Yang Membahagiakan, yang Menyedihkan, yang Horor, yang Humor

Pameran Seni Rupa Berbagai Era – 5

Oleh Agus Dermawan T.

Tidak setiap peristiwa akan jadi tanda-tanda zaman. Tidak setiap peristiwa akan mengisi momentum peradaban. Tapi sekecil-kecilnya peristiwa akan selalu mengilustrasi kehidupan.

——

SYAHDAN pada awal abad 19 Hotel Des Indes, di kawasan Molenvliet, Batavia (kini Jalan Gajah Mada, Jakarta) sering mengadakan acara perjamuan spesial. Bangsawan dan hartawan yang menyelenggarakan perhelatan itu kadang mengusung koleksi lukisannya dari rumah, dan dipajang di dinding-dinding ruang tempat makan. Seusai bersantap ala rijstafel, sang tuan rumah mengenalkan harkat koleksinya. “Ini lukisan Abraham Salm, pemandangan mooi di Preanger. Dan ini karya Bleckmann. Dit is het prachtige Indonesie dat de Europeanen zouden moeten zien! (Ini Indonesia cantik yang harus dilihat orang Eropa!).

Menjelang tahun 1950 Hotel Des Indes dianeksasi pemerintah Indonesia, dan dijadikan ikon kemewahan Jakarta. Lalu para tamu negara pun banyak yang diinapkan di situ. Termasuk para tamu asing peserta KAA (Konferensi Asia Afrika) 1955. Mengingat indahnya sejarah rijstafel di masa lampau, seksi kebudayaan KAA lantas punya gagasan menyelenggarakan pameran di ruang perjamuan makan para tamu, meniru gaya Hindia Belanda dulu! Namun ide itu ditolak, karena pameran hanya dipusatkan di Bandung. 

Hotel Des Indes di Batavia. (Sumber: Agus Dermawan T)

Pameran seni rupa di tengah perjamuan lantas tak pernah (minimal tak pernah terdengar) terjadi, sampai memasuki abad 21.

Pada tahun 2005 Iliana Lie dan kritikus ADT mantu. Lantaran gedung yang disewa untuk perhelatan terlalu luas, maka sepertiga dari ruangannya digagas untuk pameran. Lalu terjadilah pagelaran yang berjudul “Syair Pengantin”, dengan melibatkan sekitar 30 pelukis. Dari Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Ronald Manulang, Mario Blanco sampai Cucu Ruchyat. 

Perhelatan perkawinan diadakan pada Minggu, 21 Agustus 2005, malam hari. Pesta dimulai setelah mempelai, Aryo Seto dan Angela Suwardi, menggunting rangkaian melati yang melintang di “pintu” ruang pameran. Maka, sambil mencicipi hidangan resepsi, para tamu menonton aneka lukisan. Souvenir acara ini adalah buku berjudul Syair Pengantin yang bercerita tentang hubungan seni rupa dengan perkawinan. 

Dua hari kemudian, 23 Agustus, lukisan-lukisan yang dipamerkan tersebut dipindah ke Galeri Canna, Jakarta. Pameran di galeri ini diresmikan oleh “pengantin pengalaman”, Bunbunan JE Hutapea (Gubernur Bank Indonesia) dan Eva Riyanti Hutapea (CEO Indofood Sukses Makmur). 

Pameran lukisan “Syair Pengantin” dalam acara perkawinan, sebelum dibuka. (Sumber: Agus Dermawan T).

Mempelai Angela Suwardi dan Aryo Seto di dekat salah satu lukisan yang dipqjang dalam pameran “Syair Perngantin”. (Sumber: Agus Dermawan T). 

Gagasan pameran di tengah pesta perkawinan ini lantas dikembangkan oleh kolektor Oei Hong Djien atau OHD di Magelang. Dalam perhelatan perkawinan putranya Ignatius Igor Rahmanadi dengan Letty Suryo pada 8 Juli 2006, disusul Augustinus Omar Rahmanadi dengan Beatrix Ratna Prasasti pada 5 Juli 2008, OHD menggelar karya ratusan seniman. 

Dalam acara ini bukan cuma seni rupa yang muncul, tapi juga tukang cukur, tukang pijit, tukang ramal, tukang sulap. Acara pun seperti Magelang Fair! 

Pameran-pameran yang nyeleneh? Mungkin. Tapi seberapa pun nyelenehnya pameran di perhelatan perkawinan itu, masih kalah ganjil dengan pameran tunggal Bob Sick Yudhita Agung (1971) yang diselenggarakan di Jogja National Museum, Yogyakarta. 

Pada Oktober 2007 pelukis ini memajang sekitar 100 karya. Selain digantung di dinding, lukisannya juga digeletakkan di lantai berimpit-impit tlecekan, tak beraturan. Dengan begitu penonton yang menyaksikan harus melangkah berjingkat-jingkat di antara lukisan yang bergeletakan. Persis seperti orang menghindari jajaran jebakan. 

Pelukis nyentrik Bob Sick Yudhita Agung dengan tato di sekujur tubuh. (Sumber: Agus Dermawan T).

