Yang Dipinggirkan Belum Terpinggir: Pameran Tunggal Bagas Andhika

Oleh: Brian Trinanda K. Adi*

Di suatu sore tidak jauh menjelang perayaan Festival Muria Raya (FMR) #5, 16-17 Agustus 2025, budayawan kondang, guru, sekaligus sosok bapak bagi tim FMR, Bapak Sutanto Mendut, mengirimkan sebuah pesan kepada saya,

“Brian, undang Bre Redana ke Pati, ajak keliling jalanan kota, bertemu tokoh lokal, dan minta beliau berpidato di Festival!”

Wah, meski karena kesibukan beliau membuat pak Bre gagal rawuh, sebetulnya tidak mungkin saya menolak arahan dari sang Guru. Saya sepenuhnya yakin bahwa setiap usulan dari beliau tidak pernah tanpa alasan. Ternyata benar, pak Bre berencana menulis dengan sebuah tajuk: “Pati Bergerak, Zaman Bergerak!” begitu kata beliau pada pak Tanto. Rencana tajuk berita tersebut menghentakkan saya, “Wah, Pati menggerakkan zaman? Bagaimana bisa?”

Dibandingkan dengan kota kabupaten lainnya di wilayah Jawa Tengah saja, seperti Surakarta, Yogyakarta, Magelang, Semarang, Pati hanyalah sebuah kota kecil, jauh dari pusat keramaian, jauh dari citra sentral kebudayaan, apalagi menjadi medan pertemuan silang budaya. Saking sepinya, kota Pati bahkan sudah lama menyandang gelar “kota pensiun.” Kenapa? Apakah karena begitu tenangnya, begitu “manut”-nya pada penguasa? Yang pasti, memang Pati tidak memiliki kemegahan mahakarya arsitektural seperti Prambanan, Borobudur, juga kampus elit yang mendatangkan dan meng-inkubasi calon-calon intelektual dari berbagai daerah seperti UGM, Undip, UMY, UNY, UNS, Unnes, juga tidak ada mega pusat perbelanjaan.

Kota ini sepi! Jujur, tidak banyak gairah lahir dari kota ini. Ia telah lama ditinggalkan, diabaikan, dibiarkan, dilupakan oleh gerak zaman. Tanyakan saja pada awak media, sisi indah, estetik, pemikirian mana dan seperti apa yang menarik bagi raksasa media seperti Kompas, Tempo, Antara, dan lain sebagainya, untuk diliput dari kota ini? Hampir tidak ada, kecuali seabreg masalah konflik semen, penambangan, kekerasan, korupsi, nepotisme, yang tidak menarik untuk pendidikan. Tapi, sekali lagi, kata pak Bre,

“Pati Bergerak, Zaman Bergerak!” Lantas apa? Bagaimana? Lagi-lagi saya rasa perlu mengutip pesan dari bapak Sutanto, “Pati itu sesuatu, Bupati kehilangan roh leluhur yang unik!” Begitu isi pesan beliau pada tanggal 9 Agutus, 4 hari menjelang demo besar 13 Agustus di pusat kota Pati, tidak hanya untuk membatalkan kenaikan pajak PBB-P2, yang memang sudah dinyatakan batal oleh bapak Bupati Pati, tetapi untuk melengserkan Bupati. Masyarakat marah! Tidak terima dengan sikap arogansi Bupati yang menantang rakyat! “Jangankan 5.000, 50.000 pun saya tidak mundur!” Begitu kurang lebih kata pak Bupati yang memicu amarah warga.

Benar, pagi itu, 13 Agustus 2025,

Indonesia menjadi saksi, bagaimana kota setenang Pati, dalam sekejap berubah menjadi kota yang riuh dan menolak tunduk. Berdus-dus air mineral, bertundun-tundun pisang, berbungkus-bungkus makanan, plus berkilo-kilo telur dan tomat busuk, juga puluhan ribu manusia berjejalan memenuhi berbagai penjuru alun-alun kota Pati. Saya tidak perlu menyitir berbagai macam kata dan kalimat kasar yang diungkapkan oleh para demonstran, tetapi yang pasti semua itu bermuara pada satu sikap, sebuah tuntutan yang dapat dirumuskan dalam satu frase “Turunkan bupati Pati!”

