Puisi-Puisi Seno Joko Suyono
Sungai Neva
Arwah datu-datu Batak
Mengendap-endap dini hari
Menuju ruang pemeran tengah Kunstkamera
Sirine tak berbunyi. Tatkala tangan mereka yang uzur
Memecah lemari kaca, mengambil pustaha lak-lak
Bergambar kadal, koleksi rampasan Tsar
Dan siapa yang membawa buku ramalan itu ke tambatan kanal
Meletakkannya di arus tenang ?
“Pergi-pergi jauh dari sini, sebelum kali ini membeku”
Jaga rajah cicak purba di sampul kitab
dari musim es panjang. Reptil suciku menggigil
tanpa syal, sweater rangkap, overcoat panjang
giginya bergemeletuk, acap bersin-bersin”
“Boru Saniang Naga, Boro Saniang Naga –penguasa air
Lindungilah, lindungilah agar
mangsi merah kami tak luntur
agar kulit gaharu kami tak koyak
Kami menulis mantra mengunakan lidi pohon enau
Sesuai titahmu. Kami telah campurkan kunyit dan lendir
ikan-ikan yang mati mengambang di permukaan Toba”
Di siang itu-
Aku merasa–subway yang kutumpangi melewati kelokan tajam
Oleng. Seakan lepas kendali. Suara gemuruh air…..
Kamu berseloroh: “Kita sesungguhnya ada di bawah Neva. Pas ke arah museum”
Ada yang aneh: 20 tahun kemudian
Ketika kau meminta sebuah sajak dariku
Tentang rel berkarat Bolshevik di St. Petersburg .
Malah kuingat wajah kurator tua di galeri berwarna hijau itu
Bercerita: Suatu kali – ia melihat koleksi Samosir kesayangannya
hilang, datang, hilang sendiri, muncul kembali.
Kurator itu mungkin telah mati
Postcard Rasputin
Ke dalam toples bening
Ia menunjuk:
“Itu kelamin Rasputin.”
“Ia dibunuh.”
“Tubuhnya dicincang. Jantungnya dilempar-lempar. Ususnya
direntang-rentang. Kepalanya ditendang-tendang.”
“Clairvoyan gadungan. Clairvoyan palsu.”
Seribu buruh mengepalkan tangan
Tapi diam-diam para istri
Mencari potongan kelaminnya – membungkusnya
dalam kain bordir- bersulam gambar kastil
Dan menyimpannya – sampai kini
Sebagai kenangan bahwa pernah seorang Don Juan
Lahir – dan tewas di kota ini
“Aku tak berani menulisnya di katalog sebagai jimat,”tukasnya.
“Nanti dikira klenik,” Ia setengah menggumam
Sebentar hening
“Kamu mungkin tak percaya,” bisiknya lanjut.
“Di hari-hari tertentu, saat –kuputar himne, mars-mars lawas
kelamin itu inci demi inci tumbuh sedikit.”
Kunjarakarna
Saya lupa namanya
Perempuan itu berkacamata tebal, berkepang
Pipinya – agak totol-totol.
Ia menyebut Prof Oglobin gurunya
Tiba-tiba ia tak henti-hentinya
Berbicara tentang neraka:
“Ada sebuah dusun di tempatmu
Menyimpan gambar-gambar neraka langka
Saya ingin sekali ke sana”
Seolah tahu seluk beluk dusun itu
Ia sampai bisa menunjukkan desain
Tungku api – tempat seorang pezinah dicemplungkan
direbus hidup-hidup. Dan bagaimana bentuk penjepit lidah dari besi
Bagi sekalian rentenir
“Itu kisah asli
Tak ada di St Petersbug ini. Tak tercatat di Hermitage”
Kisah perjalanan mengarungi neraka yang mendebarkan”
Kanan-kiri menyaksikan berbagai teman dekat, pacar tersayang dihukum
Banyak alat-alat penyiksaan aneh-aneh”
Aku masih ingat reaksiku 20 tahun itu
“Apa ada kisah tamasya ke neraka lebih tua dari Dante?”sergahku
“Ah, Dante,” ia mencibir
Tempatmu itu dahulu pesantren kuno”
Itu kisah pelepasan”
“Mereka para penzina direbus? Kenapa?”
