Dongeng Indonesia: Gemamu Kini
Oleh Mahwi Air Tawar
Judul buku : Mendongeng, Yuk!
Buku Skrip untuk Mendongeng
Penulis : Nana Ernawati, Kurnia Effendi, Agus Istiyanto, Dianne Rose
Cetakan pertama: Oktober 2021
21 x 29.7 cm. vi + 187 halaman
Penerbit: LSS- Reboeng, Jakarta
Sebagai karya sastra, dongeng kurang mendapatkan tempat istimewa di panggung sastra Indonesia. Dongeng tidak sebagaimana puisi, cerpen, dan novel yang senantiasa menjadi primadona, diburu dan diperbincangkan di meja-meja kopi kaki lima, di forum-forum dan di kelas-kelas sastra, di kampus-kampus, dan di media-media.
Nasib dongeng seperti awal mula kita kenal, sekadar suara sayup-sayup di panggung sastra Indonesia, sesayup dan sesamar suara ibu dan nenek kita dulu saat mendongeng menjelang tidur.
Tidak salah kemudian, bila narasi-narasi dalam dongeng yang ditulis di zaman sekarang tidak bisa berpaling dari kata pembuka “kunci”; dahulu, pada zaman, dan yang sejenisnya. Sebagai sastra tutur (foklor), sejatinya dongeng tidak sekadar bertumpu pada tema-tema dengan narasi-narasi masa lalu, juga zaman “dahulu kala”. Narasi-narasi dalam dongeng bisa saja direvitalisasi dengan narasi-narasi lebih segar. Begitu juga isi, tidak melulu bertumpu pada narasi-narasi yang di dalamnya terkandung muatan-muatan pelajaran nilai dan budi pekerti.
Narasi-narasi yang di dalamnya terkandung nasihat, pelajaran, nilai, dan budi pekerti, amatlah baik ditanamkan di lubuk pikiran pembacanya, khususnya anak-anak. Tapi interpretasi sebagai pintu pembuka cakrawala imajinasi dan pelecut berpikir kritis bagi anak-anak jauh lebih penting ketimbang dijejali dengan narasi-narasi nasihat atau pesan moral yang susah dikesampingkan oleh penulis dongeng dan cerita anak.
Tidak bisa dibayangkan beban yang harus ditanggung anak-anak bahkan oleh penulis dongeng yang harus selalu menyelipkan pesan moral, nasihat-nasihat “suci” kepada pembacanya yang, tidak lain-tidak bukan adalah anak-anak. Bayangkan pula, anak belasan tahun mesti berpikir dan harus menyampaikan pesan moral, nasihat-nasihat yang, sejatinya, dalam karya sastra Indonesia baik dongeng, puisi, cerpen, dan novel, pesan senantiasa tersirat baik lewat analogi-analogi, metafor-metafor yang dibangun dengan sadar oleh penulisnya.
Tapi bagaimana dengan dongeng? Dongeng atas naskah-naskah cerita anak-anak sejak mula dirancang dan bahkan dalam kerangka penulisan, pesan moral –disengaja atau tidak– seakan menjadi syarat utama yang mesti didahulukan ketimbang isi, alur, dan tentu metafor-metafor. Oleh karena “pesan dan nasihat” menjadi syarat paling afdzal di negeri ini akhirnya tidak sedikit penulis terjebak di dalamnya, sementara, pada saat bersamaan syarat-syarat kepenulisan lainnya seperti tema, alur, metafor menjadi nomor kesekian, sehingga kecenderungan alur dan atau kalimat-kalimat yang dibangun menjadi kering, seperti sebuah laporan pertanggungjawaban sebuah kegiatan.
Untungnya, dongeng-dongeng yang ditulis dan dihimpun dalam “Mendongeng, Yuk!” (Buku Skrip untuk Mendongeng) ini tidak banyak terjebak dengan apa yang saya sampaikan di atas, meski dalam sekian banyak skrip dalam buku ini si “nasihat” selalu menggoda, dan sebagian penulis terkadang tidak kuasa mengendalikannya.
Dalam buku ini, para penulis yang skrip-skripnya terhimpun dalam “Mendongeng, Yuk!” juga melakukan terobosan revitalisasi dan memberi ruang tafsir baru terhadap cerita-cerita rakyat atau kisah-kisah yang terjadi di masa lalu. Buku kumpulan skrip “Mendongeng Yuk!” ini ditulis oleh beberapa sastrawan dan penyair Indonesia, di antaranya, Nana Ernawati, Kurnia Efendi, Ugus Istiyanto, dan Dianne Rose. Dalam buku setebal 187 halaman ini berisi 23 skrip mendongeng.
Kehadiran buku skrip “Mendongeng, Yuk!” ini penting untuk dimiliki dan tentu saja dibacakan baik sebagai referensi literasi maupun sebagai pengayaan imajinasi anak-anak guna mengenal lebih jauh kekayaan budaya, foklor, dan literasi Indonesia.
*Penyeduh kopi dan penggerak literasi pinggiran.