Paugeran

Oleh: Gus Nas Jogja*

“Kekuasaan adalah racun yang merayu jiwa. Paugeran sejati adalah penawar racun itu, ditemukan bukan di dalam keraton, melainkan di dalam kerelaan untuk menjadi debu. Dari Pengging, senyum kematian menjadi paugeran abadi yang membimbing tahta Mataram Islam.”

Historiografi Jawa bukanlah sekadar kronik pergantian raja dan perluasan wilayah; ia adalah sebuah kitab suci yang terus-menerus mendialogkan prinsip-prinsip kosmis, politik, dan spiritual. Di jantung dialektika ini bersemayam konsep Paugeran, Tatanan Universal atau Prinsip Fundamental yang harus dipegang teguh oleh Raja-Pandita –Raja sekaligus Ulama. Paugeran adalah Dekrit Ilahi yang memegang keseimbangan antara Makrokosmos –Alam Semesta dan Mikrokosmos –Jiwa Manusia.

Tragedi Ki Ageng Pengging, atau Kebo Kenanga, pada abad ke-16, di bawah bayang-bayang Kerajaan Demak Bintoro, adalah tirtayasa –ritual pemurnian, yang paling awal dan paling berdarah bagi Paugeran Jawa. Pengging adalah silsilah darah terakhir Majapahit yang menolak tunduk pada Paugeran yang baru diproklamirkan oleh Sultan Trenggono. Sebagaimana kita tahu, Ki Ageng Pengging adalah cucu Prabu Brawijaya V, pemegang saham darah yang setara dengan kekuasaan Demak, namun ia menolak undangan pengukuhan Sultan, sebuah penolakan yang diulang hingga tiga kali.

Penolakan ini, dalam kacamata politik Demak, adalah makar—pelanggaran terhadap Paugeran Wujud — Hukum Negara dan Kepatuhan. Namun, dalam perspektif filsafat spiritual, ia adalah sebuah deklarasi Paugeran Batin—sebuah kedaulatan yang dipindahkan dari Istana yang fana ke Langgar (mushola) yang sunyi. Ki Ageng Pengging telah memilih jalan laku* (perjalanan spiritual) asketik; dari seorang priyayi agung yang berhak atas mahkota, ia memilih menjadi petani yang bercocok tanam, tenggelam dalam dzikir dan tafakur.

Pertarungan antara Pengging dan Demak, antara Darah Leluhur dan Legitimasi Baru, bukan hanya menciptakan Jaka Tingkir (kelak Sultan Hadiwijaya, pendiri Pajang), tetapi juga menciptakan sebuah Kode Kematian yang akan terus menghantui setiap tahta Jawa hingga ke Kasultanan Yogyakarta di masa kini. Kematian Ki Ageng Pengging bukan akhir, melainkan awal dari Paugeran yang sejati: bahwa Raja sejati adalah dia yang paling sanggup melepaskan.

Paugeran Syariat vs. Paugeran Haqiqat: Dialog Kematian Pengging

Konflik Demak dan Pengging adalah konflik antara dua arus Paugeran Islam di Jawa: yang diwakili oleh Wali Songo dan Demak, yang menekankan Syariat (Hukum Formal dan Tatanan Sosial), dan yang diwakili oleh Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging, yang menekankan Haqiqat –Kebenaran Batin dan Penyatuan Mistik.

Tuntutan Paugeran Wujud: Ancaman Kehancuran Demak. Sultan Trenggono, sebagai Khalifatullah (pemimpin agama dan negara), harus menegakkan Paugeran Wujud. Dalam Historiografi Demak, kegagalan menuntut kepatuhan dari Pengging berarti runtuhnya otoritas pusat. Kerajaan Demak, yang didirikan di atas pasir transisi dari Majapahit yang multikultural, tidak mampu mentolerir ambiguitas atau penolakan.

Trenggono harus bertindak keras, karena Paugeran Wujud menuntut kejelasan: Anda berada di bawah tahta, atau Anda adalah musuh tahta. Sikap Pengging yang memilih untuk menjauhi kekuasaan, padahal memiliki darah raja, justru dianggap sebagai makar yang lebih berbahaya; makar spiritual. Itu adalah sugesti bahwa Paugeran sejati berada di luar lingkup Keraton, yang merupakan racun bagi konsolidasi Negara Islam. Dalam bahasa politik modern, ini adalah ancaman terhadap monopoli kedaulatan. Demak harus menghukum Ki Ageng Pengging untuk menegaskan bahwa Paugeran Negara berada di atas Paugeran Individu.