Lalu, di sebuah pojok ruang ada kasur gulung. Di kasur itu tampak Bob sedang tidur. Bila ada penonton pameran datang, ia bangun. Penonton pergi, ia tidur lagi. Tapi hebat lho, 80% dari lukisan yang “ditelantarkan” itu terjual di hari pembukaan!

Di kampung dan di dusun

Pameran out of the box ternyata diam-diam terjadi di mana-mana di Indonesia. Ada yang diselenggarakan di gedung bagus seperti pegelaran Bob Sick dan pameran pengantin tadi. Tapi ada pula yang tergelar di tempat kusut, suram, dengan kondisi ruang menggerus hati.

Bekas gedung bioskop Dian di Bandung yang digunakan untuk ruang pameran. Kusam dan bobrok. (Sumber: Agus Dermawan T).

Pameran seni rupa di bioskop Dian, Bandung. (Sumber: IDN Times).

Di Jalan Dalem Kaum, Bandung, ada bangunan besar bekas gedung bioskop Dian. Karena sengketa, gedung legendaris ini dibiarkan jadi rumah setan bertahun-tahun. Melihat itu, para perupa, dengan hanya bermodal sketsel, memanfaatkannya. Di dalam ruang yang cenderung gelap, dengan atap bengkah, bolong-bolong, serta lantai yang kusam menghitam, beragam acara seni digelar setiap bulan. “Di sini siapa pun boleh masuk dan menonton. Tukang ojek, wali kota, sopir angkot, saudagar, sampai penjual tape uli. Merdeka!” kata Tisna Sanjaya, kelahiran Bandung 1958, adalah perupa progresif inisiator pemakaian gedung. 

Menyinggung nama Tisna, kita tak boleh melupakan pamerannya yang digelar di pelataran Babakan Siliwangi, Bandung. Karyanya yang terbuat dari bambu itu berjudul “Doa Khusus Bagi Si Mati”. Setelah dipamerkan dengan nyaman selama beberapa lama, pada 6 Februari 2014 karya tersebut mendadak dibakar oleh Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja yang dikawal dua orang berseragam TNI (Tentara Nasional Indonesia). Kenapa dibakar? Konon Satpol mengira itu sampah. Namun menurut kabar  terakhir, karya itu dihabisi karena menyindir kesewenang-wenangan TNI. Pembakaran karya seni ini menyusul pembakaran karya Tisna yang lain, “32 Tahun Berpikir dengan Dengkul”, yang dipamerkan di halaman Gedung Sate, Bandung, 1999. 

     

Di Banyuwangi ada Komunitas Satusama. Kelompok seni yang digerakkan N.Kojin, Ben Hendro dan lain-lain ini menggelar karya seni rupa di berbagai tempat yang sangat tidak biasa. Komunitas Satusama ngelayap dan menelusuk ke berbagai kampung dan dusun di Kabupaten Banyuwangi. Dari Dusun Curah Krakal di Desa Tambakrejo-Muncar, sampai Dusun Tegal Yasan di desa Tegal Arum-Sempu. Karya mereka dipajang di dinding bangunan sangat sederhana, dekat kandang kambing dan lembu. Karya mereka dipertunjukkan di pinggir ladang yang dihiasi bebek dan ayam yang berkeliaran. Yang membuka pameran adalah Kepala Sekolah atau Kepala Desa di situ. 

Pameran lukisan Komunitas Satusama yang digelar di Desa Curah Krakal, Plumpang Rejo, Muncar. (Sumber: N. Kojin).

Pameran lukisan di Omah Walet, Desa Siliragung, Pesanggaran, Banyuwangi. Dekat kandang kambing. (Sumber: N. Kojin).

Baliho pameran Komonitas Satusama di sebuah dusun Sidorejo, Glowong, Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Jawa Timur. (Sumber: N. Kojin).

Pameran seni rupa juga masuk kampung-kampung di Lampung, Yogyakarta, Padang, Surabaya sampai Bali. Di sana banyak rumah atau studio seniman di tengah kampung dan di ujung desa dijadikan art space. Sebagian malah berada di jalan kecil yang hanya bisa dilewati pejalan kaki dan sepeda motor saja. Sementara perangkat pagelaran seni yang ada di situ juga sangat ala kadarnya. “Pameran di sini tidak menarget pengunjung yang jauh-jauh. Para tetangga selingkup RT dan RW sudah cukup. Yang penting, di sini senang di sana senang. Di mana-mana hatiku senang,” kata seorang penyelenggara.

Pada Maret 2024 lalu di Kampung Plampitan, Kelurahan Peneleh, Surabaya, Universitas Airlangga dan Airlangga Institute of India Ocean Crossroads menyelenggarakan pameran sketsa, lukisan dan seni instalasi. Tempat pamerannya adalah sejumlah rumah rusak dan terbengkelai, yang oleh warga disebut sebagai rumah hantu. Hebatnya, pagelaran yang dijuduli “Ritus Liyan” itu diisi acara lokakarya yang dipimpin antropolog ternama dari Chennai, India, Aarti Kawlra.

