Iqi Qoror: Realitas Penampakan ala Zaman Simulakra

Oleh Bambang Asrini Widjanarko*

Kita bersua dengan perupa Indonesia yang memiliki keberuntungan mampu berpameran sampai sepuluh kali pameran tunggal. Ia mewakili sedikit perupa kita yang getol melalui ‘pelancongan artistik’ ke berbagai galeri privat dan art fair dunia. Semisal di Singapura, Shanghai, London sampai Los Angeles, namun ia berlabuh Desember ini di artspace berjuluk Sal Project di Jakarta.

Iqi Qoror selama beberapa tahun terakhir, bagi mereka yang sudah berusia melampaui millennial, yakni generasi x pun yang lebih senior, baby boomer, memastikan dengan sedikit gegabah karya-karya Qoror terinspirasi David Hockney, seniman Amerika Serikat yang menggugah spirit muda dengan persona pop-art.

Lebih dari itu, sebenarnya lukisan Qoror, dalam pameran solo-nya ini bertopik Still Life,  tersembul itikad dia untuk menggugah, — jika pop-art dengan kritik tentang atmosfir urban serta konsumerisme juga ‘dunia material’ tentang objek pemberhalaan zaman kapitalisme,– Qoror meloncat lebih suntuk. 

Seperti katanya, Iqi Qoror selama hampir lima tahun terakhir, ia terpikat untuk mendedah konsep Simulacra.

Pertengahan abad ke-20, dan dihentak oleh kondisi zaman, Marshall Mc Luchan menyebut media masa sebagai ‘tuhan baru’, yang membawa realitas sebagai semata-mata  ‘the medium is message’. Jean Baudrillard dengan konsepnya yang ‘separuh puitis’ menohok publik seni dunia, menamakan konsep lebih ekstrem; apa yang menampak semata di dunia nan sepenjuru jagad ini sejatinya adalah elemen-elemen pesan dengan konteks dalam dirinya sendiri. Sebuah Simulacra, ilusi dan manipulasi dari realitas sebenarnya, bahwa sesuatu yang empirik mati dalam sebuah gugusan-gugusan metaforik. 

Saat perang Iran-Irak, tahun 80-an, semata jurnalis2 TV sohor dunia seperti CNN, VOA dll, yang menjadi para aktor manipulator,– yang kemudian tesis Mc Luchan terbukti–, bahwa perang dramatik Iran-Irak tersebut semata sebuah ‘kebenaran-rekayasa’ yang dipancarkan oleh satelit ke sepenjuru jagad, di tenda-tenda tentara NATO tanpa ada secuilpun bom pun terjatuh disana.

Segala hal, termasuk abad-ke 21 lebih tragis, seperti yang diramalkan, usai th 2000 sesiapa saja bisa ‘memanipulasi’ sejarah, alur-alur peradaban dan segala yang membentuk imej serta narasi-narasi di dunia siber. Bahkan Pemilu di negara kampiun demokrasi, seperti Amerika Serikat terkena skandal ‘pembelian suara’ dari manipulasi sumber-sumber responden di Facebook.

Kita meng-amini, peranan Influencer media sosial dan Kreator digital satu dekade ini lebih dipercayai ketimbang negara, militer sampai bahkan atas nama reliji pun ulama sejuta umat. Mereka yang membentuk opini dan framing sebuah peristiwa dan mencipta fenomena-fenomena anyar nan nyeleneh, bahkan semacam ‘kuil kebenaran’ bersimaharaja-lela. Simulacra adalah ‘kutukan kehidupan keseharian kita’ yang menjauh dari nilai-nilai empirik.

Seperti yang Qoror sampaikan dalam pernyataannya di katalogus pameran, bahwa ia memang dengan karyanya berupaya mewujudkan realitas yang ada di dalam pikirannya, yaitu menyalin fenomena besar sejagad itu. Ia menciptakan persimpangan dan perbandingan antara persepsi dan ilusi, otentisitas dan imitasi.

Internet mengubah cara kita memahami realitas, setiap hari kita menjadi ‘revolusioner’ dengan persepsi-persepsi liar tentang bombardir jutaan imej dan konsep, identitas diri, serta narasi di layar datar di telapak tangan, yakni smartphone. 

Mudah ditebak, Qoror memamerkan karya-karyanya adalah semata permainan antara persepsi dan ilusi, otentisitas atau imitasi? Semua hal itu, yang diyakini dalam tajuk konsep pameran ‘Still Life’ dengan presentasi seni visualnya. Sebagai makna lama, konsep ‘Still Life’ di sejarah seni rupa telah wafat. Jutaan hal tentang perluasan makna tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa terhampar dimana-mana membuat repersentasi tentang visualisasi dunia luruh, goyah serta retak. 

Lukisan Beragam Tafsir Penampakan.

