Nyaris Mati: Si Pasar Seni

 Oleh Agus Dermawan T.*

Sejak lebih dari 10 tahun lalu Pasar Seni Ancol pelan-pelan melorot pamor dan eksistensinya. Zaman sudah berubah, tapi si pasar lupa cara menresponnya. Padahal inilah pasar seni paling legendaris di Asia Tenggara.

——–

PADA 28 Februari 2025 tempo hari Pasar Seni Ancol atau PSA genap berusia 50 tahun. Luar biasa, dalam usianya yang setengah abad itu PSA ternyata tidak membuat perhelatan dan seremoni apa-apa. Padahal, seperti dikatakan Ir Ciputra, sang pendiri, “PSA adalah ikon Taman Impian Jaya Ancol, dan kebun seni terbesar di Indonesia. PSA juga nyata telah mengalahkan Montmartre, pasar seni di Paris.”

PSA di Jalan Lodan Timur, Ancol, Jakarta Utara, memang sudah pingsan sejak lama. “Lebih dari sepuluh tahun PSA mati suri,” kata Mansyur Mas’ud, pegrafis senior PSA, dan kini “kabur aja dulu” ke Belitung.

PSA, yang pada 1980 sampai 2000-an memiliki ratusan kios dengan ratusan pekerja seni, memang sudah “mati”. Bisa jadi ia “mati sendiri” karena sudah dianggap ketinggalan zaman – mengingat gerai model kios alam terbuka sudah dilahap oleh art space atau galeri yang sejuk nyaman udaranya. Atau bisa jadi “sengaja dibikin mati” lantaran pihak manajemen mengabaikan, mengingat PSA sudah bukan lagi sumber mata uang.

Ir. Ciputra, pemimpin puncak PT Pembangunan Jaya 1961-1996, pendiri Pasar Seni Ancol, Jakarta. (Sumber: Dokumen)

Atas “kematian” yang menyedihkan itu saya mendadak ingin menengok ke belakang. Betapa pada masa silam pasar seni yang telah dikunjungi jutaan orang ini adalah ladang seni rupa dengan langkah yang banyak diperbincangkan. Seperti upaya PSA menarik para seniman dari studionya, untuk bekerja di ruang publik. Atau konsep memasarkan seni rupa secara terang-terangan. Padahal pada kurun sebelumnya seni rupa (pada level tertentu) diangkat sebagai cipta sakral, yang dijauhkan dari citra benda dagang ecek-ecek di hamparan taman.

Seniman akademis

Sejak awal berdiri warga PSA menolak anggapan bahwa mereka adalah penggubah seni ecek-ecek yang mengecer-ecerkan ciptaan. Dan sejak awal pula mereka mempercayai tausiah Edmund Burke Feldman, bahwa seni itu memiliki tiga fungsi utama, yakni fungsi personal, fungsi fisik dan fungsi sosial.

“Produk seni pasar seni memang dipasarkan. Namun kualitasnya tidaklah pasaran! Karena PSA hanyalah tempat sosialisasi karya seniman yang dicipta dengan semangat personal. Sehingga sesungguhnya mereka bekerja untuk karyanya sendiri, bukan untuk kebutuhan market. Display karya seni di ruang publik seperti pasar seni adalah untuk menunaikan fungsi sosial. Sementara kehadiran seniman di tengah pasar hanyalah untuk menunaikan fungsi fisikal,” kata Salim Martowiredjo, pelukis PSA pemegang sejumlah penghargaan internasional. 

Ucapannya tentu diamini secara bersama. Setidaknya setelah penglihatan dipalingkan ke sejarah PSA kala berdiri pada 1975, ketika pasar masih bernama Bazar Seni Rupa, dengan kios-kios amat sederhana beratap rumbia. 

Pagelaran jlebret art di pelataran Pasar Seni Ancol, dengan keriuahan penonton. (Sumber: Orami)

Payung-payung fantasi, ciri khas meriah Pasar Seni Ancol. (Sumber: Agus Dermawan T)

Kala itu tak kurang dari Otto Djaya, Agus Djaya, Harijadi Sumodidjojo ikut meramaikannya. Masyarakat seni pemaham sejarah pasti tahu, betapa nama-nama itu adalah tokoh yang membesarkan dunia seni rupa Indonesia sejak lama. Otto dan Agus adalah seniman penting zaman Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) tahun 1938. Harijadi adalah pelukis ikonik Angkatan 45. Kehormatan atasnya dibuktikan pada Januari 2024 kala lukisannya, Sosialisasi Pemilihan Umum (1954) terjual Rp2,8 milyar dalam lelang di Singapura. 

