota yang Mengunyah Malam

Tumit tinggi menari di atas aspal pecah,
neon berkedip seperti mata mabuk,
wajah-wajah datang dan pergi
tanpa nama, tanpa ingatan.

Di cermin, aku melukis senyum
dengan lipstik merah—warna perang,
warna luka yang tak bersuara.
Di dada, detak jam tua menunggu pagi.

Kota ini mengunyah malam,
mengisap kulit, menelan harga diri.
Tangan-tangan menggenggam tubuh
seperti kertas yang bisa dilipat, dibuang.

Aku melihat pemilik negeri dari jendela tinggi,
jas mahal, dasi seperti tali jerat,
mereka bicara angka, bicara kebijakan
tapi tak pernah menyebut nama kami.

Saat subuh, aku berjalan pulang
melewati lorong yang lupa caranya bermimpi.
Di ujung jalan, bayanganku sendiri bertanya:
berapa harga kebebasan hari ini?

2025

 

Langkah di Atas Debu

Subuh belum mekar, aku sudah berjalan,
melewati jalan setapak yang menghafal kakiku.
Sepatu berlubang menelan kerikil,
kabut menyimpan sisa mimpi di pundakku.

Di kiri, sawah terbaring letih,
di kanan, sungai mengunyah batu-batu tua.
Jembatan bambu merintih di bawah langkahku,
tapi aku tetap melangkah, tetap menuju sekolah.

Di kelas, anak-anak menunggu,
mata mereka seperti jendela
yang belum dibuka,
menunggu cahaya, menunggu kata-kata.

Buku-buku kami tipis,
papan tulis lebih sering mengabu.
Gaji terlambat, kursi patah,
tapi ilmu tak boleh pincang.

Aku mengajar dengan sisa tenaga,
menuliskan mimpi di atas kertas yang lelah.
Mereka bertanya, apakah dunia lebih luas dari desa ini?
Aku mengangguk, meski belum sempat melihatnya sendiri.

2025

 

Dapur Tanpa Api

Di sudut dapur, aku duduk,
memeluk lutut seperti doa yang lupa caranya naik ke langit.
Kayu habis, beras tipis,
tungku menatapku dengan mata kosong.

Di luar, angin mengetuk jendela,
membawa bau pasar yang terlalu jauh,
harga-harga melompat seperti ikan licin,
tak tersentuh, tak tergenggam.

Anakku datang, perutnya bertanya,
matanya dua telaga yang menunggu hujan.
Aku tersenyum dengan bibir retak,
menyembunyikan gemetar di tangan.

Di kota, pemimpin bicara angka,
di layar kaca, janji-janji berbaris rapi.
Tapi di sini, di dapur kecil ini,
lapar bukan sekadar kata-kata.

Aku menatap tungku yang dingin,
mengusap pipi yang basah.
Malam nanti, mungkin aku akan membakar air,
agar dapur ini tetap terasa hidup.

2025

 

Punggung yang Memikul Laut

Fajar masih basah, aku sudah berjalan,
pundakku perahu, kakiku ombak.
Di pelabuhan, karung-karung berbaris,
seperti batu nisan tanpa nama.

Tangan ini mengangkat lebih dari sekadar beban,
ada utang di dalamnya,
ada mimpi anakku yang ingin sekolah,
ada dapur yang berjanji tetap menyala.

Keringat jatuh, bercampur asin laut,
derit kapal menggema seperti doa serak.
Bos besar duduk di kantor ber-AC,
menghitung laba tanpa melihat punggung kami.

Siang tiba, matahari menancap di kepala,
tapi bayaran tetap ringan seperti debu.
Kami tertawa kecil, menertawakan nasib,
karena marah tak pernah mengenyangkan perut.

Sore nanti, aku pulang dengan kantong tipis,
menyusuri jalan yang selalu tahu namaku.
Anakku bertanya, apa laut itu adil?
Aku menghela napas, menatap tangan sendiri.

2025

 

Kampus Tanpa Suara

Buku di tangan, pikiran kosong,
aku melangkah ke kelas dengan sepatu aus.
Jalanan kota sibuk menghitung uang,
aku menghitung sisa hari di dompet tipis.

Di dalam ruang kuliah, suara dosen
seperti angin yang lewat terlalu cepat.
Teori-teori berjatuhan dari bibirnya,
di luar sana, harga hidup terus melambung.

Temanku duduk termenung,
menghitung biaya skripsi dengan gaji paruh waktu.
Yang lain berdiri di depan gerbang,
mengangkat poster, meneriakkan angka-angka yang tak masuk akal.

Di podium, penguasa bicara,
menjanjikan masa depan dalam kalimat panjang.
kami tahu, ijazah bukan tiket ajaib,
dan ilmu tak cukup untuk membeli makan.

Malam datang, aku membaca di bawah lampu redup,
mencatat mimpi dengan tangan yang gemetar.
Besok, aku akan kembali ke kelas,
tetap belajar, tetap bertanya:
sejauh mana ilmu bisa mengubah nasib?

2025

 

Tangan yang Tak Terlihat

Fajar membuka mata, aku sudah terjaga,
menyapu lantai yang bukan milikku,
mencuci piring yang tak pernah kupakai,
memasak sarapan yang tak sempat kucicipi.

