Puisi-Puisi Eddy Pranata PNP
RUMAH KECIL DI ATAS KARANG
telah kubangun rumah kecil di atas bongkah karang
dengan empat jendela selalu terbuka
tiada meja kursi, hanya selembar tikar di dalamnya
setiap lepas subuh, aku biarkan matahari
menyergap seluruh ruangan
terkadang empat, lima ekor camar hinggap di jendela
dan di luar ombak bergulung memecah
serupa zikir tak henti-henti
: “di rumah ini, aku tulis puisi untuk engkau
yang berhati pelangi!”
kupilih rumah di atas karang
karena senja selalu menyenangkan
aku bercakap-cakap dengan gelombang, angin kelat
lalu mengayuh sampan ke ceruk-ceruk yang selalu saja
memberiku ikan, kepiting, cumi-cumi, o
juga berbaris-baris puisi
aku bertarung dengan badai, petir halilintar, ombak
menggila, cuaca buruk yang pada akhirnya memberiku
kekuatan lahir batin, membuat aku paham-arif bahwa
hidup tidak mudah
: “di rumah ini aku abadikan seluruh marwah puisi!”
aku nikmati setiap debur ombak yang menghantam
aku kian menyinta laut, kekasih, kalau ada waktumu
kemarilah, bawakan sekuntum edelweis
juga kristal air mata rindumu!
: “chin, kukira engkau akan betah di rumah ini!”
Jaspinka, 26 Mei 2021
SELEPAS TINGGALKAN TAMAN AJIBARANG
selepas tinggalkan taman ajibarang
mengenakan gamis sutera putih– bagai putri nawang wulan
engkau melayang ke timur-laut naik ke bukit germanggis
ke curug cipendok mandi-mandi di air jernih dingin
berselonjor di batu yang lebar-licin, o menulis
baris-baris puisi di note handphone
: “kekasih, telah kupersembahkan seluruh hati-jiwaku
kaucuri seluruh busanaku, o, kuntum mawar serupa apa
ingin kaurampas dari wangi tubuhku?”
air jurug cipendok meluncur deras dari
ketinggian pinggang gunung slamet
jatuh ke palung dengan deru menggema serupa rindumu
memecah terbelenggu kabut
mengapung lalu musnah diterpa rentak matahari
di kejauhan, di pohon tinggi, entah pekik suara burung apa
sahut-bersahut, mungkin elang, murai batu, cocakrawa
tekukur, pleci dan kutilang
engkau susuri jalan setapak berbatu, mendaki-menurun
berbelok-belok kanan-kiri jurang
napasmu menggebubu, di bawah rimbun pohon mangga
tiba-tiba air matamu tetes, “tuhan, aku menyerah,
aku kalah,” desismu “aku tidak akan lagi turun ke gelanggang
aku tinggalkan panggung, aku lupakan semua kenangan jingga!”
engkau menyeka air mata yang memecah
kelopak matamu sembab
engkau– sekuat tenaga naik ke puncak curug
beberapa saat kemudian terjun bersama air
tubuhmu melayang dikepung kabut
hanya terdengar gema memantul ke seluruh penjuru.
Jaspinka, 1 Juni 2021
DI PINGGIR JALAN RAYA KOTA WANGON
di pinggir jalan raya kota wangon, matahari tepat di atas kepala
: “leburkan rindumu pada sepinggan es durian, lalu
lupakan amarahmu pada orang-orang nyinyir yang pandir!”
engkau lalu melangkah arah utara, alir darahmu tersirap-sirap
bayang tubuhmu senantiasa mendahului langkahmu
kadang serupa camar, kadang serupa merpati patah sayap
kadang serupa serumpun edelweis, kadang serupa bongkah
dendam yang kian menghitam
engkau terus melangkah ke utara, lurus, sampai
di pertigaan karang bawang belok kiri naik
ke bukit karang darmakradenan
menikmati semilir angin, hijau dedaunan pohon-pohon
dan semak-perdu dan ou, daun-daun jati kuning-coklat
melayang berlepasan dari tampuknya
engkau terus ke barat, melewati
tambang emas tradisional igir salak
melewati tanjakan cangkring, menyeberang kali cirebah
dan berhenti di markas jaspinka, berorasi, berdeklamasi
menyeruput segelas kopi
engkau lalu, o, menjelma baris-baris puisi, yang begitu nyeri!
Jaspinka, 1 Juni 2021
BATANG USIA YANG MENUA
pada batang usiamu yang kian menua dan rapuh
segalanya melemah; kepahitan hidup mengental
bayang masa lalu tentang edelweis dan rekah mawar
menyeret sesalmu, serupa tuba atau nila rusak susu
: “ketika itu laut bergelora, ombak deburnya memabukkan!”
dan anak-anak pantai tumbuh bergelut angin
bertungkus-lumus sunyi
engkau lalu ingat orang-orang laut yang kaukenal
entah bermukim di rimba mana, mungkin menjadi
penyair berjubah kata-kata, atau menembus laut
menebar jaring nasib, siang malam merapal doa
: “tuhan aku ingin mati berkafan kebaikan-kebaikan!”
