Putu Fajar, Angin dan Api

Oleh Seno Joko Suyono*

Sore, menjelang penutupan pameran lukisan tunggal Putu Fajar Arcana berjudul: Chromatica, 21 Agustus lalu saya menyempatkan  diri datang ke Galeri hotel The Dharmawangsa, tempat  pameran berlangsung. Memasuki ruangan yang cukup mewah bagi pameran tunggal pertama seorang pelukis, sekilas saya saksikan semua lukisan Putu – bergaya abstrak ekspresionis. Dari puluhan lukisannya yang dipajang saya lihat tiga atau empat di antaranya sudah ditandai dengan bulatan merah – artinya sudah terjual. 

Sampul depan katalog pameran lukisan tunggal Putu Fajar Arcana, Chromatica.

Sembari menyedu teh hangat, duduk di kursi, saya iseng-iseng bertanya kepada sahabat saya, pensiunan redaktur budaya harian Kompas itu. ”Put, kenapa pelukis modern Bali banyak mengambil jalur abstrak ya?” Saya bertanya demikian, karena saat melihat lukisan-lukisannya segera teringat sederet pelukis Bali yang lukisannya bergaya abstrak ekspresionis. Katakanlah I Gde Mahendra Yasa, I Made Sukadana, I Made Budhiana, Nyoman Erawan dan sebagainya.

Jawaban Putu cukup  mengejutkan: “Kami orang Bali, mungkin pada saat-saat tertentu ingin cepat meluapkan seluruh persoalan psikologis dalam diri untuk sebuah healing,” kata Putu. “Dan abstrak cocok untuk kebutuhan itu,”kira-kira begitu, ia mengatakan.  

Pameran ini menyajikan kurang lebih 34 lukisan Putu. Putu mengerjakannya selama kurang lebih dua tahun sejak tahun 2023. Saat itu Putu mengalami masa-masa ketegangan yang hebat akibat putra tersayangnya, Putu Rakya Ramadewa, mahasiswa Fisipol Universitas Atma Jaya Yogja wafat pada akhir 2023. Saya bisa memahami bila selama dua tahun itu -ia memilih “jalan sunyi” – menyerahkan diri kepada “bentuk-bentuk sublim yang muncul sendiri” di kanvas dari lumeran cat yang ditorehkannya atau dicipratkannya. Hal demikian tentu cukup menenangkan dan meredam emosi-emosi terdalamnya. Abstrak menjadi sebuah medium terapi diri bagi dirinya yang tengah limbung. 

Penulis bersama Putu Fajar Arcana.

Saya sekali lagi mencoba lebih lamat-lamat mengamati lukisannya. Sebuah lukisan monokrom berjudul: Midnight Petals memberikan alusi sebuah kelopak bunga yang mekar di malam hari. Lukisan ini mungkin paling sederhana di antara lukisan lain, karena hanya menggunakan warna hitam. Namun menurut saya lukisan itu satu diantara lukisan lain yang paling kuat. Lukisan itu mampu seolah menangkap gerak internal tatkala bunga itu tengah berproses mengembang. Memperlihatkan semua lapisan-lapisan kelopaknya serempak hidup. Lukisan itu bukan menampilkan bunga yang sudah jadi mekar, namun bunga yang tengah berproses menjadi mekar. Lukisan itu ibarat sebuat sketsa chinnese painting yang mencoba menangkap momen-momen tertentu yang sedetik kemudian telah hilang. Lukisan itu bagi saya seolah menjadi dasar dari seluruh lukisan Putu, karena dia paling bersahaja namun sublim. 

Midnight Petals, Acrylics on Canvas 100 X 100 Cm, 2024. (Sumber: Katalog Pameran)

Sebuah lukisan lain bagian dari seri kupu-kupunya berjudul: Wings Beneath The Vines menyajikan keintiman seekor kupu-kupu dengan dedaunan tanaman berwarna redup kemerahan. Kupu-kupu bersayap hitam transparan itu hinggap, bertengger di pinggir dan mungkin akan menyesap sari patinya. Dedaunan ditampilkan Putu dengan menghablurkan warna merah, hitam dengan garis-garis lengkung simpel putih. Sementara kupu-kupu itu memiliki sayap bening dan juga berlubang-lubang  dengan garis pinggir hitam. Putu bercerita tatkala lukisannya tengah dikeringkan, seekor kupu-kupu tiba-tiba hinggap di lukisannya. Kupu-kupu itu mungkin mengira bunga yang dilukisnya adalah bunga betulan. Pada hari yang lain kupu-kupu itu datang lagi.