“Itu karma.”
“Para pembunuh lebih celaka. Tubuh mereka disunduk
lalu dipanggang. Dibolak-balik hingga gosong”
Saya lupa namanya
Hari-hari ini sebetulnya aku ingin bercerita kepadanya
Saat aku pulang – segera kucari dusun itu
Kuamati benar gambar wajah orang-orang yang direbus
Aku takut. Menemukan wajahku dan kekasihku di situ.
Bekas Kamp Alzhir, Kazakhstan
Jangan sampai sebuah sajak turistik tercipta dari sini
Sajak yang berpura-pura terharu
Melihat bekas gerbong maut – yang menjejalkan ribuan ibu-ibu
Ke Gulag perempuan. Ditaruh apa adanya di halaman
Tanpa dibersihkan bekas noda-noda darahnya
Tak perlu mendadak lahir seorang penyair
Tatkala memergoki – sepasang kakek-nenek renta dari Rumania –
Menyeka air mata, menangkupkan mawar
Di atas batu bertorehkan prasasti nama-nama
mereka yang diperkosa
Buanglah bolpoint itu
Lepaskan keinginan mencatat
Ratusan nama-nama susah semacam
Maya Plisetskaya, Okudzahava, Galina Aksenova…
Dokumentasi rapih sipir-sipir
Jangan keluarkan kamera dari tas
Menjepret ribuan pas foto pucat – mereka
yang distempel pengkhianat Stalin
Bila tak ingin mendengar erangan pilu
Roh-roh beterbangan di bukit putih
Cukup, cukup sebentar saja- berkhidmat
Lalu kembali pulang –balik arah, sembari menatap lagi
Sabana luas dari kaca mobil
Sabana yang mengombang-ambingkan
tatapanmu kepada kenisbian
Surat Untuk Blavatsky
Saudara-saudara tua kami sudah menunaikan tugas
Satu persatu melakukan perjalanan astral
Membumbung meninggalkan tubuh sendiri
Dari Loji Pekalongan, dari Loji Semarang,
Juga dari pesanggrahan Wonosobo
Tempatmu menatap reruntuhan candi-candi
Berbayang kawah panas
Beberapa- selamat kembali,
Menggeliat bangun, merasakan letih luar biasa
seolah asing dengan wadag sendiri,
mencari sandal rumah di bawah dipan pun sulit
apalagi meraih gagang pintu
Beberapa – lenyap, tak ingin pulang,
Menunggu bergabung bersama Maitreya di akhir zaman
Atau memilih tinggal di tanah Lemuria
yang kau ceritakan di surat rahasia
Seperti orang tua, yang sore itu kuwawancara
Ia bimbang saat dari atas melihat Sumatra jutaan tahun lalu –
Rumah bagi ras mata tiga. Ras mata Siwa. Ia ragu ragu
Lantaran menurutmu – itu benua bahagia
“Aku melihat tubuhku terbaring di kamar
Keluargaku menyangka aku tengah tidur lelap.
Anakku menggedor pintu, berteriak: Papa, sudah maghrib
sudah Maghrib. Bangun, bangun !”
“Aku gamang
Sedikit saja aku terlambat. Anakku yang manja
sudah menggoyang, menarik-narik kakiku,
membuang selimutku, menjewer-jewer kupingku.
Dan dari atas aku tak bisa
menyatu kembali.”
“Lalu?”tanyaku. “Apakah Bapak menyesal tak bisa
Menjejak Lemuria?”
Ia diam. Menghisap Gudang garamnya lamat-lamat
“Berjalanlah ke arah tenggara.
Carilah seseorang penyair kumuh di depan kios obat batuk
Ia tengah membaca sajak-sajaknya yang dimuat koran minggu”
“Ia sesungguhnya Lucifer yang bertobat .
Dia akan menjelaskan kepadamu seperti apa
pantai kebebasan itu”
Surat untuk Gurdjiev
Di belakang camar-camar mengikuti perahu kami
Laut Aegean yang tenang tersibak
Ibu-ibu menyanyikan Ave Maria
Buih-buih putih menari-nari, mengulang koor
Mesin motor dimatikan. Mata kami tak cukup kuat
Melihat biara-biara samar di kejauhan
Di buritan, seorang nyonya tua menyorongkan teleskop ke aku
“Coba intip. Saban sore para rahib jubah hitam itu
menggembalakan domba”
“Coba picing. Salib-salib di leher mereka.