Prestis PSA terus beringsut dari tahun ke tahun. Menjelang 1980 pasar seni yang menempati areal seluas 5,3 hektar itu telah dihiasi banyak nama akademis. “Puluhan perupa tercatat sebagai mahasiswa, jebolan akademi, lulusan akademi dan dosen seni rupa dari berbagai daerah,” kata Waluyo, wakil manager PSA kala itu. 

Para seniman tersebut dengan khidmat memajang karya yang dibawa dari studionya. Namun oleh karena disyaratkan agar para seniman juga berpraktik di lapangan, maka mereka pun bekerja asyik di kios masing-masing. Atraksi “demo seni rupa” ini sangat disukai oleh pengunjung. Maka para selebritas, para gubernur Jakarta, sampai tamu-tamu agung negara datang berenteng. Rembetan dari kesukaan itu adalah: karya-karya seniman PSA dikonsumsi oleh banyak orang. Pasar pun terbentuk. Suatu situasi yang menjumbulkan sebutan sinistik, “seni pasar” atau “seni pasaran”. 

Bagi penghuni PSA sebutan itu sama sekali tidak mengganggu. Bahkan pada satu sisi membanggakan, lantaran dengan pasar mereka merasa bisa membuat trend seni rupa. Atau berhasil menuntun selera masyarakat lewat ciptaannya. 

Tidak hanya pada sektor seni rupa PSA berperan banyak. Atas seni musik dan seni pertunjukan arena terbuka ini riuh mengapresiasikan dan mengembangkan. Idenya selalu unik dan belum pernah diselenggarakan insitusi lain. Di PSA pertama kali diadakan seminar soal hubungan musik, industri seni dan gambar sampul kaset. Pembicaranya penyanyi Titiek Puspa, musikus Mus Mualim, Permadi SH (Ketua Yayasan Konsumen, waktu itu) dan Agus Dermawan T, selaku kritikus seni rupa. “Pasar Seni Ancol sangat handal dalam mengapresiasikan berbagai sisi makna seni populer ke masyarakat banyak,” kata Titiek Puspa.

Di PSA pula pertama kali digelar festival dan kompetisi Reog Ponorogo se Indonesia. Festival dan kompetisi yang memakan biaya sangat banyak ini – tapi sekaligus mendatangkan penonton yang membludak – dinilai oleh juri yang “menakjubkan” banyak orang: Ibu Hartini Sukarno, isteri mendiang Presiden Sukarno. Beruntung, saya juga menjadi salah satu anggota dewan juri. “Pasar Seni Ancol adalah arena yang ideal unuk terus memperkenalkan seni tradisional kepada masyarakat yang terus didesak kebudayaan modern,” kata Hartini Sukarno. 

Reog Ponorogo. Kesenian tradisional yang riuh ini pernah difestivalkan di Pasar Seni Ancol. (Sumber: Agus Dermawan T)

Hartini Sukarno (dan Presiden Sukarno), juri kompetisi Reog Ponorogo di Pasar Seni Ancol. (Sumber: Dokumen)

Di antara ratusan acara unik yang dihelat, di PSA tergelar pertama kali seni eksperimental. Jauh hari sebelum para seniman kontemporer melakukannya.

Ancol adalah akademi

Dalam perjalanan sejarah, seni rupa produk PSA banyak memberikan inspirasi dan bahkan pengaruh besar dalam dunia kreatif seni indonesia. Seni lukis batik karya Mahyar dan Indarin, yang selalu “jenang manis Tanjung Kimpul – dagangan laris duit ngumpul”, pernah jadi panutan pelukis batik lain di berbagai daerah. Sehingga melahirkan Mahyarisme dan Indarinisme.

