Keindahan sebagai Representasi Ingatan, Gugatan dan Pengetahuan
Oleh Indro Suprobo*
“If it is not tempered by compassion, and empathy,
reason can lead men and women into a moral void.”
Karen Armstrong,
Twelve Steps to a Compassionate Life
Kutipan yang diambil dari pernyataan Karen Armstrong dalam bukunya berjudul Twelve Steps to a Compassionate Life itu kurang lebih menyatakan bahwa apabila tidak direngkuh oleh belas kasih dan empati, akal budi manusia dapat membawanya kepada tindakan-tindakan yang justru menyangkal moralitas. Pernyataan ini hendak memberikan peringatan bahwa akal budi manusia itu tidak boleh netral dan harus senantiasa dididik dan dilatih dengan belas kasih (compassion) dan empati.
Peringatan yang dinyatakan oleh Karen Armstrong ini sesungguhnya dilandasi oleh pengalaman nyata bahwa akal budi manusia dapat membawa kehancuran kemanusiaan karena membutakan diri terhadap kesucian yang bersemayam di dalam kemanusiaan, sehingga tanpa perasaan bersalah dan menganggap diri berada dalam normalitas, sanggup melakukan kejahatan sempurna terhadap kemanusiaan. Pembantaian kaum Yahudi di Eropa (holocaust) pada masa Hittler dan pembantaian 1965 di Indonesia adalah contoh nyata. Kamp konsentrasi dan pembasmian di Auschwitz-Birkenou di Polandia dan kuburan-kuburan massal di berbagai daerah di Indonesia adalah sebagian dari jejak-jejaknya.
Lalu, apa itu compassion yang oleh Karen Armstrong dipandang sebagai fakultas penting yang sanggup mendidik akal budi manusia?Compassionberasal dari bahasa Latin compatire, dan diartikan sebagai bersimpati, ikut menderita atau menyelami penderitaan orang lain. Dalam berbagai kesempatan dan forum serta dalam buku terbarunya yang berjudul Twelve Steps to a Compassionate Life, Karen Armstrong menggambarkan compassion sebagai kaidah emas yang menuntut kita untuk melihat ke dalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita terluka, dan dalam keadaan apapun, kita menolak untuk menimbulkan luka dan rasa sakit yang sama itu kepada orang lain. Dengan demikian compassion itu adalah suatu sikap altruisme yang berprinsip dan konsisten.1
Karen Armstrong juga menegaskan bahwa prinsip compassion yang terletak di jantung semua tradisi agama, etika dan spiritualitas, memanggil kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan, atau tidak memperlakukan orang lain sebagaimana kita sendiri tidak ingin diperlakukan. Compassion mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah demi meringankan penderitaan sesama makhluk, untuk menggeser diri kita dari pusat dunia kita dan menempatkan yang lain di sana, dan untuk menghormati kesucian setiap manusia yang tidak dapat diganggu gugat, memperlakukan semua orang, tanpa kecuali, dengan keadilan mutlak, kesetaraan dan rasa hormat.2
Lorong Waktu, sebagai penanda perjalanan yang mengambil jarak terhadap seluruh proses menulis kehidupan, adalah buah dari akal budi yang telah dipeluk dan direngkuh oleh compassion dan empati. Oleh karenanya, sebagai kenangan tentang perjalanan (memoriae itinerum), ia tidak hanya melukiskan nos-tagia yang indah, netral dan mengawang-awang, melainkan merepresentasikan ingatan, gugatan sekaligus pengetahuan yang mempertanyakan dasar-dasar pijakan dari banyak hal yang pada umumnya dianggap sebagai normalitas dan kebe-naran. Lorong Waktu adalah kumpulan puisi yang secara tegas namun halus, mencerminkan compassion, yang secara berani menggeser diri sendiri dari pusat perhatian, menempatkan subyek-subyek lain ke dalamnya, secara intensif menyelami pengalaman-pengalaman mereka, membiarkan suara, jeritan dan keluhan mereka menggaungkan dirinya untuk didengar, serta memberi ruang bagi wajah-wajah mereka untuk menam-pakkan diri agar dikenali.
