Ciputra Artpreneur, Lampu Hanny, Rekor MURI
Oleh Agus Dermawan T.*
Atas nama negara, Menteri Fadli Zon menerima persembahan lampu antik berjumlah ratusan. Ulang tahun ke-10 Ciputra Artpreneur mengundang banyak artis dan puluhan wartawan.
————
PADA Senin, 24 Maret 2025 lalu ada peristiwa menarik. Hanny Suwandhani – sarjana ekonomi, dokter spesialis kulit dan kelamin, purnawirawan kolonel Corps Kesehatan Militer Angkatan Darat, sah menyandang rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) dari Jaya Suprana. Pimpinan dan pendiri MURI itu mengatakan bahwa Hanny, putera dokter Nie Swan Tie, adalah kolektor lampu antik terbesar di Indonesia. Sekitar 400 lampu yang meliputi berbagai mashab tersebut lantas Hanny bukukan bersama penulis Han Kumaheri. Buku besarnya yang berjudul Lampu Antik di Indonesia – Menerangi Masa Lampau, Memperindah Masa Kini juga dianggap kitab sejarah lampu dan album lampu pertama yang pernah ada di Indonesia. Dan ini adalah rekor.

Kolonel CKM (Pur) dr. FX Hanny Suwandhani, SE, SpKK, FINSDV, FAADV. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Untuk meluaskan aspek sosial rekor itu, Hanny menghibahkan ratusan lampu antiknya kepada Pemerintah Indonesia. Ia berharap lampu-lampu berharga mahal itu bisa didisplay di sejumlah ruang publik – seperti Museum Nasional – agar bisa disaksikan oleh banyak orang, terutama generasi muda. “Agar generasi sekarang tahu sejarah lampu yang selama ribuan tahun menerangi kehidupan manusia. Tidak cuma tahu lampu halogen atau lampu LED,” katanya.
Hibah itu disampaikan kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang pada malam itu didampingi Direktur Jenderal (Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi) Restu Gunawan, serta Staf Khusus Menteri (Bidang Sejarah dan Perlindungan Warisan Budaya) Basuki Teguh Yuwono. Sementara Hanny ditemani sejumlah sahabat, famili, kerabat dan teman seprofesinya, para dokter.
Dalam acara buka puasa bersama, kolektor Tossin Himawan berkomentar. “Di tangan orang yang banyak minat, segala yang tadinya eklektik, tidak ada hubungan, akan tersambung.”
Memang, bagaimana tentara – perburuan barang antik – estetika lampu – sejarah manusia – penyakit kulit dan kelamin – museum – buku – dokter – rekor MURI, yang sesungguhnya punya rumah sendiri-sendiri, pada malam itu semua bisa campur sepergaulan. Agaknya, kebudayaan yang menyatukan.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Jaya Suprana, dan Hanny Suwandhani, kala penerimaan Piagam MURI. (Sumber : Agus Dermawan T.)