Jaspinka, 11 Mei 2021
PERISTIWA KECIL SUATU PAGI
di luar pagi pecah
suara ayam dan burung
ia membuka jendela, pintu rumah
dan ke luar, di sudut halaman di ranting anggrek putih
seekor prenjak mematuk ulat
: paruh prenjak mencincang ulat
tamat sudah sebuah riwayat!
tidak ada yang terlihat istimewa
dan perlu dicatat
hanya kesunyian
perlahan mengental dalam sukma
: di halaman rumah kecil, di ranting anggrek
ini pagi seekor prenjak matanya memancarkan
cahaya sukacita
lalu berdencir-dencir tak henti-henti
bergerak dari ranting anggrek putih
ke ranting mawar, ke ranting melati
ke ranting hati paling nyeri.
Jaspinka, 11 Mei 2021
DINDING USIA BERGETAR
dinding usia bergetar, engkau mengukur bayangmu
dari cahaya lilin yang menyala dan leleh dalam senyap
: “o, tinggal berapa saat lagi nyala lilinmu?”
tatapanmu lindap, suaramu serak, “aku ingin
di sisa usia leleh lilin membakar batu kebaikan
menjadi serbuk keikhlasan sepahit-getir apa pun hidup!”
dinding usia bergetar, aku melihatmu
menjelma pohon cahaya
batangnya adalah keteguhan hati
sedangkan ranting dan daun-daunnya
adalah ketulusan dan kesetiaan!
Jaspinka, 1 Juni 2021
DI BAWAH SENGAT MATAHARI
di bawah sengat terik matahari
ia bertarung
menaklukkan diri
mengalahkan hawa nafsu
menundukkan kata-kata
yang liar
mulut-hatinya meletupkan doa
serupa ratusan singa lapar
orang-orang di sekitar
menarik-menyeret dirinya
ke bibir jurang
“ini manusia paling hina!”
“musnahkan!’
“terjunkan ke jurang!”
suasana riuh, matahari kian pecah
“tunggu dulu, jangan terburu eksekusi!”
“barangkali ia penulis puisi!”
“penyair?!”
seketika tubuhnya meleleh
serupa lilin tapi bukan
serupa gumpalan darah tapi bukan
lelehan tubuhnya adalah huruf-huruf
o, huruf-huruf, perlahan berubah kata-kata
o, kata-kata menjelma puisi surealis!
ratusan singa lapar terkesima
sujud dan hormat
“jangan terjunkan ke jurang!”
Jaspinka, 10 Mei 2021
IA PUKUL DINDING WAKTU
“cahaya, cahaya, cahaya!”
dada ini bergetar
pergulatan tak henti-henti
ia pukul dinding waktu
jam berdentang tiga kali
malam larut
bulan sabit terayun di senyap langit
ia meremukkan rindu tetes embun
pada segala kisah daun-daun
yang menguning rontok
melayang
jatuh di rapuh usia
“cahaya, cahaya, cahaya!”
jiwa ini berguncang
ia pukul dinding waktu
dengan segala ngilu!
Jaspinka, 9 Mei 2021
KIAN ERAT MEMELUK PUISI
ketika mulutmu menjelma harimau
dan berlari kencang di belantara
yang tandus
lalu mengendus apa saja menjadi mangsa
karena sangat lapar
matamu berputar-putar
tak ada kijang
tak ada ayam hutan
tak ada celeng
tiba-tiba engkau melihatku
serta-merta
memburuku
aku yang tengah di kubangan puisi
tak peduli
engkau menerkamku
hendak merobek perutku
mencaplok kepalaku
mengunyah jantung-hatiku
astagfirullah
tetapi engkau tak kuasa pada keikhlasanku
engkau tersungkur
diam
dengan mata berair
tak berkedip
aku kian erat memeluk puisi
sementara mulutmu
lebar menganga
menguarkan bau busuk-amis!
Jaspinka, 9 Mei 2021
SETIAP IA MEREBAHKAN RINGKIH TUBUHNYA
setiap ia merebahkan ringkih tubuhnya pada dingin selembar tikar
serta-merta ribuan ular muncul merayap
ke arahnya
lidah ular-ular menjulur-julur sesekali mendesis
merayap perlahan dengan amat tenang
ia awalnya takut bukan kepalang
tetapi setiap ia ucapkan; “wahai kekasih, enyahkan dendammu,
kita berdamai, belitlah sesukamu, patuk dan gigit tetapi jangan
mengeluarkan darah dan jangan ada rasa sakit!”
ular-ular itu berlarian ke semak-perdu, ke lobang-lobang belantara
dengan kulit-tubuh mengelupas
: “bertahun-tahun nikmati luka, aku tak pernah mengaduh!”
semak-perdu, rimbun belantara
menyimpan banyak sekali rahasia!
Jaspinka, 8 Mei 2021
* Eddy Pranata PNP— adalah Ketua Jaspinka (Jaringan Satra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Juara 3 Lomba Cipta Pusi FB Hari Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi. Juara 1 Lomba Cipta Puisi Sabana Pustaka tahun 2016, Nomine Krakatau Award 2017 dan 2019 dan beberapa lainnya. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019). Puisinya juga disiarkan di banyak media seperti Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Media Indonesia, Indopos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll. Puisinya yang terhimpun ke dalam antologi antara lain adalah: Seutas Tali Segelas Anggur (2017), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Mengunyah Geram (2017), Negeri Bahari (2018), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), Monolog di Penjara (2018), Negeri Pesisiran (2019), Reruntuhan di Bukit Kapur (2019), Rantau (2020), Jazira 5 (2020), Semesta Jiwa (2020), Banjarbaru Rayn (2020), Jalan Lurus ke Payakumbuh (2020), Hujan Pertama di Bulan Purnama (2021), Kartini Menurut Saya (2021), Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian (2021), dll.