“Luar biasa!” Mengagetkan, sungguh, kota Pati yang sepi sekiranya tiba-tiba menggerakkan zaman. Sejak hari itu, tagar-tagar bermuatan perlawanan mulai bermunculan, seperti di antaranya “Revolusi dimulai dari Pati.” Berbagai kabupaten kota di seluruh penjuru negeri hingga ke pusat kota Jakarta mulai merapatkan barisan, meng-copy gerakan demo perlawanan di Pati.

Peristiwa ini adalah sebuah hal yang perlu dicatat baik-baik oleh sejarah! Untuk mengingatkan pada negeri ini, bahwa relasi central-peripheral, pusat-pinggiran, tidaklah mutlak. Batas-batas adalah ruang dinamis, di mana dalam ketakterdugaan, yang kecil bisa merangsek naik secepat kilat menjadi besar, begitupula sebaliknya. Tetiba muncul pula narasi sejarah yang menyuarakan kejayaan Pati masa silam. Apakah lantas dahulu Pati pernah menjadi central? Apakah benar bahwa dahulu Pati pernah gagah berani melawan kedigdayaan Mataram? Apakah benar Adipati Pragola I terlibat adu tanding melawan Panembahan Senopati? Apakah benar Adipati Pragola II pernah menantang Sultan Agung? Apakah benar Tombronegoro melawan Demak, Ki Penjawi membelokkan dukungan ke Pajang, Pragola III melawan Amangkurat I, Sunan Kuning beserta Untung Surapati menyerbu pos VOC, Ki Kromo Pati melawan pajak tanah Daendels dan Raffles, Petani Pati mogok tanam di era tanam paksa-Culturstelsel, Ki Samin Surasentika menyuarakan perlawanan, atau bahkan kyai Mutamakkin dengan dua anjingnya pernah mengkritik Mataram? Apakah benar? Wallahualam, kesemua itu bukanlah pertanyaan yang bisa saya jawab! Yang pasti benar adalah pada 13 Agustus 2025 masyarakat Pati bergerak dan dengan itulah sorak sorai berkumandang, “Pati meng-geger-kan seantero bangsa Indonesia.”

Pameran tunggal Andhika Bagas, “Di Pinggirkan Belum Terpinggir!” adalah sebuah refleksi penting tentang dimanika pusat-pinggiran, penting-tidak penting, kuat-lemah, menyenangkan-menjijikkan, indah-buruk, Pati-Jakarta—sekaligus Solo, Yogyakarta, Semarang, Magelang.

Pameran ini merepresentasikan sebuah hal, makhluk, juga gagasan tentang yang “di pinggir,” “ular.” Di negeri Indonesia kita ini, di mana ular seharusnya hidup dan berkembang dengan subur, dengan ratusan jenisnya, disinyalir mencapai kurang lebih 372 jenis ular, sayangnya, sering kali salah dipahami. Mereka tidak hanya ditakuti, namun juga disepelekan peran dan keberadaanya.

Pameran Tunggal Andhika Bagas: Yang Dipinggirkan Belum Terpinggir. Sante All Day Cafe & ArtSpace Pati, 6 Sept – 4 Okt 2025.

