Arie Smit: HofAS dan Rumah Memorabilia

(Bagian Kedua)

Oleh Agus Dermawan T.*

Kediaman Arie Smit dijadikan museum memorabilia, House of Arie Smit. Letaknya tak jauh dari Neka Art Museum, yang memajang lukisan Arie dalam Pavilyun Arie Smit. Semua benda penting dan remeh-temeh peninggalan Arie terangkai jadi sejarah. 

—————

“ARIE SMIT, pendiri perkumpulan Young Artist di Penestanan, Ubud, 1960, adalah pelukis yang memuja alam lewat warna, yang dimanifestasikan dengan kemurnian jiwa seorang penjelajah. Seorang yang berjalan jauh di bawah matahari tropik. Ia penemu inti semesta alam Bali.” 

“Dua unsur utama lukisannya: bentuk dan warna, menyatu dalam sintesa, dan masing-masing tampak tidak tertonjolkan dominasinya. Warna melebur dalam obyek, dan obyek dilebur dalam warna. Hal baru dalam seni rupa Indonesia.” 

“Selintas idiom-idiom pemikiran impresionisme Paul Cezanne dan fauvisme Henri Matisse berdenyut dalam lukisan Arie Smit. Namun pemahaman Arie atas jagad mistis Timur dan gelora warna obyek-obyek dunia Timur, menjadikan karyanya murni milik sendiri.”

Arie Smit muda dengan topi dinas. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Itulah rangkuman tulisan atas reputasi Arie Smit, pelukis Indonesia keturunan Belanda yang bermukim di Bali sejak tahun 1956. (Baca: Arie Smit – Mencari “Teja Jegeg”, Ketemu Bebek!  BWCF edisi 28 Juli 2025.)

Kematian dan memorabilia 

Syahdan pada 2013 kondisi Arie Smit amat lemah. Hampir sepanjang 2014 ia hanya tergolek di kediamannya yang nyaman dan asri, Villa Sanggingan, Kedewatan, Ubud. Ia tak lagi bisa berkomunikasi. Bahkan seperti koma. Namun pada 2015 ia mendadak mampu duduk dan bercakap-cakap, meski dengan mata yang nyaris buta. Namun itu ibarat lilin yang menyala terang sebelum mati. Pelukis besar ini akhirnya wafat di rumah sakit Denpasar pada 23 Maret 2016. Dua puluh tiga hari sebelum usianya yang ke-100. 

Banyak yang menyarankan agar pernik kehidupan dan kebesaran reputasi Arie Smit dimuseumkan dalam suatu tempat. Untuk itu kediaman Arie Smit terakhir di Villa Sanggingan, Kedewatan, Ubud, diharapkan oleh publik untuk dijadikan rumah museum memorabilia. Ini untuk mendampingi pajangan karya Arie yang ada di Neka Art Museum, yang berada di satu jalan. 

Harapan publik itu dipenuhi dan diwujudkan oleh putera Suteja Neka, yakni Dr. Pande Made Kardi Suteja Sp.U, atau Dokter Kadek, yang tercatat sebagai Direktur Neka Art Museum. Museum memorabilia itu diberi nama House of Arie Smit.

Bagian dari House of Arie Smit, museum memorabilia Arie Smit, di Villa Sanggingan, Kedewatan, Ubud, Bali. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Benda-benda memorabilia di House of Arie Smit, dari sendok, cangkir, piring, catatan harian, kartu pos sampai obat-obatan. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Dokter Kadek bersama isterinya, Laksmi Kardi, menjadikan House of Arie Smit bukan hanya sebagai rumah kenangan masa lalu, tapi dijadikan sumber inspirasi bagi generasi masa depan. Untuk meneruskan spirit Arie Smit yang melegenda, kala membimbing, mempromosikan dan membuka pintu masa depan bagi kehidupan anak-anak dan remaja Penestanan, tahun 1960-an dulu.

Beberapa rumah yang pernah didiami oleh Arie Smit di villa itu dikemas. Benda-benda memorabilia Arie Smit, dari buku-buku, grafiti di papan, sepatu dan sendal, sampai lemari, dipajang di tempat semula. Begitu juga palet, kaleng minyak lukis, aneka cat, kwas, bahkan obat-obat yang ditinggalkan. Kursi rotan berkasur tipis tempat Arie setiap kali duduk menerima tamu, serta meja sederhana yang menjadi latar suguhannya sehari-hari, diposisikan seperti dulu. Begitu juga easel dan meja lebar yang dipakai kala ia melukis. Menarik diketahui bahwa Arie suka melukis di atas meja lebar, dengan posisi berdiri. “Kadang, melukis itu seperti menulis,” katanya. 

