Puisi-puisi Mardi Luhung

Menunggu Istri Operasi

Gedung bertingkat ini disusun dari sekian lorong. Sekian lorong panjang yang berzigzagan. Yang dilintasi oleh yang mengambang. Yang berbaris. Yang berdehem. Juga yang berdiam di lift mengkilat yang naik-turun. Lift yang kini meluncur ke lantai dasar. Lantai tempat ditumpuknya ranjang, botol infus, kasur sepon, dan sekian cairan steril yang belum dipakai. Juga perban dan bahan pembersih ruangan yang baunya kuat. Juga dua buku puisi yang ditulis penyair yang nafasnya mulai lengket. Penyair yang punya hobi bepergian. Sambil mengimpikan, bahwa gedung bertingkat ini adalah kapal utuh yang akan menyelamatkan manusia dari banjir. Kapal utuh yang akan berlayar dengan caranya sendiri. Kadang biasa. Kadang miring. Kadang selurup. Terus melompat ke udara. Sebentar. Lalu terjun ke dalam banjir. Untuk kembali selurup. Seakan hiu raksasa kelabu yang menggeliat.

(Gresik, 2024)

 

Pesan

Pesan istri: “Lima buah mangga yang tercentel di sebelah pintu. Lima buah mangga dari rasa kangenku untukmu. Ambil, kupas kulitnya, atau langsung kau buat model kura-kuraan. Terus nikmatilah. Seperti kau menikmati hatiku yang tak pernah jauh darimu. Hati yang selalu menjadi selimut bagimu. Ketika musim penghujan tiba. Got penuh. Dan rasa dingin menggaruk kulit.”

Aku memejamkan mata. Ada senyap di dada bagian dalam. Lalu mencoba menyusun balik, sesuatu yang membuat aku dan istri demikian dekat. Saking dekatnya, degup jantung kami pun sesekali bertukar. Degup jantung yang pernah ditulis oleh si pejalan. Lewat keberanian yang berada di sayap capung. Atau yang berada di tali sepatu. Sesuatu yang jarang dihitung tapi terus bergerakkan. 

Sebab percaya, bahwa soal-soal yang bersiaga di ketinggian terus mengintip. Dan terus menjatuhkan jejaringnya, agar apa yang telah tersusun dapat menjadi semacam mayat yang masuk ke liang lahat. Yang mandah ketika tanah gembur diurukkan ke dirinya. Yang membentang ketika setiap lelangkah telah bergerak menjauh. Dan yang suntuk saat rahang lindu menelan.

(Gresik, 2024)

 

Cermin 

Beberapa si pejalan berjalan. Beberapa si duduk terduduk. Dan beberapa si berdiri pun berdiri di sebelah kiri pasar. Menanti bulan yang segera turun. Seperti turunnya penantian yang berwarna terang. Yang dapat dijadikan suluh di setapak yang remang. Saat semuanya menjauh. Meninggalkan kecupan hangat di kening. “Lalu, Istri, apa yang nanti akan tersisa?” itu bisikku. Dan umur yang pelan-pelan uzur yang mendengar pun mengerling. Dan bisikku lagi: “Istri, kenapa tak pernah bertanya tentang ini dan itu, juga yang tersisa atau tidak. Kenapa.” Sayang, istri tak ada di sisiku. Seperti patung yang sendirian, aku adalah yang menegak sendirian di genting. Membiarkan sekian kesenyapan yang ada, seakan kulit bunglon yang mahir menyaru. Dan mahir melepaskan kedua bola mata yang kini melayang gesit. Menatapi setiap yang hidup di bawah. Seperti menatapi apa yang tak pernah diduga. Tentang kejatuhan dan kebangunan. Juga tentang yang tetap samadi tak bergerak. Sebab tahu, apa yang terjadi tetap berulang dan berulang. Meski ada saja yang sigap mengorbankan sebagian tubuhnya. Dan meletakkan di meja persembahan. Sebagai sesaji bagi yang pernah merasa, bahwa suatu saat setiap yang ada akan menutup muka. Sebab cermin yang tersisa segera menyerpih.

(Gresik, 2024)

 

Pakaian Hangat

Istri adalah belahan jiwa. Kemana pun aku pergi selalu terbawa. Istri adalah arah rahasia. Yang saat aku tersesat, segera membawa balik. Dan istri berbicara lewat sunyi. Sesunyi subuh yang menggulirkan butir embun di buah jambu. Sesunyi umur yang meminta setetes air. Yang jika sudah di batas, pun merindu untuk tetap selalu bersama. Dalam jatuh dan tegak, istri tak pernah menelisik. 