Kedaulatan Pasif: Pilihan Kematian di Langgar Pengging. Di sisi lain, Ki Ageng Pengging memilih menjadi subjek yang paling radikal: seorang Sufi yang menerapkan filosofi Manunggaling Kawula Gusti secara totalitas, yang ditafsirkan sebagai Paugeran Pelepasan. Ia melepaskan semua atribut kekuasaan—gelar, tanah, dan ambisi—dan mengubah dirinya menjadi bagian integral dari alam: seorang petani.

Dalam sastra spiritual, langgar Ki Ageng Pengging menjadi Pusat Paugeran yang baru, menggeser pusat Demak. Ia memilih tenggelam dalam laku mistis, menanti kelahiran putranya, Mas Karebet. Penolakannya untuk hadir di pengukuhan Sultan adalah pernyataan filosofis: “Kedaulatanku tidak dipertaruhkan, karena aku sudah memenangkan kedaulatan atas diriku sendiri. Kau hanya bisa mengambil yang fana, yang abadi sudah aman dalam diriku.”

Ketika Sunan Kudus datang, ia datang sebagai utusan dua Paugeran yang saling berhadapan. Dialog antara mereka di langgar sunyi itu adalah momen sastrawi-filosofis yang paling agung.

“Perlihatkan ilmu seperti apa mati di dalam hidup,” pinta Sunan Kudus. Ini bukan permintaan untuk ilmu kanuragan, melainkan untuk bukti kasampurnan –kesempurnaan, yang diklaim Ki Ageng Pengging.

Ki Ageng Pengging tersenyum. Senyumnya adalah jawaban Paugeran Batin: kematian sejati adalah penolakan ego, bukan penolakan raga. Ia meminta keris kecil ditusukkan ke sikunya. Tusukan ini hanyalah sebuah katalis pelepasan (8)—sebuah kode etik yang diizinkan untuk memisahkan sukma dari jasad, sementara kesadaran dan Paugeran Batin tetap utuh.

Nafasnya berhenti, namun bibirnya tersenyum. Kematian ini adalah sebuah kemenangan spiritual. Ia membuktikan bahwa Paugeran Batinnya berada di luar jangkauan eksekusi, meninggalkan Sunan Kudus dengan beban historis yang teramat berat, sekaligus janji darah yang kelak akan menuntut penebusan di Mataram.

Historiografi Mataram: Sintesis Paugeran Sultan Agung. Kisah Ki Ageng Pengging adalah luka yang harus disembuhkan oleh dinasti-dinasti berikutnya. Mataram, yang didirikan oleh keturunan yang membawa darah Pengging (melalui Pajang), harus menyatukan Paugeran Syariat Demak dengan Paugeran Batin Pengging. Inilah tugas yang diemban oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Sultan Agung: Raja, Begawan, dan Kosmolog. Sultan Agung adalah arsitek Paugeran Mataram sejati. Ia mengerti bahwa untuk membangun Kekaisaran Jawa yang langgeng, ia harus mengatasi ketegangan yang merobek Demak. Dia tidak hanya menjadi penakluk militer, tetapi juga seorang Kosmolog Agung yang menyelaraskan Paugeran Wujud dan Batin.

Konsolidasi Paugeran Wujud: Sultan Agung memproklamirkan dirinya sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah—Penyusun Tatanan Agama. Ia menetapkan Paugeran Nagari yang ketat, memperluas kekuasaan hingga ke luar Jawa Tengah, dan menetapkan tatanan feodal yang rigid. Ia adalah penegak Syariat yang diperlukan untuk stabilitas.

Harmonisasi Paugeran Batin: Namun, ia juga sangat menghormati laku mistis. Ia menyempurnakan kalender Jawa-Islam (Kalender Saka-Hijriyah), mengintegrasikan ritual-ritual istana dengan mistisisme lokal (Gunung Merapi dan Laut Selatan), dan memastikan bahwa setiap tindakan politik memiliki justifikasi spiritual (Sangkan Paraning Dumadi).