Taman indah dan alamiah yang setiap jam dipandangi Arie Smit dilestarikan dan dipelihara. Begitu juga sofa di serambi villa yang menghadap lembah dengan latar belakang Gunung Agung. Di sofa itu Arie setiap pagi bergumam dengan suara lirih, sendirian:  Goede morgen Gunung Agung…. Rahajeng semeng Gunung Agung.” 

Sementara di bagian depan House of Arie Smit ini didirikan kafe beraura arsitektur Zaandam, kampung halaman Arie. Nama kafe itu HofAS Art & Eatery, yang di antaranya menyediakan menu khusus kesukaan Arie kala masih sehat. Menu itu adalah strawbery pancake, toast bread dan black coffee untuk breakfast. Sandwich, nasi goreng ayam telur mata sapi, corn soup, onion soup, pumpkin soup, corn fritter, potato fritter, avocado salad dan juice avocado, untuk lunch dan dinner. Untuk dessertnya, ice cream strawberry, buah pisang, dan pisang goreng. Aaach, lekker etten, Meneer!

Banyak pengunjung ingin mencoba menu Arie itu. Sebagian besar diimbuhi pretensi, “Agar bisa sohor dan panjang umur seperti Tuan Arie”. Hehehe. Semoga.

Pemandangan pagi hari dilihat dari serambi kamar Are Smit. “Goede morgen Gunung Agung… Rahajeng semeng.” (Sumber: Agus Dermawan T.)

 Rahasia di balik warna

Lukisan-lukisan Arie Smit sudah banyak beredar, dan umumnya publik sudah tahu karena Arie begitu terkenal. Namun ternyata ada puluhan lukisan Arie yang selama ini tersembunyi lama. Dan lukisan-lukisan tersebut akhirnya dipajang dalam pagelaran “Poetic Light”, pada 19 Juli sampai 19 Agustus 2025, di Neka Art Museum, Ubud, Bali 

Lewat lukisan-lukisan pilihan ini Arie Smit (seolah) menjabarkan metoda pelukisan bentuk, metoda penggambaran atmosfir, dan metoda teknik pemulasan warna yang tidak banyak diketahui orang. 

Metoda khas Arie Smit itu demikian. Ia acap melukis langsung di lokasi obyek, atau on the spot. Di situ ia bisa menyelesaikan seluruh lukisan atau setengah lukisannya. Untuk selanjutnya ia tuntaskan di studionya. Namun apabila tidak melukis secara on the spot, Arie membuat sketsa dahulu di atas kertas yang biasanya berukuran sekitar folio. Sketsa itu digoreskan dengan pinsil atau sipidol hitam, hijau atau biru. Rumpun perdu, pemandangan sawah ladang atau pantai digambarkan dengan ringan, dan dibentuk dalam pola-pola bentuk yang gampang diingat. 

Lalu pola bentuk itu ia tulisi dengan catatan: ini warna biru, itu ungu, ini vermilion, itu cobalt blue, langit merah, bagian batu abu-abu. Lantas di pojok kertas sketsa ia menulis lokasi obyek, hari apa, tanggal berapa, sampai jam berapa obyek itu dikunjungi. Kadang dengan imbuhan catatan suasana seperti: de middag was bewolkt en bijna motregenend. Sore hari mendung dan hampir gerimis.

Arie Smit mengumpulkan banyak sketsa itu di rumahnya. Sampai pada suatu waktu ia menyimak lagi sketsa-sketsa itu. Yang kembali menyentuh hati, dan menyimpan kenangan mendalam, ditransformasi ke kanvas.

Namun sebelum sketsa itu dipindah ke kanvas, Arie memoles dulu kanvas kosongnya dengan cat, yang warnanya disesuaikan dengan konsep sketsa yang akan dipindahkan. Apabila pulasan warna di kanvas itu sudah kering, ditimpa lagi dengan pulasan warna lain. Penimpaan warna ini bisa berlangsung tiga atau empat kali. Sehingga, sebelum lukisan dibuat, di dalamnya sudah ada lapisan warna-warna yang kaya. Maka ketika lukisan itu dinyatakan jadi, yang muncul adalah dimensi warna. Yang mungkin tidak teraba oleh mata, tetapi tersentuh oleh rasa.

Yang jadi pertanyaan, warna-warna apa yang dipoleskan sebagai latar paling belakang lukisan itu? Formula cat bagaimana yang ia pulaskan berkali-kali di atas kanvas kosong itu? Arie menyebutnya : “Dat is het keukengeheim van de schilder,” katanya. Artinya, itu rahasia dapur seorang pelukis. Meski akhirnya Arie membocorkan rahasia itu kepada beberapa orang. Metoda inilah yang menyebabkan lukisan yang memalsukan karya Arie selalu terdeteksi.

