Mengungkap Gelap-Terang dan Topeng dari Pameran Alchemy of Shadows I Ketut Suwidiarta 

Oleh I Made Kridalaksana* 

I Ketut Suwidiarta menutup tahun 2024 dengan menggelar pameran tunggal Alchemy of Shadowsdi Komaneka Gallery, Ubud-Bali. Pada pameran yang berlangsung 29 Desember 2024 sampai 29 Januari 2025 ini, ia menampilkan 15 karya visualnya. Arif Bagus Prasetyo pada katalog pameran ini menjelaskan teknik yang diterapkan Suwidiarta pada pameran tunggal kali ini adalah teknik seni lukis klasik chiaroscuro yang menekankan aplikasi kontras yang kuat antara gelap dan terang atau cahaya dan bayangan. 

Pada pameran ini, Alchemy of Shadows atau alkimia bayang-bayang sendiri dimaknai secara metaforis sebagai kegelisahan Suwidiarta yang berdasarkan amatannya memandang dunia ini yang sedang tidak baik-baik saja. Dunia yang tidak baik-baik saja dengan aneka perilaku kurang baik manusia ini ia goreskan pada kanvas dengan latar serba pekat-gelap serta obyek-obyek bertopeng menyeramkan. Suwidiarta tidak hanya menggambarkan “kegelapan” dunia serta perilaku manusianya yang penuh kebohongan, kepalsuan, kepura-puraan, dan sejenisnya tetapi sekaligus menyimpan harapan dari kegelapan ini akan muncul cahaya terang sebagaimana ia kreasi dari bayang-bayang menjadi berbagai bentuk obyek-obyek lukisannya. 

Bertolak belakang dengan Yos Suprapto yang lukisannya urung dipamerkan di Galeri Nasional beberapa waktu yang lalu karena menampilkan wajah obyeknya secara terang-terangan bahkan terkesan vulgar, I Ketut Suwidiart justru menyembunyikannya di balik topeng-topeng yang sebagian besar bertaring tajam, menyeramkan dengan mata mendelik, rambut seolah terbang terurai, dan sebagainya. Topeng, menurut Umberto Eco pada Mudra (2021) adalah sebuah tanda, tanda manusia untuk berbohong. Topeng dipergunakan untuk menutupi wajah asli sang pemakainya. Suwidiarta menghadirkan tanda-tanda perilaku manusia melalui topeng-topeng berwajah menyeramkan serta menakutkan yang apabila dihubungkan dengan kebutuhan dasar individu, yang oleh Dr. William Glasser, seorang piskiater Amerika, diidentifikasi sebagai kebutuhan bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love), penguasaan (power), kebebasan (freedom), dan kesenangan (fun). 

Topeng pada lukisan-lukisan Suwidiarta kali ini pada satu sisi merupaka representasi simbolik historis, tradisi, kesenian, spiritual dan ritual sementara pada sisi lainnya topeng dengan mata mendelik serta bertaring tajam dapat dipandang sebagai wujud metaforikal dari berbagai perilaku “gelap” manusia di dunia yang penuh kemarahan, kepura-puraan, kepalsuan, kerakusan serta perilaku-perilaku kurang baik lainnya. Dari sudut pandang historis melalui lukisan Guest of Unknownyang berupa sosok “asing” berbalut kain putih dengan topeng dan tongkat pada masing-masing tangannya, I Ketut Suwidiarta membuka kembali ingatan warga desa terhadap sosok yang awalnya “tamu tidak dikenal” semacam Jero Dalang Tangsub sebagaimana disebutkan pada laman pemerintah Desa Bongkasa sebagai figur yang melahirkan cikal bakal nama desa tersebut. Dari sudut pandang kesenian, selain sebagai apresiasi terhadap seniman topeng I Wayan Tangguh dari Desa Sukawati yang menjadi inspirasinya, penghadiran topeng-topeng ini juga sebagai representasi simbolik berbagai bentuk kesenian yang ditekuni 

