Kidung Anjampiani : Kisah Pengembaraan Sang Pujangga Melintasi Sejarah
Oleh Ika Anggraeni*
Judul Buku: Kidung Anjampiani
Penulis: Bre Redana
Penerbit: Pojok Cerpen dan Tanda Baca
Tebal: x + 141 hlm; 12 x 19 cm
Cetakan: I, Juni 2022
Dalam dunia jurnalistik, nama Bre Redana tentu bukan nama yang asing. Lama berkarir di salah satu koran nasional, mulai dari menjadi wartawan, redaktur, kepala desk koran Minggu, untuk menyebut beberapa di antaranya. Setelah purnakarya, masih lanjut mengisi kolom esai di koran yang sama.
Selain di koran, beliau juga menulis beberapa buku baik fiksi maupun non fiksi. Diawali dengan terbitnya novel Blues Merbabu lalu tidak lama berselang juga kumpulan cerita pendek Urban Sensation. Gaya dan tema cerita di kedua buku tersebut bernuansa “mbois”. Dan masih ada beberapa buku lain setelah itu.
Tahun-tahun belakangan, Bre tampaknya senang bermain imajinasi di genre fiksi sejarah. Di ranah online ada cerita bersambung yang berpusar pada kisah Menakjingga dan Damarwulan. Di ranah offline ada novel bertajuk “Majapahit Milenia”, “Dia Gayatri”, dan yang terakhir adalah “Kidung Anjampiani”.
Kalau di “Majapahit Milenia” dan “Dia Gayatri” masih melibatkan tokoh-tokoh dimensi masa kini, tidak demikian adanya di “Kidung Anjampiani”. Tokoh-tokoh di buku terakhir ini semuanya ada di masa lalu. Walau ada perpindahan-perpindahan periode waktu yang berbeda maupun transisi ke dunia dongeng, cerita rakyat.
Berlatar belakang era kerajaan Majapahit, utamanya di masa pemerintahan Raja Jayanagara, buku ini mengisahkan pengembaraan Kuda Anjampiani, sang tokoh utama. Menjadi putra satu-satunya dari Ranggalawe, sang adipati Tuban dan sekaligus cucu dari Arya Wiraraja, penasihat Raden Wijaya dan penguasa Majapahit wilayah Bang Wetan, tidak lantas menjadikan Kuda Anjampiani tertarik masuk ke ranah politik. Malahan Anjampiani memilih dunia kepujanggaan, sastra. Sesuai anjuran gurunya, menganalogikan dirinya dengan laba-laba.
“Orang-orang memanggilku pujangga muda…. Laba-Laba pujangga urusannya bukan mencari makan, tapi memerangkap kenangan.”
Tentu saja hidup Kuda Anjampiani tidak lantas terbebas sama sekali dari intrik-intrik politik. Ayahnya, Adipati Ranggalawe, tewas saat membawa Tuban melakukan perlawanan terhadap Majapahit. Alasannya semata karena tidak setuju atas pengangkatan Nambi menjadi patih Majapahit. Lembu Sora yang adalah adik kakeknya, gugur saat difitnah hendak melabrak istana. Patih Nambi, yang kemudian menjadi mertua pun juga tidak luput menjadi korban jahatnya politik: dianggap memberontak dan dihabisi oleh orang-orang istana. Bahkan sang kakek, Arya Wiraraja, pada akhirnya dilucuti kekuasaannya.
Tidak melulu berkutat pada perang dan carut marut pertikaian dalam kerajaan, Bre juga membumbui cerita dengan kisah asmara. Ada Dewi Sekartaji Asmara, pasangan Anjampiani. Nama tokoh ini sekilas mengigatkan pada karakter yang cukup populer di cerita tradisi lisan Nusantara yakni Dewi Sekartaji di cerita panji sekaligus Dewi Anjasmara di cerita Damarwulan.
