PURA MANGKUNEGARAN dan “Geger Pecinan”
Oleh Agus Dermawan T.*
Pura Mangkunegaran dan harta karunnya sarat cerita sejarah. Apa hubungannya dengan peristiwa “Geger Pecinan”? Ada sejumlah lukisan Basoeki Abdullah yang ringkih dan rusak, sehingga buruk rupa.
______
BELUM lama berselang saya diajak Rian Artemis Sebastian berkunjung ke Pura Mangkunegaran di Surakarta. Tentu saya terkejut, betapa cucu saya ini, yang berusia 18 tahun, memiliki apresiasi terhadap keraton. Jagad yang selalu dikonotasikan sebagai “masa silam”, yang sangat berjarak dengan dunia gadget milenial yang riuh dengan segala aplikasinya.
“I want to know the past, Kung,” katanya. Maminya, Angela, tersenyum. “Itulah dia! Gen Z ternyata tidak nguprek di gaming saja,” ujarnya.
Dengan membayar tiket Rp30.000,- per orang, kami memasuki halaman luas Pura Mangkunegaran. Gerimis yang rintik tidak menghalangi niat kami untuk menyapu pandang seluruh sisi luas lapangan. Keanggunan pura (baca: istana) tergambar dengan seksama, meski dalam pengamatan sesingkat-singkatnya.
“Paling depan itu adalah pendopo yang luasnya 3.500 meter persegi. Sampai sekarang pendopo itu disebut sebagai balairung paling luas di Indonesia. Padahal itu dibangun pada 1815, atau 210 tahun silam!” tutur Agung Setyodinoto, pemandu senior yang membimbing kami.

Pura Mangkunegaran, Surakarta. (Sumber: Agus Dermawan T).

Rian Artemis Sebastian di depan pendopo Pura Mangkunegaran, di dekat patung singa dari Jerman, dengan tas plastik yang berisi alas kaki. (Sumber: Agus Dermawan T)
Masih dalam gerimis kecil, kami beringsut menuju ke pura. Setelah membuka alas kaki, dan menyimpannya dalam tas plastik, kemegahan pendopo kami tatap dengan terpesona. Apalagi setelah mendengar cerita bahwa pendopo ini dibangun dari kayu jati terbaik yang diambil dari hutan di sekitar Solo. Konstruksinya kukuh meski tanpa menggunakan paku. Plafonnya yang tinggi dihiasi ornamen indah kumudawati, yang merupakan akulturasi visual Jawa dan Eropa. Begitu pula dengan chandelier atau lampu gantung, yang liukan logamnya mengingatkan unsur hias Belanda dan Jawa.
Ya, para penguasa Mangkunegara memang memiliki hubungan baik dengan Eropa. Itu sebabnya di depan pendopo terdapat patung singa emas, yang dibawa dari Jerman. Bukan arca raksasa dwarapala misalnya, yang biasa dipercaya oleh orang Jawa Hindu Budha untuk berjaga-jaga.
Sahibulhikayat berkisah, pendopo ini konon secara gaib pernah menampung 10.000 orang. Penampungan selaksa itu terjadi seusai pertemuan raja dengan Nyai Roro Kidul Si Ratu Laut Selatan di panggung Sangga Buwana, tak jauh dari kediaman Mangkunegara. Padahal dalam kenyataannya, diisi 3.877 orang saja pendopo ini sesak dan bikin orang susah bergerak.
Di pendopo ini kami melihat sejumlah perangkat gamelan berbagai jenis, yang masing-masing (harus) menunaikan fungsinya sendiri-sendiri. Gamelan Kyai Lipur Sari misalnya, yang ditabuh tiap hari Rabu mengiringi latihan dan pertunjukan tari. Gamelan Kyai Seton yang ditabuh setiap hari Sabtu. Gamelan Kyai Baswara, yang diyakini buatan ahli musik era Kerajaan Demak, akhir abad 15. Kabar bisik-bisik, pada hari tertentu dalam putaran 40 hari gamelan ini berbunyi sendiri pada menjelang subuh. Ada pula gamelan Kyai Udan Asih dan Kyai Udan Arum, yang ditabuh saat musim kering. Fungsinya, untuk mengundang air dari langit. Bahkan ada gamelan Kyai Mardiswara yang katanya terbuat dari kristal made in Jerman. Tapi perangkat gamelan ini tidak dipertontonkan.
Gamelan memang jadi ikon Pura Mangkunegaran. Tapi yang pantang dilupa adalah gamelan Kyai Kanyut Mesem. Ada cerita hebat mengenai perangkat musik ini. Suara musikal Kyai ini pada 6 Januari 1937 secara khusus disiarkan oleh Solosche Radio Vereeniging, untuk mengiringi Gusti Nurul (Siti Noeroel Kamari Ngasarati Koesoemo Wardhani) yang sedang menari di depan Ratu Wilhemina dan para anggota kabinet Belanda. Tarian di Istana Noordeinde-Amsterdam itu digelar dalam rangka merayakan hari pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Benhard. Dramatis juga, sampai isteri saya, Iliana, lama ternganga.