Lukisan Arie Smit, “Menyapu di Depan Pura” (Sumber: Agus Dermawan T.)

Pameran minus “boy”

Dalam pameran ini tergelar karya-karya Arie yang berkelindan dalam tiga tema. Yakni tema “Membingkai Perdu dan Bunga”, tema “Lukisan Selingkung Bali”, dan tema “Semesta Panorama”. Semua tema di atas digarap dengan metoda penciptaan khas Arie itu. 

Jajaran lukisan tersebut menunjukkan bahwa Arie selalu saja melukis ihwal Bali. Ia tak ingin melukis nostalgianya yang jauh, selama ia di Belanda, di Batavia, di Bandung, di Pulau Galang, misalnya. Atas hal itu ia punya pepatah kuno Belanda yang sangat dipercaya: beter een goede buur dan een verre vriend. Lebih baik tetangga yang dekat ketimbang sahabat yang jauh. Bali dianggap tetangga sangat dekatnya.

Yang menarik, dalam pameran ini tidak ada satu pun lukisan Arie yang menggambarkan figur. Sementara masyarakat Bali tahu bahwa figur yang digemari kanvas Arie adalah laki-laki. Suatu hal yang menyebabkan para penonton pameran bertanya: “Kok tidak ada boy di sini…” 

Tapi subyek “boy” muncul ramai dalam pameran karikartun (karikatur@kartun) tentang Arie Smit yang digelar di Srimsu Hall, Neka Art Museum, pada 14 Juni sampai 14 Juli 2025. Pameran unik yang dibuka oleh aktor Butet Kartaredjasa ini menghadirkan karikartun Cok Padmanaba, Jango Pramartha, Muka Pendet, Pinky Sinanta, Rai Remawa, Surya Dharma, Wied N, Windu Tujenk, dan Pande Made Kardi Suteja – sang direktur museum.

Karikartun Pinky Sinanta, “The Birth of the Young Artist Style” , yang dipamerkan dalam Art and Life Journey of Maestro in Cartoon and Caricature, di Srimsu Hall – Neka Art Museum, Ubud, Bali, 14 Juni sampai 14 Juli. (Sumber: Agus Dermawan T.)

 Bintang Maha Putra

Dalam acara podcast yang mengiringi pameran “Poetic Light”, kolektor Tossin Himawan bertutur bahwa Arie Smit adalah pelukis yang sangat low profile. Penulis sejarah seni Indonesia yang tidak jeli bakal luput mencatatnya. Padahal Arie memiliki riwayat yang hebat, luas dan mendalam, dengan jasa besar yang nyaris tak pernah disiarkan. Tossin Himawan, sahabat Arie selama tiga dasawarsa, adalah kolektor lukisan Arie Smit dalam segala tema.

Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar, Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana S.Sn, M.Sn mengatakan bahwa Arie tidak hanya berkontribusi artistik bagi seni rupa Bali post tradisional dan modern. Tetapi juga punya jasa sosial dan kemanusiaan sangat besar. Salah satunya, Arie pernah lama menjadi relawan pelatihan melukis dan penyembuhan psikologi bagi kanak-kanak dan remaja di kamp pengungsi di Pulau Galang. Tugas yang dikoordinasi UNHCR (United Nations High Commissioner fo Refugees) ini dilakukan pada tahun 1970-an, kala ratusan kanak-kanak dan remaja Vietnam terimbas perang melawan Amerika.

Arie Smit sedang menuntaskan lukisannya di atas meja. (Sumber: Buku Lucienne Smit)

Pande Wayan Suteja Neka, pendiri Neka Art Museum, Ubud, Bali. Orang yang paling berjasa meluhurkan Arie Smit di hari tua. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Sosok Arie Smit, karya Arie Smit, sampai jasa-jasa Arie Smit dalam sejarah seni lukis Bali dan Indonesia semakin banyak dibicarakan. Atas semua kiprahnya itu Arie Smit mendapat medali Wija Kusuma dan Dharma Kusuma dari Pemerintah Bali, serta medali dari Sanggar Dewata, organisasi yang mengamati tokoh pemberi kontribusi kepada Bali. 

Walau seharusnya Arie Smit juga berhak menerima lebih dari itu. Seperti Bintang Budaya Parama Dharma atau bahkan Bintang Maha Putra. Penghargaan negara yang sifatnya nasional. Termasuk tentu Suteja Neka (kini 86 tahun), pendiri museum swasta pertama di Bali dan pendiri museum keris utama di Ubud, yang menjadi promotor Arie Smit selama puluhan tahun. *** (Selesai)

*Agus Dermawan T. Kritikus. Penulis dua buku Arie Smit, tahun 1993 dan 2016.