baik oleh pendahulu-pendahulu di desanya seperti Ida Pedanda Gede Singarsa, I Wayan Sampih, Dalang Wayang Kulit Ida Bagus Sarga maupun generasi-generasi setelahnya. Selanjutnya, dari sudut pandang tradisi, ritual maupun spiritual, penghadiran topeng-topeng barong, rangda, macan menguatkan kesan fungsi dan makna barong termasuk topeng yang digunakan sebagai media pemujaan kepada Sang Hyang Pencipta serta banyak digunakan pada tradisi “melancaran” semacam perjalanan mengelilingi seluruh area desa ketika secara “niskala” keadaan desa dianggap kurang aman. Selain itu, keberadaan simbul-simbul seperti barong dan sebagainya ini sebagai upaya pengingat sekaligus peringatan baik kepada masyarakat penjaga tradisi maupun kepada pihak pemegang kekuasaan untuk selalu berdiri sebagai ksatria yang siap menjaga serta melestarikan kesenian yang sudah diwariskan para leluhur sebagaimana dilukiskan pada “Knightyang berupa sosok kuat yang memegang “punggelan” atau kepala barong. 

Guest of Unknown

Knight

Representasi topeng sebagai simbol kesenian lainnya juga terlihat pada lukisan “Messengeryang menggambarkan sosok bertopeng yang menari di atas kursi dengan posisi salah satu 

kakinya menginjak gurita. Saya membaca lukisan ini sebagai penggambaran sosok-sosok penting dari desanya yang menjadi alkimiawan secara metaforis yang mengangkat nama desa dari tidak dikenal hingga mampu menggebrak panggung-panggung kesenian manca negara khususnya Eropa sebagaimana ditulis oleh Collin McPhee, seorang komposer asal Kanada, yang sempat menetap di Pulau Bali. 

Penulis di dekat Lukisan Messenger

Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, repetisi nuansa gelap pada kanvas-kanvas Suwidiarta sepertinya sebagai penegasan bahwa dunia ini “gelap” serta sedang tidak baik-baik saja. Kegelapan dunia diakibatkan oleh perilaku manusia yang tidak jujur, berpura-pura sebagaimana digambarkan pengenaan topeng di wajah obyek-obyek manusianya. Untuk menggapai keinginannya, manusia kerap kali “menarikan” topengnya yang terkadang tanpa disadari memunculkan kelucuan-kelucuan. Kemunculan kelucuan-kelucuan ini tidak jauh berbeda dengan film komedi gelap (dark comedy). Dikutip dari Tempo komedi gelap diartikan sebagai subgenre yang meliputi pembahasan bergaya sarkasme, ironi, memunculkan tawa dari situasi yang tidak nyaman. Situasi-situasi ironis yang membuat dunia menjadi tidak baik-baik saja ini dapat memunculkan tawa yang terkadang bersifat satir sebagaimana dilukiskan pada “One Hundred Comedies” yang digambarkan sosok bertopeng dengan mulut terbuka lebar, taring tajam, bermata mendelik, berhidung babi serta memegang setandan buah pisang. 

One Hundred Comedies

Hubungan alam semesta dengan manusia bagaikan hubungan sosok ibu dengan anak-anaknya. Pengulangan beberapa kali sosok perempuan beserta kursi pada beberapa kanvasnya kali ini menegaskan betapa signifikannya kedudukan ibu pertiwi bagi manusia. Ibu pertiwi atau alam semesta menyediakan segalanya bagi manusia sebagai bentuk kebaikan terhadap manusia. Kebaikan alam semesta kepada manusia ini tidak terbatas dan sangat sulit diuraikan dengan kata-kata. Kebaikan alam semesta ini terpotret pada lukisan “Enigma” dengan sosok perempuan bertutup wajah dedaunan dengan posisi duduk di kursi dengan kedua tangan berkuku panjang sedang mengelus boneka berbentuk cumi-cumi raksasa yang berwarna merah. Melalui lukisan ini Suwidiarta hendak menyampaikan kegundahan hatinya melihat perilaku manusia yang kurang baik terhadap alam semesta sebagaimana Kraken atau cumi raksasa yang mengganggu kapal yang terdapat pada dunia fiksi Skandinavia. Suwidiarta seolah mengingatkan apabila manusia kurang bisa membalas kebaikan alam, sesuatu yang enigmatis pula yang akan diterima manusia. Kuku-kuku tajam dan panjang alam semesta niscaya siap menusuk dan mencengkeram.