Sultan Agung, dengan mengawinkan Kekerasan Struktural (kekuasaan yang tegas) dengan Kebaikan Batin (filsafat mistis), berusaha menuntaskan dendam Paugeran. Ia mengambil darah spiritual Ki Ageng Pengging yang mati di langgar, dan menggunakannya sebagai fondasi batin bagi Keraton yang agung. Ia mengubah Paugeran yang terbelah menjadi Paugeran yang terintegrasi, di mana Raja tidak hanya mewakili Tuhan di bumi (seperti Trenggono), tetapi juga mewakili Kasampurnan (seperti Ki Ageng Pengging).

Manuskrip dan Mitologi Sultan Agung. Manuskrip-manuskrip yang dikompilasi pada era Mataram, terutama yang kemudian menjadi bagian dari Babad Tanah Jawi, menekankan Paugeran sebagai takdir kosmis. Ki Ageng Pengging diangkat dari seorang pemberontak menjadi seorang Martir Filsafat yang kematiannya diperlukan untuk memurnikan garis keturunan. Ini adalah koreksi historiografi yang genius: Demak menghukumnya karena makar, tetapi Mataram menghormatinya karena pilihan askese.

Dengan demikian, Mataram Islam, khususnya Yogya, mewarisi sebuah paradoks: tahta mereka kokoh karena pendahulunya (Pengging) memilih untuk mati meninggalkannya.

Sri Sultan Hamengku Buwono: Paugeran Kontemporer dan Ujian Kedaulatan. Dinasti Hamengku Buwono (HB) di Kasultanan Yogyakarta adalah pewaris langsung dari Paugeran sintesis Sultan Agung. Falsafah utama mereka, Hamemayu Hayuning Bawana (Memperindah Keindahan Dunia), adalah sebuah Paugeran yang menyeimbangkan Wujud (pemerintahan yang baik) dan Batin (pelestarian budaya dan spiritualitas).

Sepanjang sejarahnya, setiap Sultan HB telah diuji oleh Paugeran yang sama: ketaatan pada tatanan luar (Hindia Belanda, Republik Indonesia) sambil mempertahankan kedaulatan batinnya. Namun, tidak ada ujian yang lebih eksplisit dan dramatis terhadap Paugeran Batin dibandingkan yang terjadi di zaman kontemporer.

Sabda Raja 2015: Penegasan Kedaulatan Mistik

Pada tahun 2015, Sri Sultan Hamengku Buwono X membuat sebuah dekrit tunggal yang menggegerkan Paugeran Keraton Yogyakarta: Sabda Raja . Peristiwa ini adalah pengulangan filosofis yang nyaris sempurna dari drama Ki Ageng Pengging, tetapi dilakukan dari dalam Keraton, bukan dari luar.

Inti dari Sabda Raja HB X adalah perubahan Paugeran Wujud Keraton:

1. Perubahan Gelar: Sultan mengubah gelar dirinya, khususnya menghilangkan sufiks Kapindho (kedua) dan mengubahnya menjadi Jumeneng (yang bertahta).

2. Garis Suksesi: Secara implisit, ia membuka kemungkinan bagi perempuan untuk memegang tahta, sebuah pelanggaran Paugeran Adat (hukum tradisional) Keraton yang selama ini melarang Ratu (Sultan perempuan).

Tindakan ini ditentang keras oleh kerabat Keraton, yang menuduh Sultan melanggar Paugeran Adat (Paugeran Wujud yang telah melembaga). Para kerabat menuntut kepatuhan pada tatanan yang telah berjalan ratusan tahun, persis seperti Trenggono menuntut kepatuhan pada Kebo Kenanga.

Namun, Sri Sultan HB X bergeming. Ia membenarkan Sabda Raja-nya bukan berdasarkan musyawarah keluarga atau Paugeran Adat, melainkan berdasarkan Titah Ilahi atau wahyu spiritual yang ia terima dalam laku pribadinya.

Ini adalah Paugeran Batin kontemporer: Sama seperti Ki Ageng Pengging memilih kasampurnan pribadinya di atas panggilan Trenggono, Sultan HB X memilih Kedaulatan Mistik (Paugeran Batin) yang ia terima secara langsung, di atas Paugeran Adat (Paugeran Wujud) yang diwakili oleh kerabatnya. Sultan menegaskan bahwa, meskipun ia adalah pemimpin negara (Gubernur DIY) dan penjaga tradisi, Paugeran utamanya berasal dari sumur spiritualnya sendiri, sebuah kedaulatan yang tidak dapat diveto oleh kerabat manapun.

