Meracik Rasa dan Ingatan Kolektif melalui Makanan Melayu di Singapura
Oleh Arya Pandhu
“Ini bukan buku masak. Ini adalah cerita tak tertulis dari suatu bangsa”. Begitu catatan penegasan akhir dari Khir Johari, penulis buku “The Food of Singapore Malays: Gastronomic Traveler Through The Archipelago.”
Khir Johari adalah satu dari sekian penulis dan juga budayawan berkebangsaan Singapura, berdarah Melayu yang lahir dan besar di kawasan Kampong Gelam (Kampung Glam). Sebagai generasi keempat, yang berangkat dari latar belakang keluarganya yang menjadi pewaris Gedung Kuning (Mansion Kuning), yang terletak di dalam area Istana Kampong Gelam peninggalan Sultan Hussein (1819-1835).
Kali ini, ia mencoba untuk berbagi pengetahuan dan resep kuliner dengan mengangkat kembali cita rasa dan ingatan kolektif seputar tradisi cita rasa makanan -Gastronomic Travel Through The Archipelago- (Perjalanan Gastronomi Melalui Nusantara), lewat buku dengan kemasan hard cover setebal 624 halaman (dimensi: 28x25x5cm), yang kaya warna dengan ilustrasi visual (foto, gambar, tabel) dan lampiran teks dan data yang terbilang komplit.
Identitas Makanan Melayu
Disadari atau tidak, sejauh ini penulis seperti sedang membangun semacam ‘ensiklopedia’ politik cita-rasa melalui ekosistem – rantai makanan Melayu yang ada di Singapura dalam empat bagian: I.People, Space and Place (3 Chapter); II.Indigenous Ingenuity (6 Chapter); III.Food as Civilisation (4 Chapter); IV.Food and The Politics Identity (3 Chapter). Melalui gaya story-telling yang cair, ia berhasil memaparkan hasil ‘petualangan lidah’-nya dengan segala bentuk dan problematikanya itu menjadi semakin menarik untuk dinikmati.
Meski terbilang berat dari sisi volume material bukunya (3200gr). Buku cetakan pertama yang diberi kata pengantar pembuka oleh chef legendaris dunia, Anton Mosimann OBE, DL (Inggris) dan dibagian penutup ada tulisan dari karibnya, Faris Joraimi (Singapura), seorang penulis dan peneliti yang mengkhususkan diri dalam politik budaya dan luar negeri Dunia Melayu.
Buku yang memiliki materi koleksi literasi pustaka yang juga tak kalah banyak dan lengkap yang tercatat secara detail dibagian akhir itu terbit eksklusif dari Publisher Marshall Cavendish. Bukunya, baru saja dirilis ke publik pada Ahad siang (5/6), di Toko Buku Wardah, 58 Bussorah Street, Singapura. Antusiasme terlihat dari para tamu dan undangan yang hadir di area bangunan heritage yang berada di depan kawasan sohor Singapura, Sultan Mosque (Masjid Sultan), Kampong Gelam.
“Buku ini menceritakan kisah memukau dan abadi tentang bagaimana makanan terletak di jantung identitas; bagaimana identitas Melayu terikat erat dengan komunitas lintas budaya atau komunitas kota pelabuhan peranakan lainnya: dan bagaimana makanan dan identitas Melayu Singapura secara intrinsik hibrida, kompleks, dan benar-benar memesona,” papar Kennie Ting, Direktur Museum Peradaban Asia dan Museum Peranakan dalam testimoninya.
Lebih jauh, melalui buku ini, ia ingin menyampaikan bagaimana politik identitas menjadi sangat penting dan berperan besar melalui -Family Genealogy- (Silsilah Keluarga) yang lahir dan tumbuh dalam dirinya menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dalam upaya dan usaha untuk membangun kesadaran, keterlibatan dan kepemilikan akan tradisi dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhurnya di Gedung Kuning, Kampong Gelam.
Khir yang sempat terpilih sebagai Wakil Presiden Singapore Heritage Society (2016) itu, terbilang sanggup untuk melihat apa yang tidak terlihat. Secara konsisten, dari perjalanan sebelas tahun risetnya untuk buku ini. Ia ingin mengajak kita untuk melihat apa, kenapa dan bagaimana kita, orang Melayu yang ada di Singapura bahkan Nusantara. Melihat Singapura pada masanya yang sudah memiliki pusat perbelanjaan makanan, yang berfungsi sebagai simpul distribusi untuk produk dan bahan baku yang dapat di konsumsi dari seluruh dunia.