Dan pernah terjadi, dengan kenekadannya, istri menunggui pintu, hanya karena maut akan menemuiku, lalu menyapa: “Hallo, apa kabar? Apa siap dirimu untuk bepergian bareng.” Dan istri pun segera mengeluarkan delapan lengannya. Yang di setiap lengan itu, ada pedang, kembang, cemeti, air, padi, sepeda, peta, buku, sisir, sepatu, dan satu set pakaian hangat untukku,  jika memang bersedia bepergian dengan maut.

(Gresik, 2024)

 

Kapan

“Mohon jangan lupa menyiram tanaman agar tetap sehat dan subur,” begitu telpon istri. Jawabku, “baiklah Istri.” Tapi aroma istri kenapa tetap membuar. Mulai dari beranda, ruang tamu, kamar utama, dapur, dan sampai pada sekian cucian yang siap dikeringkan. Dan aroma itu menjadikan apa-apa yang aku pegang merucut. Terus melompat, menjelma semacam  si burung api yang membakar hutan di hati. 

“Kapan Istri kembali,” selaku pelan. Sepelan tajam pisau ketika mengiris bawang. Mengiris perihal yang tipis dan berlapisan. Perihal tanpa inti. Tanpa ada yang bisa digenggam. Kecuali sebuah pintu. Yang ketika dibuka, terlihatlah si pejalan yang berjalan dengan batu di punggung. Batu yang semakin lama, semakin membesar dan membesar. “Kapan Istri kembali,”

(Gresik, 2024)

 

Sajak Cinta Kepada Istri

I

“Dua hari lagi, tepatnya tanggal 6, aku kembali. Jangan tunggu  aku, sebab kangen sudah melampaui tunggu,” begitu WA istri  padaku setelah subuh bubar. Dan baju istri. Dan sandal istri.  Dan mesin jahit istri. Dan tanaman istri. Dan sekian kekesalan istri padaku yang menggemaskan pun berlompatan dari tiap lekuk dinding rumah. Kenapa aku jadi bergetar. Kenapa aku merasa menjadi seorang remaja yang menghadang pacarnya di sebuah lorong sekolah dan berkata: “Mau atau tak mau, aku akan terus menyukaimu.” Waktu itu, lewat jendela sebuah kelas, seorang bu guru memandang keduanya, seorang bu guru yang kelak menjadi peri bersayap bening. Peri yang kerap muncul,  ketika si pewarna mewarnai dunia dengan kapur warna-warni. 

II

Di kesibukan tak ada yang bisa aku dengar, kecuali bisik pelan istri. Dan tentang cinta serta sejenisnya, pungut saja dari lima huruf yang menyusunnya itu. Sebab, di luaran, langit membuat umur makin uzur. Makin tersadap. Makin terpanggang oleh  kenangan yang bergeriap begini: “Oh, putih, putihlah bulan, putihlah pagi, putihlah setapak, putihlah udara, dedaunan, dan tatapanku. Tatapanku pada pipi, kening, dan lengan istri yang juga putih.” Memang putihlah tubuh istri. Juga yang mengitari  istri. Juga yang telah istri simpan di belakang. Yang berkata:  “Lihat itu, ada juga yang benar-benar nekad. Nekad yang juga putih. Putih dan putih.” Memang, antara aku dan istri, bersambung pada apa-apa yang selalu disebut sebagai putih.

(Gresik, 2024)

 

Jemput

“Jemputlah aku segera, ayo, jemputlah,” WA yang datar ini dikirim oleh istri yang kini sudah mulai sehat. Yang sebagian tubuhnya kelar dioperasi. Dan kisahnya juga akan berbelok cepat menuju ke tempat yang lain. Ke tempat tersimpannya kardus lemari es yang selalu digunakan sebagai rumah-rumahan. Terus lewat lubang kardus yang ada, pun aku teriakkan: “Hei, lihat, aku telah melihat sebutir bintang baru yang lahir di langit utara.” Langit, tempat telah ditaburkan sekian merjan agar menjadi tetanda untuk istri segera kembali. “Sungguh, Istri, ternyata kembali itu bukan ke depan, tetapi ke belakang,” tukasku dengan enteng. Mendengar ini, istri hanya menyisir rambutnya. Rambut yang lurus. Rambut yang jika purnama tiba, pun memanjang dan memanjang ke ketinggian. Ke tempat jembatan langit yang bening. Yang bersiaga. Jembatan langit yang pernah ingin aku lenyapkan. Hanya karena selembar selendang istri yang aku sembunyikan di dasar perut periuk. Selendang yang nanti akan menjelma menjadi sepasang sayap di punggung istri. Sepasang sayap yang kerap memasuki mimpi-mimpiku.

