BLENDING SOULS, Terminal-terminal Pilihan Pelukis Thailand

Oleh: Agus Dermawan T.*

Puluhan pelukis Indonesia dan Thailand berpesta seni di Bangkok. Kedutaan Besar Indonesia di Thailand penyelenggaranya. Kegiatan kesenian yang sangat layak ditiru Kedutaan Besar Indonesia di berbagai negara.

Pada 4 sampai 30 Oktober 2024 Kedutaan Besar Indonesia di Thailand menyelenggarakan pameran lukisan bertajuk “Blending Souls”. Dalam gelaran di National Gallery of Thailand, Bangkok, ini Indonesia menghadirkan karya Heri Dono, Edi Sunaryo, Galuh Tajimalela, Prajna Dewantara Wirata, Rendra Santana, Camelia Mitasari Hasibuan, Erica Hestu Wahyuni, SP Hidayat, Putu Sutawijaya, Made Toris Mahendra, Ni Nyoman Sani, I Made Ruta, Wayan Kun Adnyana, Ketut Muka Pendet, dan Rachmat Budiman.

Sementara Thailand memunculkan karya pelukis Phunsee Srisuphar, Banlu Wiriyapornprapas, Charlermsak Radanachan, Kreingkrai Kulphun, Panupong Kongyen, Pannaphan Yodmanee, Pongpan Chantanamatta, Sonpote Singthong, Somsak Chowtadapong, Suschart Vongthong. Kurator pameran ini adalah Prof. Dr. Phadung Promoon dan Dr. Mikke Susanto. Sedangkan Agus Dermawan T berperan selaku penulis dan kurator yang diperbantukan.

Poster pameran seni lukis Indonesia –Thailand “Blending Souls” di Bangkok. (Sumber: Agus Dermawan T).

Lantaran yang menyelenggarakan adalah Kedutaan Besar Indonesia, dan tersebab tema pameran ini “Blending Souls”, maka karya para pelukis Thailand secara serta-merta terkoridor untuk melukis “dunia Indonesia”. Sebuah pilihan kuratorial impresif, karena yang muncul dalam pameran segera berada dalam satu ikatan tema: Indonesia dalam rupa dua negara.

Namun apabila kita menyimak secara teliti, penyatuan tema tidak terus membawa materi pameran menjadi seragam. Karena dari tampilan karya para pelukis dua negara ini terbaca adanya perbedaan. Diferensiasi itu dinampakkan lewat sikap para pelukis dari kedua negara dalam memperlakukan jejak-jejak sejarah yang dipelajari, dilalui dan dilakoni.

Perbedaan yang mendasar adalah: sebagian besar pelukis Indonesia berkecenderungan untuk berada di muara sejarah seni rupa Indonesia mutakhir, yakni seni lukis kontemporer. (Meski tentu ada yang berjarak dengan muara itu. Karya Edi Sunaryo dan SP Hidayat sebagai misal.)

Sementara deretan karya para seniman Thailand – sedikitnya yang dimunculkan dalam pameran – tidak hanyut dalam aliran deras sejarah. Sehingga mereka tidak terlihat berkumpul di muara kontemporer, mashab seni yang juga mereka rasakan gema besarnya saat ini. Setiap pelukis Thailand seperti “tidak merasa bersalah” ketika memilih fragmen sejarah masa silam, untuk kemudian ditegaskan sebagai aliran karya seni masa sekarang.

Simpulnya, apabila sebagian besar para pelukis Indonesia “merasa ketinggalan zaman” jika tidak kontemporer (sikap progresif yang tentu sah adanya), maka para pelukis Thailand tampak tidak memperdulikan ihwal kesezamanan itu. Karena yang penting bagi mereka: cipta seni yang tergubah tidak lepas dari mutu.

Sejarah seni lukis Thailand yang tertulis berikut, yang bersepadan dengan sejumlah lukisan seniman Thailand yang dipamerkan di “Blending Souls”, bisa menjadi bukti.