Melalui Sabda Raja, Sultan HB X menyatakan bahwa Paugeran Wujud (Adat) harus tunduk kepada Paugeran Batin (Petunjuk Ilahi Raja). Ia secara historis menghidupkan kembali roh Ki Ageng Pengging: Seorang pemimpin sejati harus berani menolak Tatanan yang diakui secara lahiriah demi Tatanan yang ia yakini secara batiniah, bahkan jika itu harus mengorbankan harmoni politik.

Menulis Ulang Paugeran

Dari Ki Ageng Pengging di Langgar sunyi pada abad ke-16, hingga Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton yang dijaga ketat pada abad ke-21, Paugeran Jawa terus diuji oleh dialektika abadi antara yang terlihat dan yang tersembunyi.

Ki Ageng Pengging memilih mati daripada tunduk pada Trenggono. Ia tersenyum di ambang eksekusi, sebuah pernyataan sastrawi bahwa ia telah menemukan kebebasan absolut. Senyumnya adalah kode batin: “Kekuasaanmu fana, Paugeranku abadi.”

Sultan Hamengku Buwono X, ratusan tahun kemudian, memilih untuk melanggar Paugeran Adat, menegaskan kedaulatan pribadinya yang didasarkan pada Titah yang ia terima. Sabda Raja adalah senyum Priyayi Agung di hadapan tradisi.

Kedua peristiwa ini, yang dipisahkan oleh ratusan tahun dan dinasti, adalah inti dari Paugeran Jawa: Bahwa tahta Mataram tidak pernah aman hanya dengan kekuatan militer atau hukum tertulis. Tahta itu aman hanya ketika rajanya berani menghadapi risiko tertinggi untuk menegaskan Paugeran Batinnya, bahkan jika itu berarti melukai Paugeran Wujud.

Ki Ageng Pengging, sang Priyayi yang memilih menjadi petani, adalah Guru spiritual bagi setiap Sultan Mataram. Ia mengajarkan bahwa sebelum Anda memerintah dunia, Anda harus menguasai kehendak Anda sendiri. Dan Paugeran tertinggi adalah keberanian untuk memilih kematian, atau kehilangan, demi kebenanan yang hanya diketahui oleh jiwa Anda sendiri.

Wallahu A’lam.

***

Catatan Kaki

(1) Paugeran Prinsip fundamental tatanan Jawa. Secara filosofis, ia adalah pemersatu kosmik dan sosial.
(2) Paugeran Wujud Hukum atau aturan yang tampak, terlembaga, dan ditegakkan oleh kekuasaan negara (Syariat dan Adat).
(3) Paugeran Batin Kedaulatan spiritual atau kebenaran mistik yang ditemukan secara individu, seringkali bertentangan dengan tatanan luar (Haqiqat).
(4) Sayyidin Panatagama Gelar kebesaran Sultan Agung, yang menegaskan perannya sebagai pemimpin politik dan spiritual, arsitek sintesis Paugeran Mataram.
(5) Hamemayu Hayuning Bawana Falsafah utama Kasultanan Yogyakarta (HB), yang berarti ‘memelihara keindahan dan kesejahteraan dunia’—sebuah Paugeran keseimbangan kosmis.
(6) Sabda Raja Deklarasi lisan yang dikeluarkan oleh Sri Sultan HB X pada tahun 2015 yang memuat perubahan gelar dan membuka potensi suksesi perempuan, diklaim berdasarkan wangsit atau titah ilahi.
(7) Paugeran Adat Hukum atau tradisi yang dipegang teguh oleh kerabat Keraton, khususnya larangan suksesi perempuan, yang ditentang oleh Sabda Raja HB X.
(8) Katalis Pelepasan Interpretasi sastrawi-filosofis dari tindakan Ki Ageng Pengging. Tusukan keris ke siku bukan penyebab kematian melainkan sarana untuk mengaktifkan mati sajroning urip (mati di dalam hidup).

Rujukan Manuskrip dan Historiografi

Babad Tanah Jawi. (Berbagai versi) Naskah ini adalah sumber utama mitologi dan historiografi yang mencatat persaingan antara Pengging dan Demak.

De Graaf, H.J. dan Pigeaud, Th. G. Th. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. (Analisis historiografi modern tentang Demak dan Pajang).

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200. (Memberikan kerangka historis Mataram hingga kontemporer).

Sumber-sumber Lisan Keraton Yogyakarta. (Digunakan untuk mengkontekstualisasikan Paugeran Keraton dan Sabda Raja HB X sebagai peristiwa spiritual-politik).

*Gus Nas Jogja, Budayawan.