Dunia Seni Lukis: “Saya Pengikut, Siapa Takut?”

Oleh Agus Dermawan T.

Men Sagan adalah pengikut Affandi sepanjang masa. Cheng Shui pengikut Lee Man Fong yang tiada duanya. Keduanya tampil dalam pameran dengan sangat percaya diri.

———–

PELUKIS Men Sagan, kelahiran 1948, (tiba-tiba) menyelenggarakan pameran tunggal di Balai Budaya, Jakarta, pada 29 Mei sampai 5 Juni 2025 kemarin. Pameran dijuluki “Derap Langkah Naga Men Sagan – 55 Tahun Dalam Karir”. Atas pameran itu, seperti yang ada dalam pikiran orang, karya Men Sagan akan tetap berada dalam koridor affandisme. 

“Dunia seni lukis saya sejak mula memang ngaffandi. Saya memang pengikut Affandi. Karena saya merasa bahwa saya adalah Affandi. Lukisan saya adalah penganut affandisme sejati. Bukankah dalam urusan jiwa pribadi, seseorang tidak boleh menipu diri sendiri?” katanya.

Maka lukisannya yang beraroma sangat Affandi terjajar dalam ruang dengan penuh percaya diri.

Men Sagan sedang melukis, tahun 2010. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Men Sagan, Affandi, dan affandisme

Affandisme, atau lukisan yang keaffandi-affandian, adalah sesuatu yang niscaya dalam pertumbuhan karir para pelukis muda Indonesia sejak tahun 1970 sampai sekarang. Affandisme memang menjadi stasiun persinggahan. Hingga sejak dulu tak terhitung pelukis yang begitu bangga dengan “periode Affandi” yang pernah dilewati. Juga tak berbilang berapa seniman yang sampai ujung karirnya masih pula memuja affandisme. Untuk itu bisa dicatat beberapa contoh populer, seperti Rai Kalam, Kartika, Tony Robedi Rosar, Sri Hadhy, Rukmini. 

Gaya lukisan Affandi yang sangat khas: mengungkap obyek dengan spontan lewat pelototan cat langsung dari tube, menjadi metoda (teknik) yang menggoda untuk dicoba. Dan metoda itu lantas melahirkan gaya. Walau sering gaya itu serta-merta ditinggalkan, untuk kemudian dijumput kembali sebagai selingan-selingan. Atau bahkan sebagai ”gaya pokok” dalam sekujur karir kesenilukisan. Aadalahkenyataan, affandisme sampai sekarang dipercaya sebagai satu-satunya “aliran” yang paling banyak pengikut di Indonesia. Men Sagan adalah aksentuasinya. 

Pelukis Men Sagan, 2025. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Yang menarik, Men Sagan selama ini dikenal sebagai pelukis penganut “school of Affandi’ yang tidak sekadar berada di daerah reminiscent (keterpengaruhan karena ingatan). Namun memang karena kesengajaan untuk terlibat dan melibat, dan hasratnya untuk jadi follower (pengikut). 

Sebagai pengukuh, mari kita simak apa yang dikomentarkan oleh Didier Hammel, seorang pelukis, kurator, penulis buku seni dan bintang film asal Prancis. Ia berkata bahwa pelukis (yang pernah dan terus) jadi penganut aliran Affandi terbaik di Indonesia adalah, yang pertama Nyoman Gunarsa, yang kedua adalah Men Sagan. Sementara Affandi sendiri duduk di posisi keempat setelah Maria Tjui!

Komentar karikatural ini bisa ditarik sebagai pernyataan, bahwa lukisan-lukisan affandisme Men Sagan sering lebih bermutu dari karya Affandi sendiri, sang pencipta aliran.

Lukisan Men Sagan, “Perahu Kusamba”. Obyek dan gaya lukisan ini mengacu kepada karya Affandi. (Sumber: Agus Dermawan T)

Lukisan-lukisan affandisme Men Sagan memang sering mempesona. (Bahkan menggiurkan bagi para dealer lukisan palsu yang gatal mengganti tanda tangan). Lukisan Men Sagan tidak hanya mewarisi kualitas ekspresi, dinamitas sapuan, goresan, pelototan serta penghayatan atas obyek dan bentuk versi Affandi. Namun juga menyerap spirit – dalam hal ini humanisme – yang disiratkan oleh lukisan Affandi. Karena Men Sagan memang murid langsung dari Affandi, dan sangat kerap hidup bersama Affandi.

Namun tak berarti Men Sagan tidak ragu dan gamang dengan posisi follower ini. Pernah ia beberapa kali berusaha lepas dari keterpengaruhan itu. Pada Juni 1979, termasuk dalam pameran pada 2025 ini, ia menggelar karya dalam 3 periode: periode sebelum affandisme, periode affandisme, dan periode pasca affandisme. Namun Men Sagan sendiri sesungguhnya tak meyakini eksistensi aliran yang non affandi itu. Sehingga ia akan balik lagi menekuni affandisme dengan sepenuh kepercayaan diri.