Praktik membatik yang mengisi acara pembukaan pameran “Ritus Liyan” di rumah terbengkelai yang jadi rumah hantu, di Kampung Plampitan, Surabaya. (Sumber: Farros Kusuma Valentino).

**

Yang horor dan yang humor

Pada 22-24 November 2000, seni rupa Indonesia dihebohkan oleh sebuah pameran dan rencana lelang lukisan karya maestro dunia. Pameran itu diadakan di Hotel Regent, Jakarta. Karya-karya yang digelar dikemas dalam juluk “The Old Painting Pre World War II”. Dari juluk yang terkesan historis tersebut, muncullah karya atas nama Van Gogh, Claude Monet, Pablo Picasso, Marc Chagall, Diego Rivera. Termasuk seniman asing yang pernah hidup di Indonesia seperti Le Mayeur, Gerard Pieter Adolfs, Han Snel, dan sebagainya. Dihadirkan pula karya-karya atas nama pelukis besar Indonesia seperti Affandi, Sudjojono, Basoeki Abdullah, sampai Hendra Gunawan.

Sampul buku katalogus pameran lukisan palsu.

Penyelenggara acara ini adalah PT Andara Mulia Perdana, bekerja sama dengan AGA Fine Arts milik Joelman Syahdam, yang notabene pemilik lukisan. Dalam brosur tampak pameran ini didukung oleh Museum Nasional Indonesia dan Dewan Kesenian Jakarta. Dalam katalogus terbaca sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan serta artikel pengantar dari Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta.

Pergelaran ini menggemparkan, karena ternyata lukisan yang dipamerkan di situ, sebanyak 110 bingkai, semuanya palsu. Yang lebih mencengangkan lagi, ternyata pameran itu akan diresmikan oleh Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, isteri Presiden Abdurrachman Wahid. Untung Ibu Shinta tahu niat buruk itu, sehingga membatalkan kehadirannya. 

Lalu pameran lukisan yang menyedihkan itu pun dikecam ramai-ramai. Kegawatan pameran tercium oleh pers. Puluhan wartawan Indonesia dan luar negeri meliput. Mereka mengatakan ini adalah skandal lukisan palsu terbesar dalam sejarah seni lukis modern dunia. Karena biasanya, di mana pun, lukisan palsu itu hanya menyelip di tengah-tengah pajangan lukisan asli. Sementara dalam pameran yang ini, semua lukisannya palsu!

Iklan jualan lukisan palsu yang dimuat di harian Kompas. Lukisan Affandi ditawarkan dengan harga hanya Rp3,5 juta. (Sumber: Agus Dermawan T).

Keberanian memamerkan lukisan palsu ini diam-diam merembet ke penyelenggara pameran lain. Sejak itu beberapa kali berjadi pameran lukisan palsu. Pada bagian lain, art dealer bodong – dengan keterbatasan pengetahuan seni – nekat memasang iklan jualan lukisan palsu di koran dan media online. Sehingga lukisan Affandi pun, yang sesungguhnya berharga antara Rp500 juta sampai Rp5 milyar, ditawarkan Rp3,5 juta. Fenomena yang berbahaya dan mengguncang kepercayaan ini lantas dianggap sebagai horor seni rupa Indonesia.

Namun di samping pameran yang horor, ada pula pameran yang mengandung humor. Pelukis Made Sukadana, kelahiran Amlapura, Bali, (1966 – 2019) beberapa kali berpameran dengan sponsor Ijek Widyakrisnadi. Dari semua pameran itu yang paling unik dan lucu adalah yang diselenggarakan di toko besar Ace Hardware, Mal Artha Gading, Kelapa Gading, Jakarta. Pameran yang terselenggara pada 9 – 17 Juli 2005 itu dipromosikan lewat selebaran yang diselipkan di koran yang dilanggani orang se Jakarta, selama lebih dari seminggu. Selebaran  propaganda pameran ala Revolusi 45 tersebut dicetak full color, dalam jumlah tak kurang dari 15.000 lembar! 

Kaca pembesar untuk pengunjung pameran yang ingin menyimak detil lukisan mashab Keliki. (Sumber: Agus Dermawan T).

Pameran lain yang agak humor adalah “Pesta Puri: Gurauan Batuan, Keajaiban Keliki” di gedung Center of Strategic and International Studies, Jakarta, 2008. Pameran ini menyajikan lukisan mashab Keliki, Ubud, yang presentasinya sangat amat luar biasa detil. Bayangkan, gambaran kepala manusia bisa diwujudkan dalam ukuran 2 milimeter, lengkap dengan mata, hidung, telinga dan mulutnya. Sementara dalam satu kertas yang hanya berukuran sejengkalan tangan, bisa muncul ratusan kepala. Karena sangat amat detil itu, panitia pameran lantas menyediakan banyak kaca pembesar atau lup di ruang pameran. Dengan lup itu pengunjung menikmati detil lukisan yang di luar akal. Lalu pengunjung pun sibuk mengintip detil lukisan, seperti ulah para pemburu kuman. ***

 

*Agus Dermawan T. Pengamat seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.