Pada kurun kemudian muncul lukisan berobyek dunia keluarga dan lingkup kecil sosialnya, serta lukisan hias kelas tinggi. Ada lukisan figuratif Sigit Setiarso dan Sukamto Dwi Susanto (penerima Hadiah Sri Sultan Hamengku Buwono IX). Ada lukisan flora-fauna Lugiono (penerima bea siswa seni ke perguruan Fairmont City, Amerika Serikat) dan Dwijo Widiyono. Ada kreasi Hatta Hambali (penerima Wendy Sorensen Award, Amerika Serikat) yang membawakan kaligrafi Arab-Indonesia. Ada seni lukis potret Erman Sadin dan Hardjanto. Ada akuarel Harlim yang menyajikan teknik “penuh rahasia”. Dunia internasional menandai, lukisan Harlim masuk dalam buku panduan melukis akuarel dunia: 100 Ways to Paint Still Life & Florals.

Kesukaan itu direspon dengan kreativitas baru. Di antaranya dengan cipta yang melukiskan perdu, rerumputan dan ilalang, dengan detil dan kehalusan yang tak terbilang. Sehingga lahir gaya “suketisme”. Suket dalam bahasa Jawa artinya rumput. Semula lukisan yang mengandalkan detil ini digarap di kertas buffalo berwarna-warna. Namun tuntutan kreatif membawa pelukis mengerjakannya di kanvas. Lukisan dekoratif suketisme Ancol ini populer, sehingga diangkat sebagai mashab besar Ancol, alias Ancolisme. Nisan Kristiyanto, Idran Yusup, Sutopo, Godod Sutejo – yang pada menjelang abad 21 sudah mengisi sejarah seni rupa Indonesia – adalah beberapa kreatornya. 

Gelora seni lukis PSA juga diiringi seni keramik, seni patung, seni gambar dan seni kerajinan. Tetap berkonsep untuk tidak sekadar melayani pasar, karya yang tercipta menyimpan kekuatan individual. Di studio ini pengunjung akan diingatkan kepada aura patung kayu dan lukisan kayu Amrus Natalsya. Keindahan art craft Indro Sungkowo. Seni potong kertas siluet Priaji Kusnadi. Seni pahat Kanten Tjokot, si cucu pemahat tenar Bali, Tjokot. Juga kartun dan karikatur G.M. Sudarta, Pramono, Non-o, Johnny Hidayat dan sebagainya.

Memasuki dekade kedua tahun 2000-an keragaman seni rupa PSA tetap memikat pandangan. Jangan dilupa seni lukis Apriliani, Paul Hendro, Joko Kisworo dan Cubung Wasono Putro yang acap memenangi kompetisi di mana-mana. 

PSA, dengan dinamikanya yang khas, merupakan akademi tersendiri. PSA berhasil membentuk karakter dan citra para seniman (yang semula) dari Yogyakarta, Solo, Surabaya, Semarang, Bali, Makassar, Manado, Medan, Banjarmasin, Bangka-Belitung untuk menjadi Seniman Pasar Seni Ancol. Dan predikat ini adalah kebanggaan. Itu sebabnya pada 2010 direktur PT Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya Sumadi lantas mendirikan Ancol Arts Acadeny, dengan ditopang galeri milenial yang dinamai North Art Space. Di sini ia menyadarkan, bukan hanya seni rupa yang berkumandang di PSA, tetapi juga seni musik, teater, seni sastra dan seni lain-lainnya. 

Halaman depan Pasar Seni Ancol, 2022. (Sumber: Imam Subekti)

Suasana Pasar Seni Ancol sekarang. Sepi pengunjung dan tidak terurus. (Sumber: Agus Dermawan T)

“Pasar Seni Ancol beserta Nort Art Space, adalah oase. Taman tempat masyarakat membenamkan diri ke dalam keindahan dan kedamaian. Ruang katarsis bagi masyarakat yang tak henti dilumpuri persoalan sosial politik,” kata Budi Karya Sumadi. Meski upaya ini segera macet lantaran sang direktur meninggalkan PSA, akibat naik pangkat menjadi menteri.

Mitos cemerlang PSA itu sekarang hilang ditelan zaman. Setidaknya setelah Ir. Ciputra, pendirinya, tidak lagi “menginspeksi” pasar ini sejak 2012. Setidaknya setelah PSA, yang hanya menyisakan beberapa kios aktif, tidak (atau belum) sempat diurus manajemennya. 

Quo vadis Pasar Seni Ancol nan legendaris? ***

*Agus Dermawan T. Kritikus. Narasumber Ahli Pasar Seni Ancol tahun 1982 sampai 2012.