Bagas adalah pribadi yang jujur. Pasalnya, sebagai pecinta ular, tidak segan-segan ia mencela hewan kesayangannya. Mudah saja baginya menyatakan bahwa “ular mungkin saja memang makhluk yang jelek dan bodoh.” Bagi saya pernyataannya sungguh mengagetkan! Biasanya pecinta atas satu hal akan selalu mengelu-elukan yang dicintanya. Tanya saja pada pecinta burung, anjing, kucing, mereka pasti akan bilang, “Burung adalah simbol bagi banyak bangsa, ia makhluk yang tak hanya indah namun juga perkasa, membelah langit mencapai angkasa,“ “Anjing adalah hewan yang cantik dan setia,” “Kucing adalah peliharaan kanjeng Nabi,” meskipun dengan berbagai dalih, tentu ada beberapa orang yang bisa dengan mudah menyangkal keindahan atau kecantikan ketiga hewan tersebut. Namun, Bagas tidak seperti pecinta kebanyakan, kecintaannya pada ular tidak membutakan penilaian objektifnya. Bagi Bagas, kekurangan ular adalah sekaligus kelebihannya. Jelas, ia menerima sepenuh hati sisi objektif paradoksal ular, binatang yang dicintainya. Bagas sadar betul bahwa, keluarga reptil pada umumnya, begitupun ular, adalah jenis hewan yang tidak bisa dijinakkan. Berbeda dengan hewan kebanyakan yang bisa menjadi peliharaan, keluarga reptil sejatinya tidak akan pernah bisa menjadi hewan peliharaan, karena mereka tidak bisa diajarkan untuk mengenal tuannya. Itulah kenapa Bagas dengan ringannya mengatakan kalau ular adalah hewan bodoh! Tetapi kenapa mereka ditakuti? “Tidak hanya ditakuti loh,” tutur Bagas. Bahkan pada legenda China, yang disebut sebagai “Nuwa,” yakni ular berkepala manusia (salah satu judul karya Bagas) bahkan dianggap simbol keberuntungan. Dalam narasi mitologisnya, ditegaskan bahwa sosok leluhur Nuwa inilah yang menciptakan manusia dari tanah. Dengan paradox ini, apakah pernyataan “ular adalah makhluk bodoh” cukup untuk menjelaskan keberadaan dirinya sebagai makhluk? Tentu saja tidak, sama sekali tidak! Kawan, Bagas tidak senaif itu!

Perhatikan seksama karya unggulan Bagas dalam pameran ini, berjudul “Swam Utopiaatau “Utopia Rawa.” Karya ini mengilustrasikan dengan cermat bagaimana habitat rawa, tempat tinggal ternyaman bagi ular, yang membuat orang risih, jijik, takut dengan segenap ekosistemnya, sebagai sebuah wahana yang sangat penting dalam sistem kehidupan. Betapapun menjijikkannya rawa, juga ular, mereka adalah rangkaian dalam keseimbangan ekosistem. Pernahkan kita berpikir betapa banyaknya makhluk yang mengandalkan hidupnya pada rawa? Ikan, kadal, katak, juga tentu saja ular. Sekali lagi, mereka ada dalam satu rangkaian siklus kehidupan, dalam arti, jika rawa menghilang, ular pun akan kehilangan ruang hidupnya, lalu mereka masuk ke hunian manusia, menjadi pengganggu, dan manusia-pun tidak segan membunuhnya. Jika kawanan ular mati, lalu siapa predator pemangsa tikus? Tikus menyerang sawah, gagal panen! Lalu manusia kelaparan! Mulai terjadi sengketa, konflik, manusia saling membunuh, lalu matilah semuanya! Ironis! Tapi itulah kenyataan yang dekat dengan kita, jika kita luput memperhatikan keterkaitan kita dengan kenyataan alamiah, di antaranya, yang tak bisa pula dinafikan, ialah dengan makhluk dan wahana yang “menjijikkan,” bernama rawa dan ular. Jangan pula kita lupa, karena di kebanyakan habitat tempat tinggal manusia, ular sudah ada di sana, mereka ada sebelum kita hadir di sana. Lantas “siapa” sebetulnya mengganggu “siapa?” Kerusakan ekologis, ulah siapa? Tanyakan… pada diri kita masing-masing.