National Gallery of Thailand di Kawasan Chao Fra Road Phra Nakhon, Bangkok. (Sumber: Pathitta DaiPaan Piyasakulsewee).

 

Satu acara temu wicara seniman yang mengawali pameran lukisan “Blending Souls” di Bangkok. (Sumber: Agus Dermawan T).

 

Thailand negeri bebas penjajahan

Thailand – tidak seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, atau Burma – adalah negeri yang tak pernah dihegemoni kekuasaan imperialisme Barat. Dengan begitu Thailand bisa tetap kokoh memegang akar tradisinya, yang diolah dari pertemuan budaya kuno Tiongkok dan India. Sedangkan kebudayaan modern yang dibawa oleh bangsa Barat diambil sebagai referensi yang memperkaya belaka. Kekuatan tradisi itu ditandai dengan terbitnya unsur-unsur dekoratif ornamental dan dekoratif figural di kanvas-kanvas mereka. Lukisan “masa sekarang” karya Charlermsak Radanachan dan Kriengkrai Kulphun dalam pameran “Blending Souls” mewakili mashab ini.

Lukisan Charlermsak Radanachan, pertemuan tari Bali dan tari Thailand yang dekoratif ornamental. (Sumber: Agus Dermawan T).

Pada abad 19 Raja Mongkut dan Raja Chulalongkorn yang kuat mempertahankan tradisi, mencoba mempublikasikan seni Barat di Bangkok. Raja Mongkut mengijinkan para seniman asing bekerja dan mengajar di Thailand, tetapi dengan pembatasan. Sedangkan Chulalongkorn memulai reformasi luas dalam bidang pendidikan dan seni visual, dengan mengangkat fotografi sebagai pintu masuk modernisasi.

Bahkan pada 1897 Raja Chulalongkorn berada di Italia untuk berpose di hadapan pelukis Edouardo Gelli dan sebagainya. Dalam berpose Chulalongkorn selalu mengenakan seragam asli yang mewarisi kesadaran nasional yang muncul dari peradaban tinggi Siam-Thailand. Sang raja juga memesan patung kepada seniman Prancis yang menggambarkan dirinya sedang berkuda dengan aksesori tradisional Siam-Thailand.

Dari sini seni lukis beraura realis fotografis gaya renaisans (renaissance) dengan tetap menghadirkan unsur-unsur renik dan pernik tradisional Thailand, bermunculan. Pilihan atas mashab ini dalam pameran “Blending Souls” diwakili oleh lukisan Sompote Singthong, yang sangat diakui sebagai “pelukis masa sekarang”.

Lukisan Sompote Sinthong, Solidarity #1. Tentang ogoh-ogoh di Bangkok, beratmosfir surealis dengan bahasa bentuk renaisansis. (Sumber: Agus Dermawan T).

 

Lukisan Sompote Sinthong, Solidarity #2. (Sumber: Agus Dermawan T).

Tahun 1932 Thailand mengakhiri monarki absolut. Dari sini seni dikelola pemerintah dengan pengarahan perguruan seni rupa Silpakorn. Seni modern pun marak. Namun pembawaan seni tradisional yang sudah berakar sulit dihilangkan. Beragam gaya lukisan modern diajarkan, namun semangat untuk berpikir tradisional – yang terangkat sebagai konten lukisan – tetap menyelip di tengah gelora seni akademi. “Lukisan mutakhir Thailand” ciptaan Banlu Wiriyapornprapas dan Pongpan Chantanamattha dalam “Blending Souls” adalah contohnya. Lukisan-lukisan yang menggemakan impresionisme dan ekspresionisme, suatu gaya seni lukis seni modern populer di Eropa sejak dahulu kala.

Memasuki tahun 1970-an seni lukis Thailand mengalami kemeriahan, sebagai dampak dari bom pasar seni rupa tahun 1960-an. Bersamaan dengan itu para pelukis yang belajar di luar negeri balik ke Thailand dengan membawa semangat yang mengusung tema surealisme, abstraksi sampai formalisme. Pelukis Damrong Wong-Uparaj, Sawasdi Tantisuk adalah contoh pada awal-awalnya. Dan dikukuhkan oleh Phunsee Srisuphar dan Panupong Kongyen dalam pameran “Blending Souls”.