“Colekan-colekan” lain ke cerita rakyat Indonesia beberapa kali ditemukan dalam buku ini. Muncul cerita rakyat “Dongeng dari Wengker” yang kalau ditilik ceritanya merupakan cerita cikal bakal reog Ponorogo. Terdapat juga cerita tentang Prabu Watugunung, dua istri dan dua puluh tujuh anaknya. Kisah ini populer sebagai cerita asal mula sistem penanggalan wuku di kalender Jawa dan Bali. Bahkan tokoh Arya Penangsang pun juga ikut mendapat “spotlight”. Ada pula cerita Damarwulan-Menakjingga-Kencanawungu-Patih Logender. Yang terakhir ini dihubungkan kemiripannya dengan pemberontakan Ranggalawe.
Buku fiksi sejarah berlatar waktu periode kerajaan-kerajaan Nusantara dahulu masih berkuasa selalu menarik bagi saya. Buku “Arok Dedes”nya Pramoedya Ananta Toer, trilogi “Rara Mendut”-“Genduk Duku”-“Lusi Lindri”nya YB Mangunwijaya, “Nagasasra Sabukinten”nya SH Mintardja adalah beberapa yang masih terkenang-kenang. Buku-buku tersebut selalu memiliki alur cerita yang seru dengan drama pertikaian, persahabatan, percintaan, ilmu-ilmu persilatan atau olah kanuragan, intrik istana, dengan nuansa bentang alam khas Indonesia yang biasanya dideskripsikan cukup detail.
Begitupun di buku “Kidung Anjampiani” ini. Selain intrik politik yang berkaitan dengan keluarga Anjampiani, dimunculkan juga peristiwa lain yang tidak kalah menarik. Misalnya insiden dibunuhnya Raja Jayanagara oleh tabib istana. Atau perang sampyuh antara Mahesa Anabrang dan Ranggalawe. Proses olah susastra yang dialami Anjampiani. Lalu liciknya Mahapati yang diibaratkan seperti Bilung, punakawan pendamping pihak jahat dalam pewayangan (walau menurut saya kok rasanya figur Sengkuni lebih cocok). Percakapan puitis antara Anjampiani dan Sekartaji Asmara. Peran politis Gayatri. Sumpah Gajahmada. Dan banyak lagi.
Buku ini tidak panjang dan tidak serius-serius amat (Anjampiani tidak selalu serius dan santun, kadang ya nakal juga). Tapi ditulis jelas dengan tidak main-main. Fakta-fakta sejarah yang bertaburan di sini, kalau dirunut memang benar adanya. Karakter-karakternya, lokasi kerajaan, pelabuhan, hutan, candi. Bahkan ada peta Jawa Timur di halaman depan, dengan lokasi Tuban, Lumajang, Trowulan, hutan Tarik, Kediri, Blambangan, terpatri di situ. Fakta-fakta tersebut dikombinasikan cerita fiksi dengan apiknya. Sehingga batas antara yang benar adanya dan yang murni imajinasi pengarang menjadi kabur. Peralihan waktu, misal dari era Jayanagara ke era Raden Wijaya lalu ke era Singasari,dilakukan dengan halus. Begitupun saat ada belokan ke cerita rakyat.
Segar dan jelas menghibur untuk dibaca. Dan layaknya karya pujangga, tetap ada dalam beberapa bagian “menyentil” dunia politik masa kini. Penguasa harus hati-hati terhadap orang-orang di sekitarnya, yang alih-alih tampaknya memberikan nasihat demi kepentingan bangsanya, tapi nyatanya yang dipikirkannya hanyalah kepentingan diri sendiri atau golongannya semata. Masa yang dimana mencari integritas jauh lebih susah dibandingkan yang banyak bersilat lidah.
“Siapa tidak percaya kekuatan dongeng? Tercipta dari aksara yang diperlakukan sebagai mutiara, kata melahirkan daya; bahasa menggugah kesadaran; dongeng menghasilkan perubahan.”
*Ika Anggraeni,penikmat buku dan seni tradisi, tinggal di Depok, Jawa Barat.