Ingatan yang Menggugat (Memoria Subversiva)
Perjalanan sebagai proses menuliskan hidup selalu menyisakan sesuatu yang tak mau pergi dan mengendap dalam ingatan. Ingatan-ingatan yang dibaca kembali dan dilukiskan di dalam puisi-puisi karya Riwanto Tirtosudarmo ini bukanlah ingatan-ingatan yang diam, netral atau tak peduli. Ingatan-ingatan yang dibaca kembali dan dilukiskan di sini adalah ingatan-ingatan yang menggetar (vibrant memories), yang melahirkan pertanyaan dan gugatan terhadap tatanan yang pada umumnya dianggap sebagai normalitas, kebenaran, dan pengetahuan yang secara common sense juga diterima sebagai keyakinan-keyakinan.
Ingatan-ingatan itu mempertanyakan batas cakrawala yang ketika didekati senantiasa mundur, meluas, menyediakan jarak, menghilang dan tak pernah tergapai. Adakah batas-batas itu sebenarnya? Ia mempertanyakan arah mata angin. Ia mempertanyakan timur dan barat dengan segala konstruksi mitos, pengetahuan dan keyakinan yang tersembunyi di dalamnya. Ia mempertanyakan konstruksi dan keyakinan tentang keunggulan Barat yang merendahkan timur, yang seringkali melahirkan arah orientasi kemajuan, kebaikan, kebenaran yang senyatanya melahirkan diskriminasi, manipulasi, perampasan kekayaan dan akumulasi keuntungan pada segelintir orang dan melahirkan beragam bentuk penindasan. Ia mempertanyakan apa sesungguhnya demokrasi. Jika orang-orang yang integritasnya dipertanyakan ternyata justru dapat meraih kemenangan, lalu apakah sesungguhnya yang disebut politik itu? Apakah politik itu memang benar-benar merupakan seni tentang kemungkinan-kemungkinan (the art of possible) ataukah semestinya ia merupakan seni tentang prinsip-prinsip yang menjadi pondasi dan landasan bagi kebersamaan kehidupan (the art of principle)?3
Ingatan tentang pengalaman keindahan dan kenyamanan bagi Riwanto Tirtosudarmo tidak serta merta melahirkan kegembiraan atau kebahagiaan di dalam dirinya. Keindahan dan kenyamanan yang bagi umumnya orang barangkali melahirkan kebahagiaan mendalam bahkan seringkali perasaan bangga, baginya justru menyusupkan gugatan tentang kebijakan, apakah keindahan dan kenyamanan ini secara setara dan adil dapat diakses oleh orang lain tanpa diskriminasi? Apakah udara segar dan kebebasan di sebuah taman juga dapat dinikmati oleh para imigran? Sebuah gugatan yang sangat altruis dan sangat jauh dari sifat egois.
Melalui kenangan tentang sebuah patung Indian berwarna hitam, di Plymouth, yakni patung Massasoit, Sachem yang agung bagi suku-suku Indian Wampanoag, ingatan itu mempertanyakan sebuah tradisi yang makna dominannya merupakan konstruksi oleh para pemenang namun tak sang-gup menghilangkan pengalaman penghancuran dan kebia-daban yang tersimpan di baliknya. Bagi kaum kulit putih Amerika, thanksgiving adalah tradisi kultural yang bermakna kemenangan, syukur dan mengandung banyak kegembiraan, namun bagi suku Indian Wampanoag, suku aseli sebelum kehadiran imigan kolonial dari Inggris, thanksgiving adalah ingatan tentang penderitaan, penghancuran, kebiadaban, dan etnic cleansing yang dihadapi oleh kaum suku mereka. Ini me-rupakan ingatan akan kolonialisme dan penindasan. Untuk mengingatkan perspektif pengalaman korban, dalam puisinya Riwanto Tirtosudarmo menutup dengan kalimat, “menang dan kalah menyatu di Plymouth“.