(Gresik, 2024)

 

Jalan Lama

Jalan lama. Jalan yang telah aku titipi sebagian nafasku. Dan jalan yang membuat dunia yang aku dan istri lihat menjadi demikian lapang dan terus melapang. Sampai tak ada batas yang bisa diterka. Batas yang mengingatkan aku pernah menggandeng tangan istri. Dan putih kulit istri pun menjelma warna merah dadu. Warna saat aku berkata: “Apakah Istri lelah.” Langit pun tiba-tiba bolong. 

Ada taman bersungai susu terlihat sekilas di sana. Taman yang ingin sekali aku potret tapi tak bisa-bisa. Padahal, aku telah  mendapatkan tempat membidik yang tepat. Tempat yang aku bangun dari tumpukan belulang para penatap. Yang antara satu belulang dengan belulang yang lain seakan berteriak: “Eureka!” atau “Hai, mengapa kami ditinggal!” 

Waktu itu, ada gerhana matahari total melintas. Gerhana yang menjadikan kapal yang berlayar kehilangan kompas.

(Gresik, 2024)

 

Dua Puisi ketika Istri Kembali

I

Buku itu desainnya tak presisi tapi aku beli juga. Dan lewat ketakpresisiannya, aku baca si pejalan yang berjalan melewati tugu pos, gedung museum, dan terus berbelok ke dam besar yang kering. “Aku selalu membayangkan ada kebun teratai di dam ini,” itu kata si pejalan. Sambil menatap ujung impian yang jauh. Ujung impian yang pernah digambar oleh si tukang gambar dalam warna kuning bercampur abu-abu pastel. Si tukang gambar yang kini rajin mengelilingi alun-alun. Terus mengingat: “Dulu ada air mancur di sini, dulu ada air mancur di sini.” Ingatan yang membuat aku juga teringat pada istri. Pada seorang wanita yang rajin melipat kertas dalam wujud pesawat terbang. Lalu melemparkan ke langit ketika pagi membuka tirainya yang perlahan menerang. Dan perlahan menjadikan setiap selokan menguap. Telur-telur ikan meliun dan nyamuk berguguran. Dan salah satu saatnya yang indah, pun menjadi udara. Di dalam udara itulah, buku yang aku beli, yang desainnya tak presisi itu terkhatamkan. Dan sosok istri yang aku ingat pun melekat erat di bagian kover belakangnya sedang mengaji surat-surat pendek. Surat-surat yang berisi tentang keyakinan, keluasan, terus melambar ke pesan tentang usia yang selalu selangkah ke depan. Usia yang tak berjenis kelamin.

II

“Aku memang seperti seseorang yang menyukai air mancur,” bisik si penghafal kamus di dekat cuping kupingku. Si penghafal kamus yang percaya, bahwa jalur nasib memang sepanjang jalan. Sepanjang jarak yang selalu membutuhkan kosa kata baru. Kosa kata yang diambil dari udara atau bunyi nyaring tik-tik-tik hujan di genting. “Aku percaya pada bisikmu,” jawabku pelan pada si penghafal kamus. Sambil menatap bibirnya yang terus bergerakan.  Seperti menghafalkan sesuatu yang tak berkeputusan. Sesuatu yang pernah menurunkan kerahasiaan hikmah tentang rasa kuasa yang tak jamak. Yang penah dipetik oleh seseorang yang percaya, bahwa sentuhan tak selalu membuat dunia akan terus terjaga dan terawetkan. Sebab, kehancuran tetap saja hadir. Dan tetap saja menjadi catatan yang tak bisa dihapus. Catatan yang pernah meminta si pedagang mebel agar segera membuat ranjang raksasa. Ranjang, tempat siapa saja ingin tidur dan memilih mimpi yang paling luwes. “Tapi, air mancur bukan kebun yang bisa dipanen?” tambah bisik si penghafal kamus tetap di dekat cuping kupingku. Akh, kali ini, aku tak menjawab. Aku hanya merasa, bahwa kamus yang telah dihafalnya itu akan diperbarui kosa katanya. Dan lewat itu, siapa saja tahu, bahwa ranjang raksasa yang dibuat si pedagang mebel akan menolak tegas, setiap akan dipasangi air mancur.

(Gresik, 2024)

 

*Mardi Luhung, lahir di Gresik. Dua buku terakhirnya di tahun 2022 adalah buku puisi Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya, dan buku kumpulan cerpen Jembatan Tak Kembali. Pada tahun 2010 mendapat Katulistiwa Literary Award dalam bidang puisi.