Lampu antik koleksi Hanny Suwandhani. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Dalam acara santai ini ada peristiwa kecil yang bermakna subtansial. Ketika Jaya Suprana memerlukan tempat duduk di podium, Dirjen Restu Gunawan yang mengangkatkan kursi. Ketika Jaya Suprana tidak bisa meraih map berkas dokumen, Menteri Fadli Zon yang mengambilkan.
“Di negeri yang berkebudayaan, rakyat seperti saya dilayani oleh dirjen dan menteri. Syukur alhamdulillah,” kata Jaya Suprana, pianis, komposer, pemilik perusahaan Jamu Jago yang bergelar Prof. Dr (HC) Kanjeng Pangeran itu.
MURI dan Ciputra
Lima hari sebelumnya, Rabu, 19 Maret 2025, Ciputra Artpreneur juga menyelenggarakan perhelatan ramai. Pada hari itu Rina Ciputra Sastrawinata, Presiden Direktur Ciputra Artpreneur, mengundang para wartawan, sejumlah partner usaha, dan sejumlah artis untuk merayakan 10 Tahun Ciputra Artpreneur.
“Karena merekalah eksistensi Ciputra Artpreneur sebagai fasilitator hiburan berkualitas bisa semakin kukuh. Bisa menyelenggarakan ratusan acara yang terpuji di mata masyarakat nasional dan internasional,” kata Rina.
Di malam itu tampak penyanyi Titiek Puspa, pemain teater Ratna Riantiarno, desainer busana Agnes Linggar Budhisurya, komposer Purwa Caraka. Terundang pula pianis Ananda Sukarlan, konduktor Addie MS dan seterusnya.
Acara diawali dengan kunjungan para wartawan ke berbagai wahana di gedung megah itu. Seperti Ciputra Artpreneur Theater yang berakustik sempurna, serta menjajar 1.141 kursi, sehingga dijunjung sebagai salah satu teater terbesar di dunia. Juga Ciputra Artpreneur Gallery Citra, ruang multi fungsi seluas 1.500 meter persegi yang dilengkapi layar proyeksi sangat lebar dan mempesona.
Setelah kunjungan usai, digelar bincang-bincang para wartawan di ruang Ciputra Artpreneur Museum. Tentu Rina sebagai narasumber utama, didampingi Nararya Ciputra selaku Direktur Ciputra Artpreneur. Dari percakapan yang berlangsung sekitar satu jam itu tersentuhlah ihwal hubungan Ciputra Artpreneur dengan MURI.

Rina Ciputra Sastrawinata. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Begini. Pada Desember 2015 Ciputra Artpreneur memperoleh World- Record Certificate untuk kategori Exhibition Gallery with the Largest Projection Screen – MURI. Pada waktu yang sama Ciputra Artpreneur juga dianugerahi World-Record Certificate untuk kategori Performance Theater at the Highest Floor – MURI. Setahun kemudian, pada 19 Maret 2016, Dr (HC) Ir. Ciputra, selaku pendiri Ciputra Artpreneur, dianugerahi piagam rekor MURI untuk kategori Indonesia-Record Certificate : Collector with the Largest Collection of Hendra Gunawan.
Ihwal lukisan Hendra Gunawan ini MURI menyimak, bahwa pada tahun itu Ciputra telah memiliki sekitar 120 lukisan cat minyak serta puluhan sketsa Hendra. Yang semuanya tentu dijamin keasliannya, ketinggian kualitasnya, kelengkapan sejarahnya, riwayat penciptaannya, konten dan gagasannya, serta asal-usul atau provenancenya. Jumlah kepemilikan yang memang belum tertandingi oleh kolektor mana pun di Indonesia, bahkan di dunia. Reputasi yang semakin bikin bengong, ketika masyarakat melihat nilai rupiah lukisan Hendra terbilang 600 juta sampai 60 milyar sepotong.
Tanggal penyerahan piagam MURI itu adalah 19 Maret. Tanggal inilah yang ditandai sebagai momentum besar, sehingga diambil sebagai hari “perayaan pesta ulang tahun ke-10” Ciputra Artpreneur 2025. Walau ulang tahun ke-10 institusi ini sebenarnya jatuh 16 Agustus 2024.

Museum Ciputra Artpreneur yang memajang lukisan Hendra Gunawan (1918-1983). (Sumber: Agus Dermnawan T.)