Ular juga “Cantik dan Mematikan” adalah judul dari karya Bagas lainnya yang dipamerkan pada pameran tunggal ini. Karya ini mencoba mengilustrasikan bahwa tidak semua ular ber-rona jelek dan tidak sedap dipandang mata. Sebagian mereka tampil dengan cantik dan anggun, bagai bunga, namun tetaplah waspada! Karena tidak semua yang cantik itu indah dan aman.

Karya berikutnya yang turut dipamerkan berjudul “Jelmaan.” Menyitir mitologi paling kuno umat manusia, nan juga dapat dengan mudah ditemui dalam teks-teks suci agama samawi, yakni keterkaitan Adam, Hawa, Iblis, dan Ular. Karya ini mencoba mengilustrasikan betapa tua-nya hubungan manusia dengan ular, bahkan sudah ada sejak manusia pertama kali “diturunkan” ke bumi. Kisah ini digambarkan oleh Bagas dalam Ular Cincin yang melingkari iblis yang sedang memegang apel. Orang jawa sering menyebut ular dengan corak semacam ini—belang atau loreng dan berkepala segitiga—sebagai ular jadi-jadian.

Ular juga adalah “Piweling” sebagai pengingat manusia atas janji-janjinya yang belum ditepati. Dalam mitologi Jawa disebutkan bahwa suatu waktu jika manusia didatangi ular dengan corak belang/loreng, maka ia harus segera mengingat janji-janjinya. “Adakah di antaranya yang belum tuntas ditunaikan?” Ular semacam ini banyak dikenal dengan nama Ular Weling. Hati-hati dengannya, jika anda tergigit, tidak akan terasa sakit. Namun anda akan mengantuk dan diantarkan pada tidur panjang langsung menuju akhirat!

Karya Bagas berikutnya berjudul “Sahabat Petani.” Belum lama ini Bupati Indramayu, mohon maaf, tidak seperti Bupati Pati, telah menorehkan sebuah prestasi. Di pertengahan Agustus 2025, menjelang peringatan ulang tahun ke-80 kemerdakaan republik Indonesia, bupati Indramayu, Lucky Hakim melepaskan kurang lebih 200 ular (hingga rencanya ribuan ular) dan puluhan biawak ke sawah. Bagi Bagas, langkah ini adalah langkah dengan kesadaran ekologis yang tepat. Karena, bila disandingkan dengan program pelepasan burung hantu yang digagas oleh presiden Prabowo, pelepasan ular lebih tepat guna, lebih efektif untuk membasmi hama tikus, lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan persawahan, sekaligus menjadi wahana edukasi pada petani itu sendiri tentang arti penting ular dalam ekosistem. Pada karya ini, dengan sengaja Bagas menampilan wajah ular King Cobra bermahkota untuk menegaskan tentang eksistensi ular sebagai puncak ekosistem. King Cobra memang bukan ular sawah. Tanyakan pada pak Lucky Hakim, saya pastikan beliau tidak akan mungkin melepaskan King Cobra dipersawahan warganya, tetapi sebuah karya seni tentu punya maksud lain, Bagas sadar betul akan hal itu! Yang unik dari karya ini adalah tampilnya sesosok Perempuan yang menangis. Wanita ini adalah simbol sang ular, yang meratapi nasibnya karena gagal dipahami eksistensinya oleh umat manusia.