Putu menganggap hal itu bukan suatu kebetulan. Dan ia segera merenungkan siklus hidup dan mati kupu-kupu. Siklus kupu-kupu adalah telur-larva (ulat) -pupa (kepompong)-imago (kupu-kupu dewasa). Kupu-kupu adalah makhluk yang setelah selesai menunaikan tugas reprosuksi (bertelur) tubuhnya melemah, sayap rusak dan mati. Kupu-kupu adalah makhluk rentan. Hujan deras, angin kencang, suhu ekstrem dapat merusak sayapnya dan kemudian mati. Dalam banyak tradisi kematian kupu-kupu dipandang bukan sekedar akhir hidup, melainkan simbol transformasi jiwa. Karena hidupnya mengalami metamorfosis, kematian kupu-kupu sering diibaratkan kembalinya roh ke alam lain setelah selesai menjalani perannya di dunia. Kematian kupu-kupu adalah lambang perpindahan dari alam fana ke alam baqa.  

Wings Beneath The Vines, Acrylics on Canvas, Diameter 40 cm, 2025. (Sumber: Katalog Pameran)

Melihat lukisan-lukisannya yang menampilkan sosok wantah kupu-kupu seperti Wanderwing, Solumbra, Garden of the Veiled Moon, The Last Flight Before Dawn atau lukisan-lukisan bunganya yang  mengandung samar-samar larva kupu-kupu yang lebur dalam daun-daun seperti: Wings of the Mystic Garden, Sacred Bloom saya menduga saat menorehkan bentuk kupu-kupu ke luapan campuran warna-warna catnya atau mengatur komposisi luberan catnya agar seolah mengandung telur-telur kupu-kupu, ia merefleksikan soal hal-hal transededen demikian.  

Wings of the Mystic Garden, Acrylics on Canvas, Diameter 40 cm, 2025. (Sumber: Katalog Pameran)

Adapun lukisan-lukisan bertema yin yang ditampilkan Putu dalam kanvas berformat -bulat, saya rasa adalah pencarian prinsip keseimbangan Putu menuju penenangan psikologis Putu mengatakan yin (warna hitam) dan yang (warna putih) adalah dua warna dasar yang saling tarik menarik untuk menghasilkan lapisan-lapisan warna yang saling menjalin. Dengan mengosongkan sebagian kanvas bundarnya terciptalah imaji-imaji menyerupai bulan separuh bayang atau pepohonan yang ranggas memasuki musim gugur. Lihatlah lukisan-lukisan di kanvas bundar berjudul: The Alchemy of Balance, Equilibrium, Veins of the Universe menciptakan kesan bulan separuh terang, bagian yang gelap tidak gelap total namun oplosan meditatif dari warna hitam, putih, merah tua dan merah tipis.  

Rata-rata pelukis abstrak untuk menumpahkan emosinya memiliki teknik-teknik sendiri dalam melukis .Banyak pelukis abstrak tak cukup hanya dengan menggunakan kuas. Contoh terkenal adalah Affandi, yang menggunakan jari jemarinya untuk melukis. Demikian juga pelukis dan performer Bali Nyoman Erawan – yang dalam happening-happening artnya sampai menggunakan telapak tangannya untuk melukis. Di Solo, koreografer Sardono yang juga dikenal sebagai pelukis – pernah melukis di atas kanvas sepanjang 20 meter dengan lebar 185 senti meter. Lukisan abstrak itu menampilkan tabrakan-tabrakan warna yang chaos. Cat ditumpahkan Sardono ke kanvas, lalu kanvas digerak-gerakannya, dan direspon dengan kuas yang sabetan-sabetannya dilakukan Sardono sembari menari.    

The Alchemy of Balance, Acrylics on Canvas, Diameter 100 cm, 2025. (Sumber: Katalog Pameran)

Putu Fajar juga tak sepenuhnya mengandalkan kuas. Kuas hanya digunakan untuk menampilkan betuk-bentuk seperti kupu-kupu selebihnya ekspresi peleburan warna-warna yang menjadi inti lukisannya tidak didapat sepenuhnya dari menggunakan kuas baik kuas besar, kecil maupun palet. Secara menarik Putu memanfaatkan  unsur api, angin dan air. 

Putu menggunakan medium akrilik di atas kanvas. Cara menggambar Putu adalah dengan membaringkan kanvas di atas meja bukan dengan menegakkan kanvas vertikal di penopang lukisan atau kuda-kuda lukisan. Putu meneteskan warna-warna akrilik ke atas kanvas. Ia kemudian menghembus-hembuskan angin dari mulut mendorong warna-warna agar saling melebur dan menciptakan komposisi-kompisisi yang tak terduga. Dia juga acap menggunakan alat bantu Hair Dryer untuk menghembuskan angin ke cat-cat akrilik di kanvas. Akrilik sendiri harus dicampur dengan cairan tertentu atau air agar encer dan bisa bergerak ke sana kemari dengan sendirinya. “Harus dicampur dan cairan dulu agar akrilik tidak kental, tapi fluid bisa berjalan saat dihembus angin,” katanya.  Putu juga menggunakan unsur api. Ia menggunakan semprotan gas pemantik api atau flame gun blow torch. Api yang diarahkan ke percampuran cat itu menghasilkan  nuansa bintik-bintik yang memberikan permukaan memiliki tekstur lain. Silakan lihat lukisan berjudul: Solumbra atau Symphony of Shadows and Light, bintik-bintik yang ada di sekujur lukisan yang menambah lapisan kedalaman tekstur  adalah hasil dari semprotan api itu. 