Kalau kau mampu jelas menangkap kilau Yesus .
Berarti Santo Athos memberkahimu.”
Aku meraih teropong
Aku tak melihat siapa-siapa di pulau kecil itu
kecuali dirimu. Sendiri. Terpekur.
Kelak kemudian hari, kutahu
Apa arti sunyi wajahmu
Dari pulau itu –kamu pulang: mengajar sebuah perjuangan
Yang lebih revolusioner dari Marx . Atau Gramsci . Atau Zizek
: perjuangan melawan tidur.
Kamu membawa pengikutmu menghindari pasukan merah
Di setap kota. Kau menguraikan bagaimana cari tidur yang baik
“Tidur adalah latihan untuk mati,” begitu terus kau ulang
Pelajaran di pulau Aegean itu
Sesampainya di perbatasan- Turki
Kau membubarkan jemaahmu –dan seperti Paulus kepada umat di Thessaloniki,
Dari jauh kau selalu mengirim : surat-surat
Salah satu alineanya:
“Akan datang seorang Jawa ke sini.
Setelah aku mati – belajarlah ke dia
Tiap hari dia tidur tanpa mimpi.”
Di Gedung Astana Opera
Taras Bulba yang kubaca di perpustakaan SD
Menjelma di panggung. Kuda-kuda, stepa, tenda-tenda
Bazaar, istana seperti sulap. Silih berganti muncul
Dirigen yang tenang memandu komposisi Mukan Tulebayev
Libretto Kazhym Jumaliyev
Mengaduk emosi stanza demi stanza
“Mempelai, mempelai beri aku kenangan
Pengelana, pengelana. Petik gembira dombra
Lihat tumit ballerina itu terangkat
Lebih tinggi daripada penari Bolshoi Theater.”
Penonton bertepuk riuh.
Tatkala pengembara Kazakh bernama Birzhan
Menyelinap ke kamar Sara
Saling berpagut
Penonton terkesiap
Adegan pasukan gubernur
menangkap sang pengelana gunung tersaji kolosal
Panah melesat. Elang di langit memekik
“Atas nama syariat Islam kalian pantas dihukum.”
Kulhat sastrawan Korea – nominator Nobel itu
Tak henti-hentinya bertepuk tangan saat selesai
Ia mungkin teringat perbatasan
Pyongyang yang penuh pertikaian
“Bagaimana?” kata penjaga loket
Saat aku sendiri menepi
“Bagus bukan? Besok kemari lagi saja,”
Tapi pikiranku melayang ke sebrang jembatan itu .
Di situ ada kota kusam. Dengan tembok-tembok kotor
Flat-flat kelabu yang ditinggalkan
Seolah tahu pikiranku, petugas loket itu menghardik:
“ Jangan pergi ke sana. Brecht sudah usang di sini.
Di Depan Lukisan Malevich
Beri aku sebotol gin
Agar mengetahui makna trapezium merah ini
Barangkali, setenggak cognac
Akan membuat muncul dari kanvas:
Garis garis tango
Cuaca sungguh buruk hari itu,kuingat
Tuna wisma yang mati kedinginan di depan Tretyakov
Tak lagi diberitakan sejak zaman Pravda
Segi tiga . Garis biru. Jajaran genjang
Persegi panjang miring
Saling meningkap
Melayang di atas blok bok bulatan hitam
“Ayo berdansalah. Ketuk-ketuklah lantai
dengan jemari kaki mengikuti birama aneh kanvas
Atau bagaimana kalau kita diam-diam
Bersijingkat. Merampas irama aneh silinder itu
Lalu meloncat dari jendela, menebarkan ke udara.”
Agar kabut salju tak lagi kelabu
*Seno Joko Suyono menulis kumpulan puisi: Di Teater Dionysos serta dua novel: Kuil di Dasar Laut dan Tak Ada Santo dari Sirkus.