Membaca Wacana Revolusi
Oleh Mudji Sutrisno SJ.*
Sejarawan Benedict Anderson menegaskan bahwa di Republik Indonesia secara historik faktual satu-satunya revolusi adalah revolusi untuk kemerdekaan. Itu dimulai dalam penelitianya 1943-1946 dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1972) untuk menjawab kritis tesis gurunya G.T. Kahin (Nasionalisme dan revolusi di Indonesia, 1961), bahwa Kemerdekaan RI adalah hasil pendidikan sekelompok elite Indonesia dan organisasi-organisasi kebangkitan bangsa yang studi di Belanda dan elite cendekiawan Indonesia yang mencerahkan masyarakatnya, lalu lewat pendidikan dan penggalangan massa sejak 1908, 1928, melahirkan Proklamasi Kemerdekaan RI 1945. Mengapa Anderson menjawab kritis tesis gurunya? Awalnya, karena ia mau membuktikan tesis: apakah kemerdekaan itu hasil pendidikan politik etis Belanda di Hindia Belanda dan benar-benar mengubah pikiran serta mencerahkan pemimpin-pemimpin rakyat. Padahal, menurut statistik jumlah yang disebut elite terdidik waktu itu tidak lebih dari tiga puluh orang. Itu pun hasil sekolah tinggi kedokteran Jakarta, sekolah tinggi teknik Bandung dan sekolah tinggi hukum yang tidak pernah menjadi universitas, oleh kolonial Belanda. Program pendidikan ini hanyalah untuk keperluan dan kepentingan pemerintah kolonial Belanda akan juru tulis dan mantri kesehatan serta pamong praja, yang kontras dengan penjajah-penjajah Eropa yang lain seperti Inggris, Perancis dan Italia, yang telah mendirikan universitas di daerah koloninya. Belanda tetap membodohkan rakyat jajahan sampai abad 20 (walau sudah menjajah ± 200-300 tahun).
Peta di atas penting untuk melihat apakah mungkin kemerdekaan yang benar karena revolusi sosial itu tanpa massa rakyat, dalam hal ini pemuda yang dengan pengorbanannya memberikan semuanya untuk Kemerdekaan RI tahun 1945? Justru dititik pertama kritis inilah, Ben Anderson meneliti beda tajam antara hasil politik edukasi etis yang tetap status quo dengan masa kemelaratan, penindasan, kekejaman dan penghisapan habis-habisan 3,5 tahun penjajahan Jepang, yang justru menjadi pendidikan pubertas massal pemudanya tepat keluar dari masa anak-anak domestik Jawa menuju pengembaraan keluar keamanan selendang gendong kolektif Jawa dan menemukan identitas kolektif marah, anarkis yang digelegakkan dan dicandra-dimukakan oleh fasisme militer Jepang dengan propaganda perang Asia Timur Raya dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Apalagi ada berbaris-berbaris propaganda massifikasi massa dalam pidato-pidato agitator Bung Karno, dengan ketertindasan dan kondisi tak bisa kembali ke titik awal lagi, para pemuda massal siap berevolusi manakala matang perlawanannya. Jadi, Anderson memberi nama revolusi sosial pemuda itu sebagai revolusi pemuda. Tesisnya memperjelas mengapa selalu ada jurang antara elite pendiri bangsa yang terdidik dan massa pemuda yang anarkis dan siap menghabiskan apa saja demi revolusi. Selalu ada jurang antar elite, terdiri yang mau diplomasi setelah kenal dengan pemimpin-pemimpin baru kolonial Belanda, karena ketemu mereka di Belanda sebagai murid Schermeron yang nanti menjadi perdana menteri ataupun beda pengalaman yang satu di massa pemuda tanpa pengalaman luar negeri hanya mengenal penjajah sebagai musuh kejam, penindas yang harus dilenyapkan dari tanah air dan para elite terdidik yang mengalami di Belanda bahwa pemerintah Hindia Belanda di tanah air memang amat menindas, tetapi ketika mereka studi, mereka mengalami universalisme kemanusiaan antar bangsa, pergaulan internasional bahkan dibantu jaringan-jaringan internasional kiri di Belanda untuk perjuangan-perjuangan kemerdekaan tanah airnya.
Beda pengalaman inilah yang membuat gumpalan beda strategi dan taktik hingga terus berhantaman dan berbeda posisi antara politik diplomasi luar negeri awal-awal RI merdeka dengan misi peradaban dan perjuangan tanpa kompromi dengan angkat senjata perang semesta. Dua simbol yang paling mencolok untuk diekstrimkan di sini adalah Jenderal Soedirman dengan perang gerilya dan terus memilih perang daripada menyerah disatu pihak. Di sisi lain adalah diplomasi Sjahrir, Hatta, Soedjatmoko, dan Agus Salim. Bahkan beda tajam pilihan strategis itulah yang membuat massa pemuda menjelang detik Proklamasi menculik Soekarno-Hatta, untuk mempercepat proses merdeka setelah Sjahrir mendengar Jepang benar faktual merdeka. Soekarno-Hatta dipandang menjadi tua karena terlalu berdiplomasi, sedang yang muda-muda tak sabar ketika ditantang Hatta untuk menandatangani naskah Proklamasi dalam situasi genting, penuh risiko perang, ternyata juga tidak berani, sehingga Soekarno dan Hatta-lah yang atas nama bangsa Indonesia menandatangani Proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah kesaksian Hatta di sekitar Proklamasi.