Karya terakhir adalah rangkaian dua frame dalam satu karya berjudul “Ofidiofobia.” Secara literal kata ini berarti ketakutan ekstrem, berlebihan, dan tidak rasional terhadap ular. Bagas sadar betul bahwa ular sudah terlanjur tampil menjijikkan dan menakutkan bagi kebanyakan; jika tidak sopan kukatakan semua orang. Mengacu pada fakta ini, sesungguhnya bukan kita yang salah, Bagas lah yang salah. Ia adalah anomali! Atau justru tercerahkan? Iya dan tidak. Kenapa? Karena Bagas, sang pecinta ular, pun tahu betul bahwa kelebihan ular adalah pada kekurangannya. Tanpa ditunjang oleh narasi apapun, sudah wajar kalau manusia takut ular. Tanyakan saja pada kawan karib saya yang nggak takut raja dhemit sekalipun, mas Agung namanya, seberapa takutnya dia pada ular. “Cemen!” Tapi nggak apa-apa mas Agung, temanmu banyak, kok! Haha… Bagas menggambarkan ketakutan histeris yang dialami oleh manusia macam mas Agung ini pada frame pertama, manusia berwajah biru yang nampak berteriak histeris melihat beberapa ular yang nampak “menjijikkan.” Saya tidak salah menulis, betul, Bagas memang dengan sengaja menampilkan ular yang buruk rupa pada frame ini. Berbeda dengan frame sebelahnya, nampak Wanita berwarna merah dengan tatapan kosong. Wanita ini adalah representasi sang ular yang heran, “Hai manusia—Gung Agung—kenapa kau takut padaku? Aku kan cuma diam saja,” begitu katanya. Itulah catatan tentang ketujuh karya terpilih yang lahir sebagai buah perenungan dan interaksi yang panjang oleh Bagas dengan ular. Tetapi, Kawan, ular bukanlah semata-mata ular. Ular yang digambarkan oleh Bagas juga sekaligus menjadi sebuah representasi dari sosok, kelompok, makhluk, individu, ruang, wilayah, juga arena yang “di pinggir.” Ular sebagai mana entitas kota Pati dan manusianya sebagai lokus memang di pinggir, tapi apakah lantas ia benar-benar telah dan selalu akan terpinggirkan dalam arena dialektisnya? Tidak, sama sekali tidak! Berbagai catatan sejarah mencoba membuktikannya, mungkin saja salah, keliru, latah, ngarang, tapi tidak menafikan juga kemungkinannya menjadi sebuah kebenaran bukan? Meski kebenaran tidaklah sepenting nilai dan pelajarannya, namun bolehlah kita menengok sejenak peristiwa belum lama ini, 13 Agustus 2025! “Pati bergerak, zaman bergerak!” Kata Pak Bre. Seperti ular, warga Pati yang “di pinggir” telah membuktikan keberadaannya yang tak kalah penting bagi pusat! Ia menafikan relasi pusat dan pinggiran, bahwa tidak selamanya pusat mengatur, mengajari, mendikte, menjadi mercusuar bagi yang di pinggir. Begitu pula Bagas dan ularnya!

Lokasi pameran ini, Café/Art Space, Sante All Day, yang juga akan diresmikan bebarengan dengan pembukaan pameran ini di 6 September 2025 berada di jantung kota Pati. Saya menyaksikan sendiri bagaimana sepanjang hari, 13 Agutus 2025, warga Pati membludak hingga memenuhi sepanjang jalan Pemuda di depan café/art space ini hingga berkilo-kilo meter jauh ke timur dari alun-alun Pati. Alam raya, dengan segenap unsurnya, tanah, angin, air, api, udara, dengan segenap makhluknya, pepohonan, bebatuan, adalah makhluk yang senantiasa merekam segala kejadian. Tanah dan bangunan yang akan menjadi tiang pancang berdirinya café/art space ini pun pastinya telah merekam rentetan peristiwa ini. Jadi Bagas, ini bukan kebetulan! Pameran tunggalmu tepat berada pada titik bergeraknya arus zaman.

Selamat berpameran Andhika Bagas! Dan… selamat untuk peresmian café/art space Sante All Day!

Salam,

 

Amsterdam, 3 September 2025

—–

*Brian Trinanda K. Adi, seorang etnomusikolog dan peneliti kebudayaan yang lahir di Pati, Jawa Tengah. Sejak 2022, ia menempuh studi sebagai kandidat PhD dari Universitas Amsterdam (UvA/ASCA) sejak 2022.