Tajuk “Still Life” memberi penanda, seni kontemporer telah mengalami perluasan arti seni   yang diserahkan pada apresiannya, seperti juga selain Baudrilliard ada ‘kematian para pengarang’ dalam konteks sastra, yakni Roland Barthes. Yang tentunya jika lukisan, sang pelukis pun ‘telah wafat’, maka yang terjadi dan tersisa: tafsir visual kembali pada latar pengalaman artistik, imajinasi estetik pun kemampuan nalar kritis para apresian tentang “penampakan sebuah karya seni tersebut”.

Qoror seperti playing the game, memainkan persepsi-persepi dengan menggiring apresian pada judul keseharian, warna-warna mencolok nan sumringah; yang seperti juga pop-art mendorong energi muda menggelegak. 

Disana Qoror memancingnya sebagai sebuah efek-efek tertentu, apakah itu dengan menggelitik cara pandang yang disebut otentisitas atau sebuah kesengajaan memilah-memilih objek-objek visual yang bertebaran di mesin pencari data google, atau bermain-main imej dengan ciptaan AI, artificial intelligence yang kemudian dilukis ulang, aseli atau pengulangan-pengulangan imej belaka?

Sejak awal, penulis terpikat pada strategi apropriasi lukisan Vermeer, A Maid Asleep dan komposisinya yang ditafsir ulang oleh Qoror dengan warna cerah di lukisannya dibanding yang aseli bersuasana muram, gloomy, sebagai seseorang menampak termenung di meja penuh buah.  

Saat sama, silakan diperbandingkan dengan karyanya “Menumpang Diam”, 50 cm x 60 cm, Acrylic on Linen, 2025, penampakan seseorang dengan gestur yang khas, seorang pria charming dengan latar kolam renang. Dua lukisan tersebut sama-sama menampakkan tanda-tanda seseorang sepertinya berekspresi datar.

Tangan laki-laki itu berposisi standar dan juga atmosfir yang tak bergejolak, yang dimaksudkan oleh Qoror, mugkin bisa jadi apa saja yang terlintas di benak apresiannya, pastinya akan beragam, antara yang ‘aseli’ pun ‘yang samaran” dan ‘yang duplikasi’ adalah permainan persepsi; akan banyak narasi bertaburan, sebuah pancing diumpankan.

Karya yang lain, jika konsep “penampakan” menjadi sesuatu hal penting bagi Qoror, kita meninjau karya “Objek yang tersesat”, 150 cm x 280 cm, Acrylic on Linen and Wood, Teak Wood, metal, and Velvet, 2025 cukup menggelitik mesti pengertian ‘tatapan’ atas ‘penampakan’ bisa menjadi narasi tersendiri disana.

Karya lukisan Objek Tersesat, semacam sebuah penggiringan opini terbalik, bahwa justru apresian jangan tersesat, dengan memberi penanda bahwa karya tersbut dibingkai kayu yang cukup unik kemungkinan khas tersendiri dari karya lokal tukang jendela atau Qoror menemukan dan mencocokkan sebagai found object dengan lukisannya sebagai suatu strategi, semacam olok-olok atau apropriasi karya Vermeer model lainnya.

Karya itu, dengan bingkai kayu khusus, memberi penanda judul “tersesat” serta penampakan empat laki-laki sepertinya sedang bercengkerama di sebuah taman. Namun satu lelaki terpisah jarak, seolah termenung sendiri, berceloteh semuanya membisu.

Qoror membawa kita sebuah alarm yang berbunyi, atau notifikasi tak henti dari aplikasi WA, bunyi-bunyi-an telepon dan seluruh hal membisingkan, dan sekarang ia membawa ingatan bahwa dengan sikap kita mengapresiasi secara bebas, dengan fokus keheningan dan kontemplasi untuk memahami ‘sekedar penampakan’ bukan latar belakang mengapa dan dimana objek-objek di kanvas berada. Qoror membenturkan zaman Simulakra dan kenyataan abad ke-21 sehari-hari.

Simulakra visual ala Qoror lebih memberi sodokan kesadaran daripada terlena dalam narasi-narasi sesat ‘zaman now’. Rupanya ia berikhtiar mengembalikan,– konon ‘kesejatian manusia’, untuk berefleksi dengan mematut diri sembari mewaspadai segala fenomena-fenomena sesaat.

Qoror membawa kita ruang dialektika sejauh menjadi manusia, untuk tak lengah pada persimpangan dan memperbandingkan dengan sangat kritis, sembari menantang kemampuan  kita secara kritikal antara membedakan sebuah persepsi yang seutuhnya hanya ilusi.

Sehingga kita mampu memilih dan memilah fenomena dan objek-objek di pameran tersebut, untuk mencari kesadaran utuh sebagai cara mengapresiasi secara otentisitas atau justru membiarkan sepenuhnya semua hal semata imitasi?

*Bambang Asrini Widjanarko, penulis seni dan pelukis