Majikanku duduk di meja makan,
tangannya menggulir layar ponsel,
tak menoleh, tak bertanya
apakah aku sudah makan hari ini.

Di kamar, pakaian-pakaian mahal
menunggu setrika panas,
di ruang tamu, sofa putih
tak boleh bernoda, bahkan oleh lelahku.

Di kalender, tanggal berjalan pelan,
gaji kecil menunggu di ujung bulan.
Aku menghitung angka dengan jari,
cukupkah untuk sekolah adikku di kampung?

Malam turun, aku mencuci sisa pesta,
piring-piring tertawa dalam gemericik air.
Aku memandang bayangan sendiri di genangan sabun,
bertanya apakah nasib bisa dicuci seperti noda?

2025

 

Gas, Rem, dan Jalan yang Tak Berujung

Pagi masih pucat, mesin sudah menyala,
jalanan menggeliat, lampu merah menguap.
Aku menyusuri aspal yang sama,
menghitung receh dari bangku belakang.

Penumpang masuk, penumpang turun,
wajah-wajah terburu, suara klakson memburu.
Di spion, kota berlari
tanpa peduli pada yang tertinggal.

Tangan menggenggam setir, kaki di pedal,
bensin naik, tarif tak bisa ikut.
Di luar, poster kampanye tersenyum lebar,
tapi perut anakku tak butuh janji.

Hujan turun, jok basah,
asap knalpot bercampur lelah.
Aku tetap menekan gas,
tetap melaju, tetap berharap
jalan ini punya ujung yang lebih baik.

2025

 

Tertawa yang Retak

Lampu menyala, wajahku tersenyum,
mulutku melontarkan lelucon,
ruangan penuh tawa,
padahal di dadaku, sunyi berlipat-lipat.

Aku berdiri di atas panggung,
mengocok kata seperti kartu,
menertawakan hidup yang pahit,
agar mereka lupa sejenak.

Di kursi depan, seorang pejabat tertawa,
tepuk tangannya lebih nyaring dari janji-janji.
Di belakang, seorang karyawan tertawa,
meski besok gajinya belum pasti.

Aku terus bicara, terus melempar canda,
karena di dunia yang jungkir balik ini,
mungkin hanya komedi
yang masih bisa berdiri tegak.

Lampu padam, tirai menutup,
aku berjalan pulang dalam sepi.
Di cermin kamar, wajahku tanpa riasan,
senyum itu sudah tak ada lagi.

2025

 

Paspor Tanpa Pulang

Aku mengeja namaku di paspor,
tulisan hitam di atas kertas dingin.
Di bandara, orang-orang berangkat liburan,
aku berangkat meninggalkan hidup.

Di negeri asing, tanganku sibuk,
menyeka lantai, mengangkat tubuh renta,
memasak makanan yang tak pernah kumakan,
mengasuh anak yang bukan darahku.

Majikan bicara dengan bahasa tajam,
aku menjawab dengan senyum yang dipaksakan.
Di layar ponsel, wajah ibuku membeku,
matanya bertanya kapan aku pulang.

Gaji datang, tapi rinduku tak terbeli.
Rumah di kampung semakin jauh,
anak yang kutinggalkan semakin besar
tanpa tanganku mengelus rambutnya.

Malam di negeri asing dipenuhi gigitan sunyi,
aku berbicara dengan bayanganku sendiri.
Di paspor, namaku masih tertulis jelas,
tapi aku tak tahu, apakah aku masih sama.

2025

 

Senar yang Memetik Jalan

Senar tua, suara serak,
aku bernyanyi di antara klakson dan debu.
Langit mendidih, trotoar menggigit,
tapi lagu harus terus hidup.

Di lampu merah, aku mengetuk dunia,
suara gitar melayang ke kaca mobil.
Sebagian tersenyum, sebagian cuek,
sebagiannya lagi sibuk dengan ponsel.

Koin jatuh di kaleng penyok,
seperti hujan yang tak pernah deras.
tak sampai pada sebungkus nasi
tak mampu membeli sekotak mimpi

Malam datang, trotoar dingin,
aku bersandar di tembok penuh coretan.
Gitar di pangkuan, lagu masih menggantung,
tapi siapa yang mau mendengar?

2025

* Tengsoe Tjahjono lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair ini pernah mengajar di Hankuk University of Foreign Studies Korea (2014-2017). Sejak pensiun dari Universitas Negeri Surabaya (2023) ia mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai Sastrawan Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur. Buku puisinya Meditasi Kimchi memperoleh Anugerah Sutasoma 2017 dari Balai Bahasa Jawa Timur. Penggagas cerpen tiga paragraf (pentigraf). Atas dedikasinya berkarya 40 tahun di bidang sastra ia memperoleh penghargaan dari pemerintah Indonesia melalui Badan Bahasa pada tahun 2024. Karya antologi puisi terbaru: Dari Menjerat Sepatu Sampai Membuka dan Menutup Jendela (2021), Pelajaran Menggambar Bentuk (2023), 17-an di Kampung Halaman (2024), dan Jenggirat (2025).