Ia berdalil, untuk apa seseorang harus berbeda dengan orang lain, bila sesungguhnya ia sama belaka dengan dengan orang lain itu? Bagi Men Sagan, hadirnya gaya Affandi dalam jagad seninya merupakan “warisan besar” yang tak terelakkan. 

Lukisan Men Sagan, “Topeng-topeng”, mengikut gaya Affandi. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Tapi munculnya fenomena “kodrat mengikut” seperti itu tak hanya ada dalam dunia Men Sagan saja. Sejarah seni lukis dunia memberi sejumlah contoh. Realisme klasik Diego Velázquez (1599-1660) melahirkan para pengikut yang hebat (dan muuuahal) di Spanyol. Di Belanda maestro Frans Hals (1580-1666) melahirkan pengikut yang berderet-deret, bahkan sebagian dalam lingkup keluarga. Anaknya: Harmer, Jan dan Reiner. Keponakannya: Pieter van Roestraen, serta cucu keponakannya, Anthonie Dircksz. Tidak jauh dari kita, di Bali ada Mario Blanco yang mewarisi gaya papinya, Antonio Blanco. 

Faham seni lukis modern selalu menghendaki individualitas dalam penciptaan karya. Alasannya, setiap pribadi adalah unik, dan “harus unik”. Betul belaka kiranya. Namun sekali lagi, bila individu itu kodratnya berdempet dengan individu lain, adalah menipu diri sendiri apabila si individu kedua harus harus lari dari individu pertama yang jadi panutannya. Pikiran modern seperti ini harus didekonstruksi. Pikiran klasik menjadi pembandingnya.  

Lukisan Affandi, “Topeng-topeng”, yang diikuti Men Sagan. (Sumber: Agus Dermawan T.)               

Men Sagan adalah pelukis kelahiran Sagan, Yogyakarta. Siapa nama aslinya, ia rahasiakan. Men melukis sejak 1967. Tahun 1969 hijrah ke Bali. Tahun 1970-an ia balik ke Yogyakarta sambil menekuni profesi kedua, sebagai penari. Ia membentuk grup tari Ramayana Ballet Sagan. Setelah itu ia merambah Jakarta, sambil melakukan pameran tunggal berpuluh kali. Ia sangat rajin berkarya. Sementara dalam setiap pagelaran ia acap berbisik kepada sejumlah orang: ”Setelah ini saya akan istirahat. Ndelik ndisik (sembunyi dulu).”

Hidup Men Sagan gesit dan banyak berpetualang. Ia sering hilang-muncul seperti jin. Sebentar dikabarkan berada di Surabaya, ternyata ia berada di Den Haag, Belanda. Ada yang memberitakan ia sedang sembunyi di Ciamis, ternyata ada yang memotret ia sedang berada di Paris. Selama hampir sepuluh tahun ia menghilang tak tentu rimbanya. Ada yang mengkawatirkan ia “sudah tiada”. Eh, mendadak “Si Affandi” ini pameran tunggal di Balai Budaya!

Cheng Shui sebagai Lee Man Fong

Apabila Men Sagan mendalami “affandisme”, maka Cheng Shui, kelahiran Dusun Cidadap, Megamendung, Jawa Barat,1981, sangat menghayati gaya lukisan Lee Man Fong (LMF), yang kemudian kita sebut “manfongisme”.

“Sebagai individu saya sekarang ingin melukis dalam lingkup manfongisme, bahkan mungkin sangat mirip dengan karya LMF. Saya rasa pilihan ini adalah bagian dari kebebasan seorang seniman modern. Kebebasan untuk memilih jalan,” katanya di tengah pamerannya di 75 Gallery, Mampang, Jakarta, pada 24 Mei -10 Juni 2025. 

Pelukis Cheng Shui (Sumber: Agus Dermawan T.)

Banyak orang menilai, sikap ngikut Cheng Shui atas lukisan LMF adalah pilihan yang istimewa, sekaligus beresiko. Karena mengikuti lukisan LMF yang menggabungkan chinese art dan western art (sebelum tahun 1950) sangatlah tidak mudah. Sejumlah anasir artistik yang ada di dalamnya harus dipelajari dengan seksama. Lukisan LMF mengandalkan garis sketsa sekali gores di atas bidang impasto. Goresan ini lantas dipertemukan dengan basuhan lembut teknik dusel. Bahkan kadang dengan pulasan mendadak dan ekspresif, yang menghasilkan tekstur tebal di atas bidang halus dan bening. Itu sebabnya gaya seni ini tidak ada yang mengikuti secara intensif, sampai 50 tahun kemudian.

Tiba-tiba muncul Cheng Shui, yang langsung memperkenalkan diri dengan karya “manfongisme” amat memadai. Ada yang terkejut dan mengernyitkan dahi sambil bertanya, kok bisa? Para kolektor pun lantas bersuara: Akhirnya ada juga pelukis yang mampu mengikuti jejak LMF,  setelah asimilasi chinese art-western art lama jadi “aliran mati”. 

Padahal pada mulanya Cheng Shui bukanlah pengikut LMF yang fanatik. Bahkan tak pernah bercita-cita jadi pelukis “reinkarnasi”.