Pementasan di Ciputra Artpreneur Theater. (Sumber: Dokumen).
Ciputra Artpreneur, asal muasal
Dalam berbagai pembicaraan, Ciputra (1931-2019) menyebut bahwa jajaran lukisan Hendra Gunawan koleksinya itulah yang memicu munculnya Ciputra Artpreneur. Ihwal pengoleksian itu dimulai dari cerita demikian.
Syahdan Hendra, yang dituduh sebagai seniman komunis, pada 1978 dibebaskan dari penjara tahanan politik Orde Baru yang menyekapnya selama 12 tahun. Sekeluar dari penjara Hendra berkunjung ke Pasar Seni Ancol, Jakarta, wahana seniman yang didirikan oleh Ciputra. Melihat ratusan seniman hidup berbahagia di pasar itu, Hendra menangis tersedu-sedu. “Dulu para seniman begitu sengsara hidupnya. Kini mereka punya tempat untuk praktik dan berjualan karya. Ini bikin saya terharu,” katanya. Ciputra berempati mendengar berita sedu-sedan itu.
Tahun 1979 Hendra berpameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sampai akhir pameran, hanya satu lukisan yang terjual. “Kolektor takut beli lukisan saya. Karena saya dianggap mantan komunis. Padahal ideologi saya sejak dulu adalah humanis,” kata Hendra.
Kehidupan sosial Hendra pun terancam tidak tenteram. Merasa tidak nyaman, Hendra memilih hijrah dari Bandung ke Bali. Di Bali Hendra giat bekerja, namun tetap kesulitan uang. Lantaran terdesak, Hendra lalu menggadaikan puluhan lukisannya. Ciputra yang mendengar soal penggadaian itu lagi-lagi berempati. Hampir 30 lukisan tersebut ditebusnya, dan kemudian dipajang di Galeri Jaya Ancol untuk dijual.
“Siapa pun yang mau beli, silakan. Uangnya untuk keluarga Hendra,” kata Ciputra.
Namun sampai berbulan-bulan puluhan lukisan itu tidak tersentuh transaksi. Akhirnya, semua lukisan itu dibeli sendiri oleh Ciputra. Sementara itu Ciputra tetap tak henti memburu karya-karya Hendra dari mana saja.

Para pengunjung beraksi di dalam seni instalasi yang merespuon lukisan Hendra Gunawan. (Sumber: Agus Dermnawan T).

Sebagian lukisan Hendra Gunawan kala terpajang di plafon kediaman Ciputra. (Sumber: Agus Dermawan T.)
“Ketika lukisan Hendra koleksi saya mencapai sekitar tujuh puluh, muncul ide untuk membuat museum. Dalam bayangan saya, museum khusus lukisan Hendra itu sebagai permulaan hadirnya dinding museum karya seni perupa lain,” tutur Ciputra.
Maka pada medio 1980-an diadakanlah diskusi mengenai rencana pendirian museum tersebut. Gagasan itu langsung “nyaris konkrit”. Pelukis Sudjojono mengusulkan nama “Tanjung Balebat”, yang artinya “martabat yang bersinar di cakrawala timur”. Pelukis dan inspektur kebudayaan, Abas Alibasyah, mengusulkan nama “Museum Maestro Hendra”. Kritikus Kusnadi mengusulkan nama “Museum Lukisan Kerakyatan”. Dari Amerika muncul usulan pengamat seni Astri Wright, “Museum Pelukis Rakyat”, mengingat Hendra adalah pendiri perkumpulan Pelukis Rakyat, 1946.
Kala itu Ciputra berencana “meminjam” Galeri Jaya Ancol di Pasar Seni Ancol sebagai rumah sementara lukisan Hendra. Namun akhirnya Ciputra memajang lukisan itu di rumah dan kantornya, PT Pembangunan Jaya. “Semakin banyak lukisan Hendra, semakin saya mencintainya. Sampai sebagian lukisan itu saya pasang di plafon rumah di Pondok Indah,” kisah Ciputra.
Pada 2013 Ciputra membangun mal Ciputra World di kawasan Casablanca, Jakarta Selatan. Di mal raksasa ini hasrat pendirian museum itu dikristalkan. Bermula dari museum lukisan, gagasan mengembang signifikan, sampai akhirnya lahir Ciputra Artpreneur yang merengkuh berbagai cabang kesenian.
Sepuluh tahun (enam bulan) panggung Ciputra Artpreneur memancarkan cahaya, seperti lampu Hanny yang kini gemerlap di rumah negara. ***
*Agus Dermawan T. Penulis buku-buku budaya dan seni. Penerima Anugerah Kebudayaan “Adikara Cipta Budaya” dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, 2024.