Membaca Puisi-Puisi Riwanto Tirtosudarmo
Oleh: Jonnie Kirman*
Kemarin, hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2024 saya ikut menyaksikan bedah buku puisi Mencari Revolusi dari pak Riwanto dirumah Budaya Ratna di Jln. Diponegoro Kota Malang. Sebagai sarjana psikologi, Pak Ri lalu melanjutkan pendidikkannya di-bidang Demografi hingga meraih gelar Doktor tentu memiliki dinamika, dan tantangan yang meng-asikan. Sekarang masih aktif menjadi penulis independen yang telah pensiun dari LIPI, telah lama mengabdikan hidup dirinya, menjalani panggilannya sebagai seorang peneliti disebuah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sekarang bernama BRIN. Tentunya telah memiliki pengalaman, pandangan, dan wawasan yang sangat luas dan kompleks (bijak) terhadap kehidupan sosial masyarakat, maupun eksistensi personal manusianya secara utuh, masyarakat Nusantara yang terlahir dengan berbagai latar belakang lingkungan ekonomi, pendidikkan, sosial budaya secara holistik.
Sebagai seorang penulis, pak Ri tidak perlu diragukan lagi dengan kepakarannya. Beliau juga pernah memberikan tulisan pengantarnya dalam pameran Jejak Senirupa “Senja Hari” saya dengan beberapa rekan seniman pada November 2023 di Batu, dan juga telah menguratori pameran seniman patung Dolorosa Sinaga di-Jakarta. Pak Riwanto sebagai seorang peneliti memiliki pengalaman serta wawasan yang luas, juga memiliki pribadi yang rendah hati, dimana beliau merupakan seorang sahabat dan sekaligus juga menjadi mentor yang menyemangati saya untuk menulis, yang hampir setiap minggu mengirimkan puisi, catatan catatan kecil atau berbagi informasi menarik lainnya, walau dalam beberapa hal kami memiliki pandangan, dan pilihan politik yang berbeda. Tentu dengan perbedaan tersebut tidak menjadikan beliau menjaga jarak yang jauh dari saya, seperti beberapa orang teman yang telah menjaga jarak, bahkan telah memusuhi saya dengan justifikasi bahwa dia-lah yang paling benar, menurut kebenarannya dirinya sendiri, tetapi di-dalam realitanya teman2 tersebut tidak jelas pada bidang kepakarannya. Sebab, jika ia seorang seniman lukis tentulah mereka memiliki lukisan, dan tetap terus konsisten berkarya. Ketika saya dengan pak Ri berbeda pendapat, kami masing-masing saling menghormati pendapat, dan perbedaan tersebut, sebab saya juga memiliki keyakinan dan data-data valid yang dapat diuji kebenarannya. Dengan ketokohan dan kepakarannya, Pak Ri tidak perlu diragukan lagi sebagai penulis independen.
Tetapi saya melihat pak Riwanto dengan kepakarannya yang telah memiliki wawasan luas, dan bijaksana, bisa “jatuh” juga karena terpengaruh oleh orang-orang yang tidak jelas bidang kepakarannya, sehingga pak Riwanto menulis buku puisi tentang Mencari Revolusi yang tidak berada dalam konteks ruang dan waktu, seperti apa yang telah saya teriakan tentang Revolusi Budaya didepan ratusan seniman lukis di Ancol sekitar lima belas tahun yang lalu, dan telah bermetamorforsis menjadi Revolusi Mental yang harus terus disadari, terus melakukan intropeksi diri oleh para intelektual, seniman, budayawan dan semua lapisan masyarakat.
Menurut pandangan saya pak Riwanto telah termakan oleh provokasi dari temannya yang tidak jelas kepakarannya itu. Jika salah satu rujukannya adalah Goenawan Mohamad maka kita perlu mundur kebelakang sedikit, untuk melihat kontroversi semasa Anies Baswedan menjabat jadi Menteri Pendidikan yang pernah mengadakan pameran Buku di Frankfurt Jerman, dan telah terjadi “skandal” keuangan, dimana GM menjadi salah satu tim pameran tersebut.
Setelah Anies Baswedan diberhentikan dari Menteri Pendidikan, terlihat ada beberapa tokoh budayawan yang datang ke Istana Negara menemui Presiden Jokowi, apakah itu terkait dengan skandal pameran tersebut? Hal ini masih meninggalkan sebuah tanda tanya besar hingga sekarang. Maka, relevansi bedah buku Mencari Revolusi itu telah bias ke dunia antah berantah.