Solumbra, Acrylics on Canvas, 25 X 30 Cm, 2025. (Sumber: Katalog Pameran)

Saya menduga lebih dulu Putu menciptakan habluran-habluran abstrak dengan teknik hembusan api dan angin itu secara intuitif baru  kemudian ia merenungkan bentuk-bentuk apa yang bisa ditambahkan ke dalam tingkap meningkap warna tersebut, bukan sebaliknya- membuat figur dulu lalu menghiasinya dengan orkestrasi campuran cat-cat abstrak. Tatkala ia melihat kupu-kupu hinggap di lukisannya, ia kemudian merasa pas menambahkan wujud kupu-kupu. Saya rasa demikian juga saat ia menyajikan tiga lukisan yang bertema bhante thudong. Thudong adalah tradisi spiritual para pertapa hutan di Thailand untuk melakukan perjalanan kaki jauh. Dua kali para bhante dari Thailand melakukan perjalanan thudong dari Thailand menuju Borobudur. 

Tiga lukisan itu bernuansa warna dasar kuning. Saya memperkirakan lebih dulu Putu mencipratkan – meniup-niupkan angin ke lelehan semburat warna kuning di kanvasnya. Setelah mengamati dan merasa-rasakan hasilnya, ia secara intuitif merasakan warna kuning itu bisa menyimbolkan warna pencerahan. Lalu ia menambahkan ke komposisi kuning itu sejumlah orang yang mengenakan jubah oranye bhante berjudul: Boundless of Enlightmen, From Flesh to Flame, The Soul Remember The way. Saya tidak tahu apakah  kuning merupakan warna penyembuhan. Namun warna kuning yang muncul di kanvas Putu setelah ditiup-tiupkan angin adalah bukan jenis warna kuning cerah yang menyengat seperti terik sinar matahari atau warna kuning ceria namun kuning yang mengendap. 

Boundless of Enlightmen, Acrylics on Canvas, 100 X 100 Cm, 2025. (Sumber: Katalog Pameran)

Dari tiga lukisannya,yang berkaitan dengan bhiksu di atas, warna kuning yang saya anggap paling terasa komposisinya adalah yang berjudul:Boundless of Enlightmen. Warna kuning itu seolah gejolak terjangan air bah yang harus berani dihadapi dan dimasuki oleh para bhante.Para bhante itu – meski hanya ditampakkan dari belakang – seolah  melangkah bersama-sama memasuki arus cahaya yang menubruk liar ke diri mereka. Cahaya pencerahan seolah harus diraih atau dicapai dengan suatu keberanian dan keteguhan hati tanpa ampun sekaligus penderitaan yang luar biasa. Saya pernah di Kendal, Semarang, Ambarawa – ikut masyarakat menyambut kedatangan para bhante Thailand yang melakukan thudong. Masyarakat demikian padat di kanan kiri jalan. Namun para bhante itu berusaha menahan diri -tidak berhenti menerima makan lalu melahapnya bersama masyarakat. Mereka  tetap berjalan terukur menuju vihara-vihara yang mereka tuju. Tujuan utamanya mungkin sebagaimana disimbolisasikan Putu dengan warna kuning itu adalah: cahaya. Borobudur yang menjadi destinasi utama setelah melangkah ribuan kilo bagi mereka  adalah bukan sebentuk arsitektur fisik belaka namun cahaya. “Saya merasa kaget, pada saat pembukaan pameran, ada dua bhikku yang datang, padahal saya sama sekali tak mengundang dan kenal mereka,”kata Putu.   

The Soul Remember The way, Acrylics on Canvas, 80 X 100 Cm, 2025

Pameran pertama Putu ini cukup lumayan. Putu masih berpotensi besar mengembangkan teknik dan temanya. Ke depan ia bisa  mengeksplor lebih jauh teknik tanpa kuasnya yang unik itu. Api (teja), angin (vayu), air (apas) dalam kosmologi mistis Hindu Bali adalah bagian dari elemen Panca Mahabhuta. Dua unsur lain adalah tanah (prthivi ) dan ether (akasa). Sebagai seorang Hindu, tentu Putu menyelami dengan baik pemahaman kosmologi ini. Putu bisa melanjutkan eksprimentasinya dengan mengolah unsur tanah dan ether, entah bagaimana caranya. Yang penting Putu, tetap mempertahankan kesubliman lukisan-lukisannya yang sudah dicapai pada pameran perdana ini. Lukisan abstrak baginya bukan sekedar “jlebret art” namun juga sebuah komposisi tak terduga yang menciptakan perasaan lega – sebuah  healing. Ia sebuah spiritual journey.             

*Pensiunan redaktur budaya Majalah Tempo