Saat ini, keberadaan orang Melayu (Jawa, Minang, Boyan, Bugis, Banjar), berjumlah kurang dari seperlima populasi di Singapura. Lantas, peristiwa berkumpul bersama sembari menikmati makanan dan minuman sebagai ajang silaturahmi ini. Telah berhasil ikut menjaga dan memelihara kehidupan sosial budaya orang Melayu asli selama berabad-abad, demi menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan. Akan halnya saat tradisi Hari Raya tiba, yang menghadirkan beragam makanan tradisi khas Melayu yang mengikutinya hingga saat ini.
“Saya melihat makanan Melayu kurang diteliti dan diakui. Padahal melalui makanan kita dapat melihat bagaimana tradisi budaya bangsa ini ikut membangun peradaban dunia,” tandasnya pada kesempatan itu. Untuk itu sudah sepantasnya, jika kita bisa ikut mengawal warisan tradisi turun-temurun sebagai bagian dari Intangible Cultural Heritage itu dari generasi ke generasi seperti halnya kegelisahan saya hari ini. Bagaimana perubahan dalam sebuah peradaban ini tak lagi bisa dihindari.
Cita-Rasa Nusantara
Buku ini, menjadi sebuah oase atas hasil kerja keras dan ucapan terimakasihnya kepada Kampung Gelam yang sejak mula telah menjadi sebuah arena titik kumpul (melting pot) dari berbagai macam etnik-suku (Cina, Melayu, India, Eurasia, Peranakan), yang mendiami Singapura di awal perjalanannya sebagai sebuah bangsa yang mandiri. Tak heran, karena sejak mula Singapura sudah menjelma menjadi dapur makanan dunia yang kuat dan kaya akan bahan rempahnya. Apalagi mengingat posisinya sebagai jalur lalu-lintas utama perdagangan dunia, di Nusantara diantara Malaysia – Singapura – Indonesia.
Perjalanan hidup pria yang sempat belajar matematika di Santa Clara University, California dan Magister Pendidikan di Universitas Stanford itu. Kini, seolah melintasi ruang dan waktu. Fokus titik pandangnya untuk melihat ke seluruh wilayah Melayu di Pulau Temasek melalui makanan yang memiliki nilai budaya dan sinkritisme inilah yang menjadi kunci. Dan bisa membuatnya selalu terinspirasi dan terkoneksi dengan keberadaan jejak para leluhurnya.
Tak hanya itu, yang juga menarik dalam bukunya adalah penguasaan dan penggunaan teori lingustik dalam penyebutan arti dan nama makanan serta kelengkapan penyertanya. Ia dapat menganalisis terhadap gaya kata, bunyi, dan kalimat, yang tentunya tidak bisa dipisahkan dengan kajian morfologi, fonologi, semantik dan sintaksis pembentuknya. Termasuk dalam perbedaan kata dan sebutan nama dalam makanan misalnya. Karena perbedaan serapan artikulasi bahasa dan budaya yang melingkupinya seperti yang dijelaskannya di depan publik saat itu.
Seperti halnya, apa yang disampaikan oleh Naadhira Ismail, Baker/Pemilik Mother Dough Bakery Singapura dalam testimoninya. “Buku ini adalah pintu gerbang yang sempurna untuk menemukan budaya dan warisan Melayu melalui lensa gastronomi. Dengan penelitiannya yang mendalam dan wawasannya yang luar biasa, Khir melukiskan dunia yang menarik dan memesona.”
Tak heran, jika apa yang terangkum dalam buku yang sarat arti dan makna yang juga dibubuhi dengan 32 resep makanan khas Melayu ini, mampu menjadi salah satu referensi dan bacaan penting bagi siapa saja yang ingin mengetahui seputar dunia makanan dan perlu mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang relasi antara manusia dan makanan mereka, khususnya bagi Orang Melayu di Singapura.
Bagaimana sebuah cerita antropologi budaya orang Melayu dalam makanan yang diwariskan itu, tertanam secara mendalam diberbagai aspek identitas mereka. Mulai dari era Sriwijaya dari abad VII hingga emporium kosmopolitan Singapura abad XXI. Dengan bisa menelusuri kontinuitas dan kesadaran budaya yang dinamis terhadap jejak-rekam perjalanan makanan Melayu di Singapura.
Karena baginya, Singapura adalah sebuah kota yang memiliki ikatan masa lalu dengan dunia Peradaban Melayu. Ia mewarisi cita rasa Nusantara yang kaya, yang pada masanya dulu membuat orang Eropa tertarik untuk mencarinya hingga ke wilayah Nusantara. Orang Melayu Singapura memiliki warisan kuliner yang agung yang mencerminkan pandangan dunia, nilai-nilai sosial, dan interaksi historis mereka dengan budaya lain.
*Arya Pandhu, pekerja Media dan Seni. Tinggal di Yogyakarta dan Singapura.