Lukisan Lee Man Fong, “Penjual Sate” (Sumber: Agus Dermawan T.)

Cheng Shui adalah anak pertama dari Ong Ah Min. Hidupnya agak berkekurangan. Itu sebabnya ketika tamat dari Sekolah Dasar Negeri Gunung Geulis 1, dirinya memilih cabut. Cheng Shui lalu memilih bekerja di rumah, membantu ayah dan ibu merawat tujuh adiknya.

“Apa saja saya kerjakan. Bahkan saya juga main barongsai dan berpentas di sejumlah tempat. Namun di balik semua  kesibukan itu saya sangat ingin menjadi pelukis,” kisahnya. Maka pada suatu kesempatan ia belajar melukis kepada Ade Hidayat. Selanjutnya belajar kepada Suryadi. 

Pada mulanya lukisan Cheng Shui – yang memakai nama May Ismaya – bercorak realis. Obyeknya pemandangan, lingkungan perkampungan, dan figur-figur yang digambarkan potretis. Kemampuan melukis figur ini mengantarkan ia jadi pelukis potret. Ia pun sekali-sekali mendapat pesanan. Uang yang didapat dari melukis itu, dan ditambah dengan honorariumnya sebagai pemain barongsai, digunakan untuk membeayai adiknya-adiknya sekolah.

Pada tahun 2000 Indonesia kedatangan rombongan jagoan silat dari Shaolin. Cheng Shui sangat terbius. Mungkin karena kelindan suasana yang ditumbuhkan oleh rombongan Shaolin, Cheng Shui tiba-tiba terpikat kepada hal-hal yang kecinaan, seperti lukisan chinese-western LMF. Lukisan yang selalu menciptakan hening lewat sapuan yang minimalis, sehingga tidak membutuhkan banyak cat. Ya, bagai gerakan silat Shaolin.

Lukisan Cheng Shui, “Keluarga Bahagia”. Mengikut gaya lukisan Lee Man Fong. (Sumber: Agus Dermawan T.)

“Ternyata melukis dengan cat yang hemat juga bisa bagus. Lukisan LMF telah memberikan contoh,” katanya.

Sebagai pelukis yang berkekurangan, dan selalu ingin hemat, lukisan minimalis gaya Lee Man Fong adalah pilihan. Ia lalu mempelajarinya dengan sepenuh hati. Satu persatu lukisannya yang sudah jadi disosialisasikan lewat penjualan. Sampai pada tahun 2010 lukisannya menemukan momentum untuk masuk dalam pasar yang lebih besar. 

Pada tahun ini Cheng Shui sudah merasa jadi pelukis profesional. Bahkan namanya mulai dikenal. Dan gaya lukisannya, yang cocok untuk dipredikati sebagai lukisan “Cheng-Lee”, kependekan dari Cheng (Shui) dan Lee (Man Fong) mulai menjadi jadi incaran penggemar seni. Biro lelang dengan rutin menawarkannya sebagai lot menarik.

Sementara kata “Cheng-Lee”, yang dibaca “cengli”, dalam bahasa Hokkian punya arti : sudah sepatutnya, sudah semestinya, masuk akal, adil, jujur. Dalam bahasa internasional dimaknai dengan: fair, atau kerja lurus. Lalu lukisan “cengli” karya Cheng Shui pun masuk ke arena seni lukis Indonesia dengan mulus.

Masuknya Cheng Shui dalam wahana seni lukis “cengli”, yang merujuk kepada wacana follower, “lukisan ulang” atau repainting, diiringi dengan pemahamannya atas berbagai pendapat soal itu.

“Saya mempercayai ucapan orang yang menyebut bahwa seorang pelukis harus melewati proses panjang, meski hanya untuk jadi pengikut yang baik,” katanya. 

Lukisan Cheng Shui, “Penjual Rujak Bebeg” yang manfongisme. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Yang disampaikan agaknya sejalan dengan yang dituliskan Johann Wolfgang von Goethe. Pujangga Jerman itu mengatakan bahwa dalam seni rupa, karya tiruan pun tetap harus disebut sebagai ciptaan. Ini berbeda dengan karya tiruan dalam dunia literasi, yang melahirkan tulisan plagiat. Karena peniruan dalam seni rupa (patung, relief sampai lukisan) tetap diberangkatkan dari proses belajar dan proses kreasi, yang ujungnya bermuara kepada keterampilan. 

Maka kehadiran karya Cheng Shui patut disambut. Dari burung merpati, ikan emas, sampai kerbau dan anak gembalanya. Dari warung di bawah pohon, pemandangan di Tiongkok sana, sampai menjual sate madura. Saya rasa, sebagai hiasan bermutu, karya manfongisme Cheng Shui asyik punya! 

Dengan begitu benar kata banyak orang bahwa lukisan “tiruan” yang estetik dan artistik dalam banyak aspeknya, jauh lebih berharga dibanding lukisan yang “super-orisinal” tapi buruk rupa. *

*Agus Dermawan T. Kritikus seni. Penulis buku-buku kebudayaan.