Dalam nada yang sama, kemegahan-kemegahan masa kini yang dapat disaksikan, bagi Riwanto tetap tak dapat menyembunyikan masa lalu yang dipenuhi oleh penaklukan-penaklukan. Relasi kuasa yang digenggam oleh kolonialisme dan agama-agama yang mendomplengnya, tetaplah menarasikan kemenangan-kemenangan, yang selanjutnya telah diterima sebagai pengetahuan dan keyakinan. Realitas dan pengalaman kekalahan semakin tersembunyi dalam kegigihan konstruksi narasi. Pergantian generasi semakin mengukuhkan narasi kemenangan dan menghilangkan yang sudah tersembunyi, yakni realitas penaklukan dan pengalaman kekalahan. “Di Katedral, matahari telah disalibkan dan bulan telah di-tahbiskan. Ia adalah kemegahan yang menyembunyikan penaklukan Lamaholot dan Lerawulan-Tanaekan.” Oleh karena itu, di berbagai wilayah, sejarah masih harus dituliskan dan dibukukan.
Pantas diakui juga bahwa ingatan-ingatan yang menggugat yang dilukiskan di dalam puisi-puisi ini, sebenarnya dilandasi oleh ingatan-ingatan tentang penderitaan (memoria passionis), keprihatinan, kegelisahan dan keresahan terhadap realitas yang seringkali tak dapat dipahami oleh akal. Ia prihatin terhadap kenyataan bahwa dunia politik selalu berhimpitan dengan dunia kriminal, sehingga merindukan hadirnya sesuatu yang etis di tengah realitas yang kotor. Ia geram terhadap keserakahan, hilangnya rasa malu dan perasaan bersalah, hancurnya solidaritas, dan merajalelanya ketidakadilan. Ia prihatin terhadap banyak tindakan penganiayaan di mana negara justru hadir sebagai ancaman bagi warganya sendiri. Ingatan-ingatan tentang penderitaan yang secara mendalam dan intensif dialami oleh sesama, yang luka-luka dan jeritannya tak tertanggungkan, seringkali melahirkan gugatan yang tak dapat menyembunyikan kemarahan mendalam. Dari arah manakah tega itu datang? Dari manakah kebengisan? Bagaimana mung-kin manusia kehilangan kemanusiaannya sehingga bahkan merasa bangga dengan kejahatannya?
Seluruh ingatan yang mengajukan pertanyaan dan gugatan, pada gilirannya disebut sebagai ingatan yang subversif karena dalam bahasa Latin, sub-vertere itu artinya membelok atau memutar dari bawah, sehingga dapat mengakibatkan keterjungkalan tatanan. Ingatan yang mempertanyakan dan mengajukan gugatan itu dapat menjungkirbalikkan segala sesuatu yang sudah disebut sebagai normalitas, tatanan kemapanan, pengetahuan dominan serta keyakinan-keyakinan yang dipertahankan. Pertanyaan dan gugatan itu mengguncang kemapanan pandangan, anggapan, sikap, keyakinan maupun pengetahuan.
Pengetahuan yang Terpinggirkan
Ingatan-ingatan yang mengguncang kemapanan keyakinan dan pengetahuan ini, pada gilirannya mendorong pembaca untuk berani mencari, menelusur, menggali, menemukan, mengangkat, dan merumuskan pengetahuan yang telah tertimbun oleh konstruksi dominan. Ingatan yang mengguncang kemapanan ini dengan sendirinya menarik kembali semua pengetahuan yang selama ini telah dipinggirkan, menuju ke tengah agar menjadi pusat perhatian.
Lorong Waktu adalah kumpulan puisi yang dengan compassion dan empati, memberikan pengakuan (recognition) terhadap pengalaman dan pengetahuan yang dengan berbagai macam cara telah diabaikan, dilupakan dan ditelantarkan. Ia merupakan kesediaan dan keberanian untuk memungut kembali pengalaman dan pengetahuan yang telah sengaja di-buang dan tak diperhatikan.
Secara konsisten, Lorong Waktu tidak menempatkan dirinya sebagai terminal atau tujuan akhir, melainkan me-nyediakan diri sebagai ruang transit yang menyuguhkan petunjuk-petunjuk arah ke mana selanjutnya subyek pembaca musti melangkah. Ia menghadirkan dirinya sebagai catatan-catatan kaki yang sejatinya berfungsi sebagai petunjuk menuju kepada beragam referensi. Ke sanalah, para pembaca dapat membangun orientasi.