Memasuki abad 21 angin kontemporer menghembus bangunan seni lukis Thailand, dengan menawarkan berbagai media baru. Para seniman Thailand merespon itu dengan kesadaran penuh, sehingga tidak terguncang. Para pelukis tetap mengolah karyanya, dengan (kadang) menggunakan paradigma kontemporer. Namun sejauh kaki melangkah dalam materi dan teknik, konten tradisional dan ciri rupa tradisional tetap hadir dalam visual lukisan. Pernak-pernik unsur lukisan klasik selalu saja termaktub kuat di dalamnya. Lukisan Somsak Chowtadapong yang ada dalam “Blending Souls” adalah amsalnya.

Lukisan Somsak Chowtadapong, Makkaleephon. Berteknik dan berkonten tradisional, meski bersemangat kontemporer. (Sumber: Agus Dermawan T).

 

Lukisan Somsak Chowtadapong, Himmaphan Forest. Pemandangan kontemporer. (Sumber: Agus Dermawan T).

Bagi seni lukis Thailand, mashab seni tradisional (yang mengacu kepada konten pseudo Buddha), mashab seni ajaran guru Barat, mashab seni modern gelombang Barat, sampai mashab seni kontemporer (yang membawa spirit post modern), bukanlah suatu urutan sejarah. Itu sebabnya tiap mashab periode sejarah itu “tidak dilewati”, namun tetap diposisikan sebagai tanda zaman yang harus dipelihara. Dan atas tanda-tanda zaman itu para pelukis Thailand tinggal menetapkan pilihannya. Bahkan mengambil pilihan itu sebagai terminal cipta seninya.

Itu sebabnya reputasi para pelukis Thailand tidak diukur dari progresivitasnya dalam menyongsong zaman. Tapi pada sedalam apa para pelukis itu setia kepada aliran yang mereka petik dari zaman yang mereka lewati.

Sehingga kurator pameran berkala Asean Selection 1980-an misalnya, bermantap-ria saat memilih karya Ithipol Thangchalok yang bermashab dekoratif ornamental akademis, warisan seni rupa pasca monarki absolut tahun 1932. Pengamat seni Thailand Somporn Rodboon memosisikan tinggi karya Sakchai Uttitho, yang selalu memegang teguh konsep seni campursari sungging Thai dan fotografi Barat yang diajarkan Raja Chulalongkorn pada akhir abad 19. Karya Sakchai pun dimenangkan dalam kompetisi Asean UOB 1996. Dan kurator Apinan Poshyananda dengan penuh kepercayaan meletakkan Wijit Apichatkriengkrai sebagai perupa avant garde nomer satu. Karena Apinan meyakini seniman itu akan bersetia kepada pilihan alirannya.

Kesimpulannya, para pelukis Thailand tidak ingin melakukan evolusi (apalagi revolusi) dalam seni rupa. Mereka cenderung memilih terminal apa yang mereka suka, tanpa perlu lagi pergi ke mana-mana.

 

Thailand membaca Indonesia

Seperti tertulis di awal, pameran ini mengajak para pelukis Thailand untuk melihat dan memahami Indonesia, dan kemudian menyatukan dengan spirit Thailand di kanvas-kanvasnya. Jajaran lukisan dalam “Blending Souls” lumayan menghadirkan persekutuan jiwa itu.

Banlu Wiriyapornprapas dalam seri lukisan Lotus and Indonesia Women menggambarkan aneka bunga di permukaan air. Di antara bunga-bunga tropis yang mekar terlihat pangkal bunga lotus secara terang dan samar. Kita bisa meraba bahwa Banlu sedang mencipta metafora ihwal kebersamaan perempuan Indonesia yang tulus, dengan perempuan Thailand yang disimbolkan sebagai lotus.