Mengapa pokok-pokok di atas penting dicatatkan dalam bingkai revolusi? Pertama, demi penjernihan wacana tesis-tesis revolusi itu sendiri secara sejarah. la membutuhkan kekuatan dahsyat massa yang menggelegak penuh pengorbanan, namun siap bersama konsepsi dan tekad merdeka lewat pasangan kepemimpinan yang visioner, penuh integritas dan dipercaya otoritasnya, karena menyatu dengan gelegak tekad mau merdeka dari rakyat. Jadi, peran leadership dan massa revolusioner menjadi kunci untuk sebuah perubahan sosial. Kedua, istilah revolusi sendiri sebagai retorika penggalan massa dan bukan sebagai fakta gerakan revolusi merdeka justru muncul dan dipakai Bung Karno, ketika Bung Karno justru sudah ditinggal Bung Hatta sebagai wakil presiden dan memakai jargon revolusi untuk menggoyang musuh-musuhnya, mulai Malaysia, nekolim, dan seterusnya. Artinya jargon revolusi lalu menjadi slogan pidato untuk legitimasi kekuasaan yang sejatinya justru sudah semakin lingsir dari Soekarno. Maka, bedalah antara revolusi sosial dan revolusi sebagai pidato jalannya revolusi kita di tangan pemimpin besar revolusi. Kajian ini penting untuk meletakkan betapa kata atau teks itu benar-benar culturally constructed an socially structuralized in history. Di sini konteks wacana menemukan klarifikasi antara teks nama dan konteks situasi zaman. Ketiga, dari colokan dan tilikan pandang kata kunci revolusi di atas, kita bisa menariknya ke perjalanan sejarah kita, bila sejarah berulang, karena kesalahan aktor-aktornya yang tidak dari dalamnya atau sejarah mengulangi dirinya sendiri dalam perbaikan perubahan sosial yang lebih baik. Apa maksudnya? Siklus 25 tahun sejak 1942-1945-an, lalu 1965-an, kemudian 1998 dengan reformasi sampai hari ini menguak pengalaman sejarah dan harga sejarah yang amat mahal bila tidak diambil pelajarannya. Pertama, hanya bila ada kepemimpinan dan visi Indonesia merdeka yang matang, maka revolusi membuahkan transformasi masyarakat dari terjajah menjadi merdeka berdaulat tahun 1945. Kedua, rezim orde baru dengan menggusur orde lama dan memakan korban anak-anaknya sendiri, sehingga ratusan ribu membuat perubahan masyarakat atas nama revolusi pembangunan. Namun, ketidakadilan, kemiskinan dan jurang kesejahteraan yang tidak pernah diwujudkan, bahkan diabaikannya pendidikan warga bangsa beradab dan dilupakannya pendidikan regenerasi pemimpin, menjadikan siklus 1998 muncul dan mampu menurunkan Soeharto, tetapi karena ketiadaan kepemimpinan, terbengkalainya pendidikan dan tak siapnya visi dan konsep berbangsa dan bernegara dalam rumah baru Indonesia, maka tenaga dahsyat rakyat itu menjadi anarkis dan hanya percaya diri sendiri karena krisis kepercayaan baik pada parpol, otoritas maupun janji membuat rumah baru Indonesia yang berharkat. Rumah sudah dirobohkan, ketidaksiapan maket visi rumah baru Indonesia dan ketiadaan pemimpin serta pelaksanaan politik bukan politik kesejahteraan, tetapi politik kuasa dan uang telah membuat rakyat banyak atau anarkis atau tak mau peduli lagi pada pemimpin-pemimpinya, karena mereka lebih dahulu telah tidak mau peduli pada rakyatnya yang telah memilih dan memberikan suara di pemilu. Akankah muncul revolusi sosial yang terprogram butuh pemimpin dan visi yang jelas serta moralitas integritas? Ataukah anarki yang berlarut-larut karena kesalahan kita semuanya yang telah menyia-nyiakan siklus kekuatan rakyat 25 tahunan yang tidak hirau pada pelajaran sejarah? Harga yang harus dibayar mahal adalah mulai lagi dengan revolusi pendidikan akal sehat, nurani yang masih bisa digandeng tangankan antara agama-agama, lokalitas-lokalitas seni peradaban mejemuk, serta pencinta-pencinta Indonesia yang majemuk, beradab, berdaulat, adil dan sejahtera.
Pemberantasan korupsi demi tesis revolusi moralitas SBY dan JK, serta ke sungguh lakuan penyejahteraan rakyat dicoba wujudi, mampukah tesis ini berhadapan dan menyelesaikan distrust, pengangguran, malapetaka endemi penyakit, kemiskinan, dan rupa-rupa kelaparan sebagai wajah-wajah antitesis nyata yang menentukan to be, or not to be pasang surut krisis-krisis bangsa dari 1998 dengan empat presiden silih berganti dan gambar besar keIndonesiaan yang pendek napas, pragmatis dan kerap lupa keIndonesiaan populis humanis cita-cita para pendirinya?
—–
*Mudji Sutrisno SJ., Budayawan.