Gusti Nurul ketika menari di Istana Noordeinde, Amsterdam, pada 1937. (Sumber: Pura Mangkunegaran).

Lorong Dalem Ageng dengan lemari yang menyimpan benda-benda bersejarah. Di antaranya “kunci kelamin”. (Sumber: Agus Dermawan T).
Masuk terus ke dalam, kami menelusuri lorong Dalem Ageng, yang menyimpan benda-benda bersejarah beraroma Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Ada alat-alat makan dari emas yang konon bisa mendeteksi adanya makanan beracun. Ada beberapa tombak dan keris maha sakti. Ada malaikat emas yang menawari siapa saja ke surga. Lalu, di sebuah lemari kaca saya melihat benda yang dinamai badong. Inilah “kunci kelamin” yang dipakai untuk mencegah perempuan berselingkuh.
Badong ini membuat kami bertanya-tanya: apa benar perempuan Solo bisa selingkuh? Setidaknya setelah saya melihat betapa para perempuan yang sedang bekerja di resto Pracima Tuin tampak anggun, santun, ramah, halus, dengan kecantikan yang mewarisi keayuan Gusti Nurul! Tak ada sedikit pun aura selingkuh. Nikmat dicatat, Pracima Tuin adalah resto di kompleks Pura Mangkunegaran yang menawarkan kuliner warisan klasik Jawa, dengan penyajian ala keraton, dengan dilingkupi taman asri. Siapa pun bisa bersantap di sini, asal bayar dengan didahului reservasi.
Hasil dari pertumpahan darah
Dari keasyikan menikmati sisi-sisi Pura Mangkunegaran itu, ingatan kami pelan-pelan dibawa menuju ke sejarah masa lalu. Jauh sebelum pura ini ada. Dan itu bisa dimulai dari Batavia dan Kerajaan Mataram. Kerajaan besar yang memiliki wilayah luas, dari selatan (yang kemudian disebut Yogyakarta) sampai wilayah timur laut (yang kemudian disebut Kartasura).
Alkisah, pada tahun 1740 tentara Belanda yang dipimpin Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier membantai orang-orang Tionghoa di Batavia. Masyarakat Tionghoa murka, sehingga di Batavia terjadi keributan besar. Orang-orang Tionghoa pun memobilisasi warga untuk melakukan pemberontakan. Dalam gerakan berani mati yang dikenal dengan “Geger Pecinan” itu bergabung pula rakyat bumiputera yang anti Belanda. Pemberontakan ini berkembang dahsyat, sampai akhirnya merembet ke Jawa Tengah, dan mengancam Kartasura, bagian dari kerajaan Mataram yang ditengarai agak-agak pro penjajah.

Angela dan Iliana, dua turis dari Jakarta, berpose di taman indah Pura Mangkunegaran. (Sumber: Agus Dermawan T).
Melihat heroisme warga Tionghoa dan bumiputera, raja Kartasura Paku Buwono II segera menyokong para pemberontak. Namun begitu menyaksikan kelompok pemberontak terdesak, Paku Buwono II berbalik arah. Ia memihak Belanda. Sehingga Keraton Kartasura pun diserbu para pemberontak Tionghoa dan pemberontak bumiputera yang dipimpin Mas Garendi, pada 1742. Setelah Keraton Kartasura terbakar habis, Paku Buwono II ngibrit melarikan diri ke Ponorogo. Meski pun pada tahun-tahun berikutnya Paku Buwono II bisa kembali ke Kartasura, ketika pemberontak berhasil dipukul mundur oleh Belanda. Melihat keratonnya ludes, Paku Buwono II membuat keraton baru di daerah Surakarta, yang dinamai Keraton Surakarta. Bersamaan dengan itu sang raja membangun keraton lain (yang dianggap lebih suci) di Desa Solo.