Enigma

Kegelisahan terkait perilaku manusia terhadap alam juga diperlihatkan I Ketut Suwidiarta melalui lukisan Protectordengan menghadirkan sosok perempuan bertelanjang dada yang memapah potongan pohon. Sosok ibu yang bertelanjang dada ini semakin menegaskan bahwa alam dengan segala kekayaannya adalah ibu yang menyusui sekaligus menjadi pelindung bagi kelangsungan hidup manusia. Potongan pohon menggambarkan keserakahan manusia yang melakukan eksploitasi alam secara berlebihan yang menyebabkan kerusakan alam. Penebangan pohon yang dilakukan secara sembarangan dan besar-besaran mengakibatkan ekosistem alam menjadi terganggu seperti hutan menjadi gundul, satwa menjadi kehilangan tempat berlindung, lahan perhutanan maupun sawah-ladang yang masih produktif disulap menjadi area pertambangan, industri, pemukiman, dan sebagainya. Akibatnya, bumi menjadi panas, air dari pekarangan rumah serta selokan meluap yang mengakibatkan banjir serta tanah-tanah longsor. 

Protector

Kegelisahan I Ketut Suwidiarta juga tidak lepas dari amatannya terhadap perlakukan manusia terhadap lautan atau perairan. Kekhawatirannya akan kerusakan ekosistem laut diungkapkannya melalui lukisan Savioryang digambarkan dengan sosok perempuan yang menjinjing kapal laut. Pencemaran laut melalui ulah manusia seperti pembuangan sampah plastik, penumpahan minyak kapal, aktivitas penambangan, perusakan biota laut serta pemagaran laut seperti yang terjadi baru-baru ini adalah beberapa contoh hal yang merugikan keberadaan perairan kita. Lukisan ini menyampaikan pesan baik kepada pemerintah maupun masyarakat untuk bersama-sama menjaga laut serta wilayah perairan seperti sungai, danau, kali, termasuk pula air bawah tanah sehingga dapat menjaga keseimbangan alam. Dengan keberadaan laut serta perairan yang terjaga tentu terbuka pula penyelamatan makhluk hidup seperti ikan, tumbuhan laut termasuk manusia. Pendeknya, Suwidiarta mengingatkan bagaimana kita menyelamatkan perairan termasuk kehidupan di dunia bagaikan menyelamatkan kapal agar tidak tenggelam. 

Savior

I Ketut Suwidiarta juga merekam kegelisahannya terhadap perilaku “bertopeng” para pemimpin maupun elit politik. Pada saat musim kampanye para aktor politik lazimnya menebar janji-jani manis guna menggaet sebanyak-banyaknya suara rakyat. Ironisnya, setelah terpilih dan menduduki posisi sesuai ambisinya, semua janji-janji yang pernah diumbar seketika dilupakan bahkan dibelokkan. Melalui lukisan Turn Leftyang berupa sosok manusia berkepala bangunan meru yang ujungnya condong ke kiri serta kedua tangannya memegang topeng berwajah serigala, perupa yang menempuh pendidikan magisternya di Rabindra Bharati University, Kolkata-India ini hendak menyampaikan fenomena ‘sein kanan belok kiri’, perbedaan yang luar biasa antara perkataan dan perbuatan. Sementara, keberadaan topeng berwajah barangkali melengkapi gambaran keserakahan manusia atas manusia lainnya semacam “homo homini lupus”, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. 

Turn Left

Nuansa satir juga muncul pada lukisan The Last Battleyang digambarkan dengan sosok perempuan yang menabuh penggorengan serta sebatang sapu. Lukisan ini merupakan potret dunia yang sedang tidak baik-baik saja. Perang yang berkecamuk pada wilayah-wilayah yang berkonflik yang mengakibatkan banyak korban jiwa yang bahkan memaksa kaum perempuan pun ikut turun menjadi kekuatan penghabisan untuk “menyapu” lawan di medan pertempuran. Apabila dihubungkan dengan kondisi perekonomian masyarakat kita saat ini sepertinya lukisan ini juga cocok untuk menggambarkan pertempuran sengit ibu-ibu rumah tangga guna mengatasi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dapur keluarga seperti kenaikan harga bahan-bahan pokok yang tidak diimbangi dengan peningkatan penghasilan. Lukisan ini seolah menjadi sindiran tentang situasi pahit yang semestinya tidak terjadi di negeri kita yang subur serta kaya akan sumber daya alam ini. 