Cara pandang kehidupan pribadi manusia itu memiliki perspektif dimensi yang cukup unik, melihat konstruksi yang dibangun oleh Immanuel Kant di-dalam bukunya Kritik Atas Akal Budi Praktis (Critique of Practical Reason) memiliki metode analisis dan regresif yang pengalaman estetik dan moralitasnya tidak dipisahkan dari keberadaan eksistensi manusia dari kesalahan masa lampau, ataupun kebenaran subyektif the original of sin dari manusia itu sendiri.
Bagaimana cara GW Friedrich Hegel mengkonstruksi idealisme yang tercermin dari bentukan sebuah keluarga yang terdiri dari orang tua, pasangan suami, istri, dan anak-anak di dalam sebuah bangunan keluarga yang ideal merupakan sebuah terobosan dari tatanan masyarakat dan tatanan sosial politik.
Karl Marx menelaah ulang dan membuat hipotesis idealism Hegel dari sebuah keluarga yang harmonis, menjadi sebuah komunitas yang lebih luas dan jauh, sehingga membuka jalan terang bagi “pemberontakan” Friedich Nietzche yang berujung menjadi sosialis komunisme di Eropa Timur, Uni Soviet dan sebagian Asia yang kini telah runtuh dan tak berdaya.
Pada tahapan berikutnya ada seorang eksitensialis Soren Kierkegaard, filsuf dari Denmark yang terus mengkritisi idealisme keluarga dalam bangunan itu, tidak berbanding lurus dengan pribadi-pribadi yang tergabung di dalamnya. Bahwa ada perbedaan personalitas pribadi unik yang dimiliki oleh masing-masing pribadi manusia, yang tidak boleh di-justifikasi, atau harus tunduk dari kebenaran subyektif pada pribadi lainnya.
Di dalam eksistensi kehidupan manusia yang terus bergolak, dengan perkembangan teknologi yang meluncur seperti kecepatan cahaya, maka pergulatan hidup manusia otentik menjadi semakin tidak memiliki signifikansi.
Menurut Plato, ada kebenaran hakiki yang ultimate diatas sana, sesuatu yang Summum Bonum merupakan sebuah kebenaran yang ideal.
Indonesia dengan Revolusi Mentalnya telah didekonstruksi oleh sekelompok manusia yang berbicara atas nama demokrasi yang tidak jelas, dan telah memberikan ruang kebebasan berpikir, berpendapat dengan cara mencaci maki yang tidak ada batasannya.
Dan kesemuaannya itu diatasnamakan demokrasi {Free thinker}. Akan tetapi, pada sisi lain kebenaran subyektif itu berjalan selaras dengan berita-berita kebohongan bagaikan dua sisi mata uang yang melesat dengan kecepatan cahaya di dunia sosmed, sehingga sebuah berita (yang hoax) akan berubah menjadi sebuah kebenaran “absolut” yang akan dipeluk oleh banyak kalangan tertentu. Dan masyarakat kita yang masih miskin literasi, meyakini berita-berita palsu tersebut sebagai sebuah “kebenaran” karena beritanya disebar luas secara sporadis.
Yang ingin saya katakan disini adalah, ada sesuatu hal yang bersifat esensial dari seorang pak Riwanto yang memiliki konteks di dalam ruang, dan ada pada waktunya, sehingga hati yang bijakasananya telah ditunggangi oleh orang-orang yang tidak jelas pada posisi kekaryaannya, seperti manusia yang hidup menurut alam sadarnya, atau alam bawah sadar (Sigmund Frued). Atau kita akan mengukur keberadaan eksistensi manusia itu menurut psikologi analisis dengan membagi komposisinya menurut sifat Sanguinis, Melankolis, Plegmatis dan Koleris dari jaman Yunani kuno. Dan tentu kita juga harus melihat seseorang dari latar belakang keluarganya, dan lingkungan dimana seseorang itu bersosialisasi, sehingga bentukan karakter pribadi manusia itu dapat terukur, atau ada hal-hal misterius yang masih tersembunyi sehingga tidak terlihat secara kasat mata, seperti sulitnya kita membedakan orang yang mengalami depresi berat Bipolar, dengan orang yang sebenarnya memiliki berkepribadian ganda, yaitu Psikopat.
Atau mari kita kembali meyakinin, cara berpikir, dan menghidupi dari cara pandang manusia renaissance.
Saya pribadi bergulat dengan proses kehidupan ini, dan meyakini pergulatan yang otentik itu adalah sebuah kebenaran yang dapat dipeluk erat, serta dapat dihidupi oleh eksistensi masing-masing secara pribadi, dan jika kebenaran subyektif itu dapat hidangankan diatas piring-piring, dan dibagikan di meja hidangan, maka “kebenaran” itu akan berubah menjadi Dogma Religius Yang Baru.
Salam Satu Sloki!
*Jonnie Kirman, seniman dan pegiat sastra dari Batu, Jawa Timur.