Pelukis Phunsee Srisuphar menyajikan seri lukisan semi (setengah) abstrak dalam judul Together as One. Yang dihadirkan dalam gambaran adalah mahluk-mahluk di kedalaman lautan yang sedang bercengkerama dengan riang, dengan balutan warna-warna pastel yang gradatif. Dalam beberapa lukisan itu Phunsee menyajikan kegembiraan, sejalan dengan judulnya yang bermakna “dengan bersama semua bahagia”.

Lukisan Banlu Wiriyapornprapas, Lotus and Indonesia Women. Mewarisi gaya impresionisme ekpsresionistik masa silam. (Sumber: Agus Dermawan T).

 

Lukisan Phunsee Srisuphar, Together as One. Warisan bom pasar seni lukis abstrak tahun 1970-an. (Sumber: Agus Dermawan T).

Lukisan yang semi abstrak juga ditampilkan oleh Suchart Vongthong dalam seri Song, Souls. Di kanvasnya ia menggubah abstraksi alat-alat musik – salah satunya rebab sunda – yang dikerumuni sapuan-sapuan warna yang membentuk tanda notasi, nada dan irama.

Sementara lukisan abstrak simbolis dihadirkan oleh Phannaphan Yodmanee, dalam lukisan The Universe in Blue Eyes. Di kanvasnya ia menggambarkan langit kosong yang mendadak dihentak bentangan bidang biru yang menyimpan sorot mata. Selembar karya yang mengajak meditasi dengan menyertakan tanda-tanda ikonografi Buddha dan Hindu-Bali.

Lukisan Phannaphan Yodmanee, The Universe in Blue Eyes. Lukisan abstrak meditatif dengan simbol Buddha dan Hindu Bali. (Sumber: Agus Dermawan T).

Charlermsak Radanachan dalam lukisan Dance Bali serta Manohra Shadow Play menggambarkan suasana gemuruh pertunjukan panggung yang mempertemukan unsur budaya Thailand dan Bali. Pelukis Kriengkrai Kulphun dalam seri lukisan Afterlife juga menunjukkan kemampuan mengusung jejak-jejak dekoratif Bali dalam lukisan yang didasari spirit seni Thailand. Menarik melihat betapa Kriengkrai ternyata tidak melihat Bali dari sisi yang kasatmata, namun menelusuk ke dalam ranah yang lebih filosofis, dunia niskala. Dengan merangkai obyek-obyek yang dilukiskan secara rinci dan realis, ia membuat cerita segala ihwal yang magis.

Hal yang sama dilakukan oleh Sompote Singthong lewat seri lukisan berjudul Solidarity. Di bidang lukisannya yang sangat estetik ia mempertemukan unsur-unsur religi Bali dan mitologi Thailand. Unsur-unsur itu tampak menciptakan arak-arakan.

Duta besar Indonesia untuk Thailand, Rachmat Budiman sedang meninjau kegiatan melukis di halaman Istana Ayutthaya, Bangkok. (Sumber: Dokumentasi).

 

Edi Sunaryo sedang berkolaborasi melukis dengan Ami, mahasiswi Poh Chang Academy of Art, Thailand. (Sumber: Dokumentasi).

Rachmat Budiman, Duta Besar Indonesia untuk Thailand mengatakan bahwa “Blending Souls” adalah penyelenggaraan yang ketiga dari pameran yang semacam. Tahun 2022 temanya “Bridge of Colors”. Tahun 2023 “Blossoming Curiosity”.

Yang seru, pameran besar itu selalu disertai dengan “makanan pembuka”. Seperti yang sekarang: melukis bersama di kanal-kanal Bangkok dan Istana Ayutthaya, workshop melukis di American School, Sekolah Indonesia dan Poh Chang Academy of Art, Bangkok. Juga temu wicara seniman dan kunjungan ke beberapa museum. “Ini pesta seni rupa sambil mempererat persahabatan dua bangsa. Itu intinya,” kata Rachmat Budiman.

***

*Agus Dermawan T., Kritikus. Narasumber ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden Republik Indonesia.