Patung emas sosok Tionghoa yang memikul beban. Simbol dari peristiwa Geger Pecinan, cikal bakal berdirinya Pura Mangkunegaran. (Sumber: Agus Dermawan T).
Tapi pergolakan politik terus-menerus terjadi sampai belasan tahun. Berbagai perundingan dilakukan. Sampai pada 13 Februari 1755 ditandatangi Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini memuat ketetapan bahwa Kerajaan Mataram dibagi dua. Yakni Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin Pangeran Mangkubumi I (bergelar Sultan Hamengku Buwono I), dan Kasunanan Surakarta yang tetap dipimpin trah Susuhunan Paku Buwono.
Eh di kasunanan ini mendadak muncul tokoh yang bernama Raden Mas Said. Pemikir politik yang mewarisi keberanian Mas Garendi ini bersekutu dengan Sultan Hamengku Buwono I untuk melakukan perlawanan keras terhadap kasunanan. Hasilnya, Surakarta terpecah. Sampai akhirnya dibagi jadi dua kerajaan kecil, yakni Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Mangkunegaran. Kerajaan terakhir ini tentu dipimpin Raden Mas Said, yang lalu bergelar KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya) Mangkunegara I, dan berkuasa pada 1757 sampai 1795.
Pada kemudian hari keturunan Mangkunegara I mendirikan Pura Mangkunegaran, dengan di dalamnya tak menghilangkan jejak sejarah. Misalnya, dalam interior pendopo terdapat patung-patung orang Tionghoa sedang mengangkat beban berat, dalam warna emas. Patung yang dikerjakan pengrajin Eropa ini merupakan pengingatan peristiwa Geger Pecinan.
Tahun terus berjalan. Dekade berguling dan abad berganti. Sampailah pada abad 20. Pada tahun 1943 Susuhunan Paku Buwono XI wafat, dan digantikan Paku Buwono XII yang baru berusia 22 tahun. Lantaran dipimpin raja terlalu muda, yang notabene mentah dalam pengalaman, Surakarta absen dalam pemikiran politik. Sementara Mangkunegara tetap aktif berpolitik dengan menyuarakan nasionalisme dan memperjuangkan kemerdekaan.
Namun pada pasca kemerdekaan kekuasaan politik kedua kerajaan ini akhirnya dihapus. Dengan begitu Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya. Karena tempat ini wah-wah gemah ripah dan mewah, serta mengandung unsur-unsur budaya Jawa yang luar biasa, maka keraton pun jadi semacam museum atau tempat wisata. Bahkan pada 1990-an pemerintah mendorong Pura Mangkunegaran (khususnya) sebagai pusat budaya Jawa.
Lukisan rapuh Basoeki Abdullah
Kembali ke materi Pura Mangkunegaran. Pada satu ruang terbuka, pura ini memajang lukisan-lukisan yang berobyek keluarga terhormat Keraton Mangkunegaran. Lukisan itu menggambarkan KGPAA Mangkunegara VII, Gusti Kanjeng Ratu Timur, permaisuri dari KGPAA Mangkunegara VII, atau ibunda dari Gusti Nurul si penari cantik jelita itu. Ada pula lukisan sosok KGPAA Mangkunegara VIII, kala berusia likuran tahun. Juga potret Gusti Kanjeng Putri Sunituti, dalam baju merah, dengan kain jarik bercorak kawung.

Lukisan potret Gusti Kanjeng Putri Sunituti karya Basoeki Abdullah yang rusak, di pendopo Pura Mangkunegaran. (Sumber: Agus Dermawan T).

Basoeki Abdullah kala melukis Gusti Kanjeng Ratu Timur (Sumber: Dokumen)
Menarik sekali, ternyata semua lukisan itu adalah karya maestro seni lukis Indonesia Basoeki Abdullah, yang dicipta sebelum Indonesia merdeka. Sebelum melukis semua itu Basoeki memang pernah tinggal di lingkup Pura Mangkunegaran, kala ia diangkat sebagai anak oleh Sulaiman Mangunhusodo, dokter keluarga keraton Mangkunegara.
Melihat lukisan-lukisan yang bagus itu kami mendadak prihatin. Semua karya tersebut kurang terpelihara. Pernis tebal menyelimuti permukaan cat dan merubah warna lukisan jadi buram dan gelap. Percikan laburan dinding membekaskan noktah di kanvas. Beberapa lukisan tidak terbentang sempurna di spanramnya, sehingga agak menggelembung. Catnya banyak retak dan terancam terkelupas. Yang paling parah adalah lukisan Gusti Kanjeng Putri Sunituti, yang kanvas dan cat bagian bawahnya tampak keropos. Peletakan lukisan di ruang terbuka yang sering diterpa cahaya matahari, adalah salah satu penyebab kerapuhan, kelunturan dan kerusakan. Walhasil lukisan istimewa itu jadi buruk rupa.
Mengingat ini adalah lukisan bersejarah ciptaan maestro, pembenahan harus segera dilakukan. Restorasi yang cermat harus segera dilaksanakan. Bandingkan dengan lukisan Basoeki Abdullah “Gusti Nurul Dalam Busana Opera Cina” koleksi Presiden Sukarno, yang kini berada di Istana Presiden Indonesia. Lukisan itu tetap mulus, cerah, jernih, meski dicipta pada masa yang tak jauh berbeda.
Bedakan pula dengan dua lukisan Bali yang bertandatangan Dewa Gde Sobrat (bukan Anak Agung Gde Sobrat), yang terpajang di ruangan tertutup Pura Mangkunegaran. Kondisi lukisan ini bersih, warnanya bercahaya, meski sudah 80 tahun usianya.
Melihat wajah saya agak muram, si cucu Rian Artemis Sebastian bertanya: “Kung, is there a problem with the Mangkunegaran collection?” ***
*Agus Dermawan T. Kritikus. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.