Dengan demikian, menyusuri Lorong Waktu, adalah sebuah undangan untuk menelusur kembali pengetahuan tentang kepentingan tersembunyi di balik mitos dan keyakinan-keyakinan, tentang Barat dan Timur, tentang adidaya dan citra demokrasi. Ia menyediakan kesempatan untuk secara jeli mengenal seperti apakah wajah-wajah kolonial. Ia memberi jalan untuk memperhatikan bagaimanakah praktik dan perilaku penaklukan. Ia menyuguhkan keberanian untuk mendengarkan kidung duka dan narasi kekalahan Lamaholot dan Lerawulan-Tanaekan serta pengalaman penderitaan para korban prahara yang telah terabaikan.
Seluruh jejak yang ditemukan di dalam lima puluh puisi karya Riwanto Tirtosudarmo ini, merupakan petunjuk yang pasti bahwa Lorong Waktu adalah keindahan, buah akal budi yang telah direngkuh dan dipeluk oleh compassion dan empati, yang tergetar oleh luka dan derita sesama, yang menggeser diri sendiri dari pusat dan menempatkan pihak lain sebagai perha-tian, yang secara kritis mempertanyakan dan menggugat kemapanan, yang secara berani mengungkap pengetahuan yang terpinggirkan, merindukan sesuatu yang etis senantiasa memancar dari antara kekotoran, dan menegaskan integritas sebagai alternatif tegas bagi penyangkalan moralitas.
Pilihan nilai yang tersembunyi di dalam jejak-jejak lima puluh puisi ini, pada akhirnya ditegaskan dalam bait-bait ini:
Aku memilih berada di pinggiran
menjadi saksi di kubangan menganga itu
Kubangan besar yang ditinggalkan mereka yang berbondong ke tengah
Di pinggiran Indonesia orang-orang yang disingkirkan itu meneduh
Aku ingin bersama orang-orang yang berdiri di pinggiran Indonesia
Dengan demikian, Lorong Waktu telah melabuhkan dirinya sebagai ingatan, gugatan dan pengetahuan orang-orang yang berada di pinggiran. Ia menjadi keindahan yang merekah di dalam keberpihakan. Dengan cara demikian, ia justru sedang menempatkan mereka yang di pinggiran itu pada pusat perhatian. Ia sedang merangkul mereka ke dalam pengakuan, dan menghormati mereka dalam sepenuhnya kemartabatan.
Pilihan nilai ini masih akan terus diperjuangkan dalam menulis kehidupan menuju masa depan, dan diterima sebagai perjalanan yang masih harus diselesaikan. Cakrawala di depan masih terus menyediakan undangan dan kesempatan. Perjalanan belum mencapai titik akhir tujuan karena masih ada puisi yang belum dituliskan, seperti perjalanan yang belum dituntaskan, ada yang selalu tak dapat diungkapkan, ada yang ingin terus tersimpan, seperti kisah yang ingin disembunyikan.
Akhirnya, selamat menapaki Lorong Waktu, mengenali ingatan-ingatan, merasakan getaran dan guncangan gugatan-gugatan, menelusuri dan menemukan pengetahuan-pengetahuan yang dipinggirkan, lalu merenung-renungkan makna keberpihakan. ***
——-
1Lih. Compassion and the Real Meaning of the Golden Rule, dalam https://www. themarginalian.org/2015/01/08/karen-armstrong-compassion/ seperti dikutip dalam Indro Suprobo, Titian Keadilan, Satunama Merefleksikan Perjalanan, Satunama 2024, hlm.5
2Ibidem.
3Bdk. Ignas Kleden, “Mendayung di antara Asketik dan Politik” dalam Rikard Bagun (Ed), Bung Hatta, Penerbit Buku Kompas 2003, hlm.185
——
*Indro Suprobo, Penulis, Editor dan Penerjemah Buku, Tinggal di desa Yogyakarta