The Last Battle

Melalui lukisan “Ultimate Power (Sovereignty)” dengan sosok bersayap yang duduk di atas kepala buaya, I Ketut Suwidiarta hendak menyampaikan bahwa kekuasaan atau kedaulatan tertinggi semestinya berada di tangan rakyat, bukan pada segelintir orang maupun kelompok. Melalui lukisan ini ia hendak mengingatkan seorang pemimpin harus mampu menggunakan kekuatan kekuasaannya untuk mewujudkan kedaulatan bangsa agar tidak mudah didikte oleh kekuatan-kekuatan bangsa-bangsa lainnya, terlebih lagi oleh para oligar. Berkaca dari realitas kebijakan impor bahan pangan yang sebenarnya mampu disediakan alam negeri kita, perupa yang meraih Lempad Prize ini sepertinya mengingatkan agar pemimpin memiliki pendirian yang kokoh, memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat serta kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dengan tujuan untuk melaksanakan kedaulatan bangsa yang pada muaranya mampu menerbangkan kesejahteraan warganya sederajat dengan warga-warga dari bangsa lainnya di dunia. 

Ultimate Power (Sovereignty)

Sebagai sebuah bangsa yang berdaulat kita semestinya mampu menunjukkan jati diri sebagai bangsa. Ada kalanya kita melakukan aksi soliter seperti singa penyendiri dengan memisahkan diri dari kumpulan-kumpulan besar yang kira-kira berpotensi merugikan. Lukisan Lone Wolf” dengan serigala kecil di belakang kaki sosok manusia yang memegang sapu dan penggorengan 

dengan pose siap perang, menggambarkan poisi siap memerangi ketergantungan dengan bangsa asing untuk hal-hal yang bangsa kita miliki atau bisa kerjakan sendiri. Suwidiarta mengajak kita mengingat-ingat seberapa serting kita mendengar berita tentang impor bahan pangan yang sebenarnya di tanah kita tersedia dan ada yang mampu diproduksi. 

Lone Wolf

Kegelisahan terkait keamanan dan perdamaian dunia juga tidak lepas dari perhatian I Ketut Suwidiarta. Salah satu peristiwa terkait perdamaian dan keamanan yang masih hangat mengemuka adalah kemelut antara Rusia dan Ukraina yang tidak kunjung henti. Penggunaan kekuatan militer serta peralatan perang yang berteknologi mutakhir tidak hanya merugikan kedua belah pihak yang saling bertikai tetapi juga negara-negara lain di sekitarnya. Melalui lukisan “Soft Power” yang digambarkan dengan sosok perempuan yang duduk di atas kepala banteng, Suwidiarta mengajak para pemimpin kedua negara tersebut untuk mengendalikan diri dengan menempuh cara-cara diplomasi serta menghindari penggunaan kekuatan pasukan serta peralatan perang yang dapat menimbulkan banyak korban jiwa. 

Soft Power

Kegelisahan I Ketut Suwidiarta sebagaimana dilukiskan dengan kehadiran topeng-topeng menyeramkan sejatinya bisa diminimalisasi. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan kontemplasi untuk melihat diri lebih ke dalam. Pesan-pesan kebijaksanaan muncul pada lukisan “Object of Meditationyang mana sosok yang menyerupai Buddha sedang memegang sebuah tengkorak. Sebagaimana diketahui, tengkorak pada dunia meditasi dikenal sebagai lambing kebijaksanaan. Lukisan ini mengajak pengunjung pameran untuk berperilaku lebih bijaksana dengan melepaskan topeng-topeng yang identik dengan kepura-puraan, kebohongan, ketamakan dan sejenisnya sebagaimana dilukiskan pada Journey Inside”.

Object of Meditation

Journey Inside

Apa yang akan terjadi apabila manusia tidak melakukan kontemplasi serta perjalanan ke dalam diri untuk meminimalisasi kebiasaan “bertopengnya?”. Pertanyaan ini dijawab pelukis yang 

juga aktif di Sanggar Dewata Indonesia ini melalui lukisan berjudul Blankyang memperlihatkan sosok bersisik seperti kulit ular dengan topeng bermata melotot serta bertaring tajam yang berdiri sembari memegang kanvas berlatar hitam pekat. Gelap. Lukisan ini menggambarkan bahwa dunia akan tetap “gelap” dan tetap dipenuhi manusia-manusia “bertopeng” yang bertaring tajam bermata melotot serta muka menyeramkan”. 

Blank

—-

*Penulis tinggal di Badung, Bali. Kini Kepala SMA Negeri 1 Kuta