Sepeda-Sepeda Kana

Oleh Bambang Bujono*

I

Gambar dan lukisan berpokok sepeda Kana Fuddy Prakoso bukan sepeda dalam ruang dan waktu. Sepeda dalam karya rupa itu bukan sepeda sebagaimana kita lihat sehari-hari. Sepeda pada karya rupa Kana adalah susunan bentuk: lingkaran, garis lurus dan lengkung tebal dan tipis. Itulah antara lain yang dipamerkannya di Ruang Dalam Arthouse, Jalan Kebayan, Gang Sawo, Yoyakarta, 1-15 Juni 2025. 

Pada satu gambar Kana meletakkan roda belakang sepeda di ruang depan. Di belakang, terlihat dari celah-celah garis-garis ruji sepeda, beberapa figur sedang melakukan suatu kesibukan. Bentuk lingkaran itu menyatukan figur-figur sebagai fokus gambar. Bentuk lingkaran tersebut kita mengerti sebagai roda belakang sepeda, tapi tak terbayangkan bagaimana roda ini bisa berputar mulus bila bentuk lingkaran itu tidak sempurna?

Gambar tersebut “menjelaskan”, Kana melihat, menghayati, dan menyimpan di bawah sadar bahwa sepeda adalah susunan bentuk dua lingkaran, sejumlah garis lurus dari pusat lingkaran menuju garis keliling, bentuk trapesium rangka, bentuk tanduk pada setang. Susunan bentuk ini tampaknya melekat dalam ingatan sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.

Lihat, satu per satu gambar dan lukisan sepeda, tak terlihat ada deformasi susunan itu. Yang kita lihat adalah beraneka sudut pandang. Susunan yang kita sebut sepeda itu terlihat dari samping, frontal, miring, dari atas, dari berbagai sudut. Yang saya tangkap, Kana tidak menyuguhkan gambaran sepeda itu sendiri, melainkan sepeda sebagai suatu “bahasa” untuk mengatakan gagasan. Yakni, gagasan yang bisa tersampaikan dalam susunan elemen-elemen seni rupa dua dimensi. Gagasan yang hanya bisa dinyatakan dalam bahasa rupa. Terjemahan bahasa ini ke bahasa lain, bahasa kata-kata misalnya, tidak bakal tersampaikan dengan utuh.

Dan sesungguhnya bukan hanya sepeda, Sketsa-sketsa Kana tidak menangkap obyek di hadapannya. Obyek-obyek itu merupakan alat atau bahasa pengucapan sesuatu yang terasakan oleh sketsernya. Sketsa-skets Kana kita apresiasi tanpa titik, melainkan terus mengalir dalam imajinasi kita. Sketsa suatu kampung dengan kabel-kabel berseliweran, kita apresiasi tidak berhenti pada pemahaman bahwa ini sebuah jalan dengan tiang listrik dan kabel-kabel. Sketsa ini adalah sebuah komposisi garis-garis memanjang bertumpuk, bersinggungan, pada suatu ruang. Garis-garis yang bukan hanya merepresentasikan kabel, melainkan gerak emosi, wacana, persepsi yang tidak terumuskan. Itulah mengapa saya tidak bosan melihat karya-karya Kana, apa pun pokok gambarnya.

Memang, pada satu gambar sepeda utuh, pada ruang kosong bidang gambar Kana menuliskan kutipan, hampir memenuhi latar belakang, tentang sepeda dari sejumlah orang terkenal. Ada kutipan sang ilmuwan relativitas, Albert Einstein. Saya terjemahkan bebas kutipan itu: “Hidup bak mengendarai sepeda, untuk menjaga keseimbangan, kita niscaya harus terus menggelinding.”  Barangkali ada yang terbantu mengapresiasi gambar ini dari kutipan-kutipan –ada yang terbaca, ada yang tulisannya susah dieja. Yang jelas terasakan adalah, tulisan-tulisan tersebut sebenarnya adalah juga garis, berpadu dengan pokok gambar merangsang imajinasi.

Tampaknya, sepeda sebagai susunan bentuk, tak membuat Kana “mengembangkan” kutipan tentang sepeda. Misalnya, ihwal sejarah sepeda. Sepeda yang tersimpan di bawah sadarnya adalah bentuk sepeda yang dikenalnya semasa kanak-kanak dan remaja (sebuah lukisan menampilkan sepeda roda tiga, sepeda kanak-kanak). Padahal, ada evolusi bentuk sepeda dari yang pertama hingga sekarang. Juga, sejarah mencatat bahwa sepeda pertama diciptakan oleh aeorang penjaga hutan di Jerman pada 1817, tatkala ongkos memelihara kuda dalam cuaca dingin begitu mahal. Tahun 1816 Eropa tanpa musim panas akibat letusan G. Tambora di Pulau Sumbawa pada 1815. Lalu penjaga hutan itu mereka sebuah kendaraan yang kemudian berkembang menjadi sepeda seperti sekarang. Dari sejarah ini bisa dikatakan bahwa Indonesia yang menginspirasi dibuatnya sepeda –satu hal yang bisa memperkaya sepeda sebagai pokok gambar dalam seni rupa.  

II

Salah satu gambar sepeda dibuat Kana pada sisi samping setumpukan kertas. Dengan sendirinya bidang gambar bebarik garis-garis horisontal.

Tampaknya Kana membawa perilaku alami masa kanak-kanak: mencoret-coret sesuka hati pada apa saja dengan apa saja yang bisa untuk membuat coretan. Itulah, kata psikolog, cara kita melatih gerak motorik, cara menyatakan emosi, cara merespons lingkungan secara visual, cara melatih belajar. Maka kita lihat, sketsa dan gambar Kana tidak hanya dibuat pada media yang lazim, seperti kertas, kanvas, papan. Ia juga terdorong secara impulsif untuk meggambari apa saja yang tampak: kardus bekas, dinding kosong, bahkan bidang yang terbentuk oleh tumpukan kertas seperti sudah saya katakan. Pada pameran bersama sketsa di Galeri Nasional beberapa tahun lalu, ia menyuguhkan tumpukan kardus bekas yang sudah “dihiasi” sketsa bermacam obyek.

Pada mulanya, demikian ceritanya, sewaktu membuat sketsa di pinggir jalan, ia melihat kardus-kardus bekas dijajarkan di trotoar, dijual. Kana tergerak, mengapa tidak membuat sketsa pada kardus-kardus itu. Saya menduga, inilah intuisi masa kanak-kanak yang masih tersimpan di bawa sadar: mengisi bidang yang bisa digambari. 

Pemilihan menggambar pada media apa pun ini menurut hemat saya bukan merupakan semangat mencari yang baru –misalnya seperti pada Gerakan Seni Rupa Baru. Kana “hanya”, seperti sudah saya katakan, mengikuti intuisi masa kanak yang masih tersimpan untuk merespons lingkungan dengan garis dan warna. (Dan respons itu tak hanya diwujudkan pada karya, juga pada prasarana dunia seni rupa. Garasi di rumah pribadinya ia ubah menjadi galeri mini, dan ia namakan Ruang Garasi.)

—-

*Bambang Bujono. Penulis, pengulas seni, terutama seni rupa